Sosok wanita cantik dengan dress hitam kesayangannya menunduk, merendahkan dirinya dan duduk di batu besar yang berada tepat di sebelah kanan makam sang suami. Tetes air mata tiba-tiba saja terjatuh, menusuk tiap inci hati yang sudah berpura-pura untuk tegar, namun faktanya semua rapuh juga. Faktanya yang saat ini terjadi, saat sosok Alda Arrani berkunjung, ia juga tetap saja masih belum ikhlas dalam menerima ini semua. Masih terlalu berat untuk dipercaya.
Tangan mungil sosok berbaju hitam itu mengusap perutnya yang terus merasakan kram akibat tendangan yang terlalu keras dari sang buah hati, napasnya terus tercekal akibat menahan tangis yang tak kuasa turun terus-menerus. Huh, sungguh ini melelahkan sekali. Tak pernah terbayangkan di benak Alda jika ia harus berada di posisi ini. Tak pernah Alda bayangkan jika ia harus mengusap perutnya sendiri kala kram seperti saat ini. Biasanya sosok yang tertidur di dalam tanah sana yang mengusap lembut perutnya sembari menenangkannya dengan mengatakan semua baik-baik saja.
Ini semua berat, tetapi Alda harus kuat. Ini semua menyakitkan, tetapi apa yang boleh Alda lakukan selain menjalaninya dengan ikhlas? Alda sudah tak mempunyai arah, ia bertahan hanya demi sang buah hati saja. Sudah tak ada orang tua yang biasanya mendekap tubuh Alda dan memberikan semangat kepadanya. Sudah tak ada lagi juga sosok suami yang sangat pengertian, semuanya meninggalkan Alda. Apakah Alda sangat tidak pantas untuk bahagia, Tuhan? Apakah Alda harus menanggung semua luka dan duka ini? Ia tak masalah jika dirinya sengsara, tetapi ia sangat marah jika anaknya pun harus dibawa-bawa.
"Sayang, ini rumah baru papah, Nak. Nantinya kita bakalan sering main ke sini ya?" bisik Alda berusaha menguatkan dirinya sendiri dengan cara menghapus air mata yang menetes di pipi. "Coba kamu tanya sama papah kamu deh, kenapa dia milih tidur di tanah padahal di rumah banyak kamar kalaupun dia enggak mau satu kamar sama mamah, Sayang. Dia malah kayak gitu, dia malah pergi ninggalin kita. Mamah harus gimana kalau kayak gini? Aku harus gimana, Mas?"
Berat sekali menerima semua ini, Tuhan. Alda kira ia sanggup menerima kenyataan pasalnya sudah biasa berteman dengan kehilangan, namun nyatanya tidak di saat sekarang. Sekarang ia membutuhkan sosok suaminya, ia membutuhkan sosok ayah untuk anaknya yang ada di dalam kandungan ini. Bagaimana bisa ia melihat sosok ayahnya tumbuh tanpa seorang ayah? Anaknya membutuhkan sosok penting itu untuk menemaninya bertumbuh nanti. Namun mengapa Engkau malah mengambil sosok penting dalam kehidupan anaknya, Ya Allah? Mengapa malah Engkau membuat anak tak berdosa ini merasakan kehilangan?
"Kamu waktu itu datang sebagai cahaya di kehidupanku, Mas. Kamu datang di saat aku enggak tau harus gimana lagi karena aku kehilangan arah. Orang tuaku meninggalkan aku. Sekarang kamu juga sama seperti mereka yang meninggalkan aku. Aku harus apa, Mas? Cahayaku udah enggak ada. Hidupku gelap banget. Sekarang tumpuanku cuman Ralisa, Mas. Enggak mungkin aku sama Ralisa terus-terusan, kan? Aku juga butuh kamu. Aku juga maunya sama kamu. Ralisa emang baik banget sama aku, dia kasih apa yang aku butuhkan, tapi ya gimana lagi? Aku enggak bisa terus-terusan sama dia karena dia sendiri punya kehidupan."
Mencari kerja? Ya, memang itu yang akan Alda lakukan. Ia akan mencoba menjadi wanita karir walaupun sebelumnya tak pernah terlintas dalam benaknya. Ini semua benar-benar karena terpaksa oleh keadaan. Memang ya hidup ini benar-benar seperti roda yang berputar, kemarin Alda bahagia memiliki pendamping hidup seperti Desvin yang baik dan pengertian, namun sayangnya baru beberapa saat kebahagiaannya tiba, Alda malah harus mendapatkan musibah lagi. Alda harus kehilangan orang yang ia sayang lagi. Ingin rasanya Alda mengeluh dan mengatakan ia tidak kuat, ia tidak sanggup, akan tetapi ia malu dengan orang di luaran sana yang benar-benar sebatang kara. Ia seharusnya bersyukur karena masih memiliki Ralisa. Ralisa sungguh baik kepadanya.
"Mas, kamu yang tenang di sana ya. Kamu harus selalu menemani aku, kamu harus selalu muncul di dalam mimpiku, karena cuman itu satu-satunya cara aku bisa liat kamu lagi. Kamu harus ingat kalau aku sayang banget sama kamu, Mas. Aku enggak mau kehilangan kamu. Aku enggak mau ada di posisi ini. Pokoknya, kamu harus selalu ada di hatiku ya, Mas. Kamu harus selalu menetap di sana. Love you, Mas."
Saat ini sudah tak ada lagi yang bisa Alda katakan dan sampaikan selain itu semua. Ia sudah tak bisa mendekap tubuh sempurna suaminya, ia sudah tak bisa juga mencium wangi tubuh suaminya. Intinya semua sudah benar-benar menghilang dan hanya bisa dikenang saja. Alda harap, suaminya di sana tahu dan melihat seberapa tulusnya dia. Dia yang benar-benar ingin yang terbaik untuk suaminya.
TING!
Ponsel Alda bergetar membuat Alda langsung meraihnya di dalam tas dan melihat siapa penyebab dering dari notifikasi tersebut. Rupanya Ralisa yang menelponnya, entah apa juga tujuan wanita tersebut. Mungkin hanya ingin menelpon Alda saja?
"Halo, Ral! Kenapa lo telepon gini? Lo butuh bantuan? Atau apa?" tanya Alda dengan suara bergetar, isak tangisnya dengan sekuat tenaga berusaha untuk diredam supaya sahabatnya tak mendengar. Namun nyatanya sia-sia juga. Isakannya masih bisa terdengar jelas rupanya.
"Loh ... lo lagi nangis, Da? Lo kenapa nangis? Semuanya baik-baik aja, kan? Cerita sama gue, ada apa. Gue dari tadi enggak tenang karena gue takut lo kenapa-kenapa. Semuanya aman, kan? Lo sama bayi lo aman?" tanya Ralisa berturut-turut. Ia sungguh khawatir di saat mendengar sahabatnya menangis seperti itu.
Alda tersenyum tipis mendengar sahabatnya yang sangat perhatian kepadanya. Sungguh, ini adalah momen terbaik yang ada di hidupnya, part yang selalu membuatnya merasa bersyukur karena memiliki sahabat yang sangat perhatian seperti Ralisa. Ralisa benar-benar banyak membantunya. Ralisa pun benar-benar tulus kepadanya. Entah kebaikan apa yang telah Alda lakukan sampai ia mendapatkan berkat sebaik ini.
"Astaga, Ral. Semuanya oke dan aman kali. Lo enggak usah khawatir kayak gitu deh, semuanya baik-baik aja kok. Gue gapapa. Gue lagi ke makam Mas Desvin dan gue nangis di sini karena kangen sama dia. Masih enggak bisa ikhlas aja kalau ternyata dia udah enggak ada. Dia udah pergi ninggalin gue sendirian. But it's okay, nanti secara perlahan juga gue merasa baikan kok. Kan semuanya butuh proses, iya kan? Semuanya butuh waktu. Wajar lah kalau sekarang gue masih nangis-nangisan gini, baru beberapa hari gue kehilangan Mas Desvin. Nanti makin ke sini semoga aja makin ikhlas menerima kenyataan. Waktu bantu sembuhin semuanya kok."