"Lo mau kerja sepagi ini, Ral?"
Pagi-pagi buta seperti saat ini Alda langsung disuguhkan dengan sahabatnya yang sudah berpakaian rapi dengan blazer putih kesayangannya, setelah itu ia membawa setumpuk berkas penting dan juga tas kerja cantik yang selalu ia gunakan saat bekerja pun sudah ia pakai dengan sangat anggun. Benar-benar gambaran seperti wanita karir yang selalu ada di benak Alda, berbeda halnya dengan Alda yang saat ini sudah harus menjadi janda yang ditinggal meninggal dunia oleh suaminya di usia muda dengan kehamilan tua.
Ralisa yang menuruni anak tangga satu persatu pun cukup terkejut ditanya demikian, kaget jika ternyata Alda masih bangun jam tiga pagi dengan tangan yang terus memegangi perutnya. Apakah Alda tidak bisa tidur dengan tenang semalam? Apakah Alda kurang nyaman dalam beristirahat? Atau apakah ada hal lainnya yang membuat Alda bisa bangun sepagi ini?
"Loh, lo ini belum tidur atau baru bangun, Da? Sorry banget ya, gue harus ke luar kota pagi ini. Nanti gue ada meeting penting bareng klien di luar kota, jadi ya gue harus on the way sekarang. Jadi sorry banget karena gue harus ninggalin lo sendirian gini di rumah gue. Lo gak bisa nyenyak ya di rumah gue?" balas Ralisa yang merasa tak enak hati kepada sahabatnya. Padahal ini bukan salahnya, namun ia tetap saja merasa tak enak hati. Ia takut jika Alda merasa tidak nyaman karena posisinya saat ini Alda sedang membutuhkan dekapan dan pelukan seseorang. Alda butuh support system setelah kejadian menyakitkan di hidupnya terjadi.
"Eh, perut gue emang suka gak enak kalau malem-malem. Lo santai aja kali, emang ibu hamil keadaannya kayak gini. Rumah lo enak kok, nyaman, adem, tentram, cuman adek bayinya aja yang enggak bisa diajak kerja sama buat istirahat makanya sekarang gue bangun dan ke dapur gini buat ambil minum. It's okay juga kok kalau lo mau ke luar kota, kan emang ada kerjaan di sana. Gue bisa jaga diri gue sendiri, Ral. Lo tenang aja. Semuanya bakalan baik-baik aja."
Kini justru Alda yang malah merasa tak enak hati dengan sahabatnya. Di sini Alda sudah terlalu banyak merepotkan. Di sini Alda sudah terlalu banyak membuat Ralisa kesusahan. Alda sudah menumpang di rumah Ralisa, Ralisa bahkan harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menghidupi Alda karena Alda tak memiliki tabungan dan juga tak memiliki penghasilan. Merepotkan sekali, bukan? Namun di sisi lain Alda juga merasa bersyukur serta bangga bisa memiliki sahabat seperti Ralisa yang selalu membantunya. Ralisa yang selalu menjadi garda terdepan jika ia tertimpa masalah.
"Ah astaga, adek bayinya kok gitu sih sama mamah? Mamahmu ini capek, Sayang. Dia butuh istirahat, masa adek bayi malah kayak gini? Masa adek bayinya malah enggak ngebiarin mamahnya tidur? Yuk anteng, Sayang. Tante mau pergi dulu soalnya ya. Tante mau kerja dulu, nanti kalau pulang tante bawain jajan, oke?" bisik Ralisa dengan lembut di perut besar Alda, seolah benar-benar sedang berbicara dengan calon keponakannya itu.
Sungguh, tak pernah terbayangkan di benak Ralisa jika saat ini di hadapannya ada sosok sahabat yang sejak dahulu menderita, setelah mendapatkan kebahagiaan tak terkira, kini harus kembali menderita. Tak pernah terbayangkan jika di usianya yang memasuki dua puluh enam tahun, ia masih sendirian, masih meniti karir dan masih menikmati masa lajangnya, namun wanita di hadapannya sudah menikah, hamil tua, namun naasnya harus kehilangan suaminya di saat seperti ini.
Rasanya semua ini sungguh tak pernah adil di benak Ralisa, namun Ralisa tahu jika Alda pun tak kuat. Alda butuh sandaran, Alda butuh bantuan, sehingga dengan sekuat dan sebisa Ralisa, ia bantu. Meskipun bantuannya tak ada apa-apanya, tetapi ia harap beban Alda sedikit berkurang.
"Iya, Tante Ralisa. Tante kerja aja dulu, nanti aku bakalan jagain mamah kok. Janji juga enggak bakalan nakal sama mamah lagi. Aku kan anak baik, Tante. Tante wajib beliin aku jajan loh ya!" balas Alda dengan candaan juga. Berlagak seolah-olah ia adalah adek bayi yang kira-kira dua bulan lagi akan menemaninya di sisi dengan datang ke bumi.
"Oke, siap, Sayang! Oke, gue berangkat dulu ya, Da. Ntar kalau lo butuh bantuan gue, hubungi gue aja. Gue udah ada transfer lo duit juga, siapa tau ntar lo butuh jajan, makan, atau apaan gitu. Sekali lagi gue minta maaf banget karena emang gue malah enggak nemenin lo di sini padahal lo butuh temen. Janji deh kalau ini yang terakhir, janji deh kalau setelah ini gue enggak bakalan ke luar kota lagi. Gue bakalan nemenin lo di rumah, oke?"
Tetap saja, perasaan bersalah tetap saja membuat Ralisa tak enak hati. Ia terbayang-bayang jika ia bersalah dengan sahabatnya itu. Padahal ia tahu yang dibutuhkan Alda adalah dirinya, bukan uang atau apa pun yang ia berikan itu.
"Astaga, Ral! Lo kok kayak gitu sih, gue ngertiin lo kok. Lo tenang aja, Ralisa. Gue ada di sini, gue selalu ngertiin lo. Justru gue malah berterima kasih banyak karena lo udah mau bantuin gue, lo mau nampung gue, lo mau nolongin gue. Maaf ya karena gue ngerepotin lo banget. Maaf kalau gue bikin lo kesusahan gitu. Lo jangan merasa gak enak, gue yang gak enak malah." Alda bangkit dari kursi meja makan, menepuk pundak sahabatnya dengan perasaan penuh tidak enak karena ia menjadi merepotkan Ralisa seperti ini. Padahal Ralisa jelas banyak kebutuhan, Ralisa jelas banyak hal yang ia perlukan, namun dengan baik hati Ralisa malah tetap membantunya.
"Udah, lo berangkat sana! Supaya bisa cepet sampai, terus bisa meeting dengan tenang. Doa gue selalu ada di samping lo, oke? Gue selalu doain lo yang terbaik pokoknya. Semangat kerjanya ya!" Ralisa memeluk Alda dengan bahagia usai mendengar semua wejangan dari sahabatnya itu. Ia sama sekali tak masalah jika sahabatnya membuatnya repot, tak masalah sama sekali. Justru ia senang membantu sahabatnya. Ia senang dijadikan sandaran oleh Alda.
"Oke, Nyonya. Gue berangkat dulu ya! Lo harus jaga diri lo sendiri di sini. Kalau ada apa-apa, jangan ragu-ragu buat hubungi gue, oke? Gue janji kalau gue bakalan cepet balik kok. Bye, Bestie!"
Berat memang meninggalkan Alda sendirian seperti ini, namun Ralisa benar-benar tak bisa menolak pekerjaan ini semua. Ini memang sudah seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Ini memang sudah seharusnya menjadi hal yang jalani dan laksanakan.
"Siap. Lo tenang aja, gue bisa jaga diri sendiri kok, Ral. Semangat kerjanya ya!"