Riana hanya bisa meratapi nasibnya, dia lelah meyakinkan Reinard yang terlanjur membencinya, dan juga keluarganya.
"Sudahlah, untuk apa kau tangisi pria seperti Reinard. Bukankah sejak awal Mama tidak setuju kau bertunangan dengannya! Satu hal yang harus kau ingat putriku, masih banyak Pria kaya yang jauh lebih baik dari Reinard, lupakan saja dia!" Zalina menekankan pada putrinya, untuk tidak mengharapkan lagi cintanya Reinard.
"Mungkin bagi Mama ini hal sepele, dan biasa. Tapi bagiku ini adalah penghinaan Ma, aku tidak terima dikalahkan oleh Gadis Buta itu!" tukas Riana tak terima kalah bersaing dengan Marcella.
"Kata siapa kau kalah Putriku? Kau tidak kalah sama sekali, ini baru permulaan!" Zalina berusaha membangun semangat dalam diri putrinya kembali. "Jika kamu tidak bisa mendapatkan Reinard, seenggaknya kita mendapatkan harta Om kamu, Mahardika Raisan!" tukas Zalina mengepalkan tangannya.
"Yang di katakan Mamamu benar Putriku, kau jangan bersedih hanya karena ditolak oleh Reinard, yang terpenting harta Om Mahardika masih di tangan kita!" ujar Darwin, menatap pada putrinya. "Dengan kekayaan, kita dapat membeli seseorang penjilat sekalipun bisa kita beli! Apa yang kau khawatirkan?!" ucap Darwin menggebu-gebu.
Riana masih bersimpuh terduduk di lantai, dia masih belum bisa menerima kekalahannya dari sepupunya sendiri, Marcella.
"Aku masih belum menyerah untuk mendapatkan Reinard, aku akan merebut cintanya kembali!" Riana tetap teguh dengan pendiriannya, yang lebih cocok disebut hanya ambisi.
"Semua itu terserah kamu, untuk saat ini kita fokuskan pada pengambil alihan Aula tari balet itu, dari tangan Reinard, kita harus cari surat kuasa yang dibuatkan Om kamu pada saat dia masih hidup, dan itu Reinard yang mengelola keuangan Aula kesenian itu!" Zalina menatap tajam ke arah lain, sambil mengepalkan tangannya.
Zalina menghampiri Riana, dan membangunkannya. "Ayo cepat bangun! Kita akan balas perlakuan Reinard padamu!" ucapnya berjanji akan membalas perbuatan Reinard.
Akhirnya Riana pun menuruti nasihat ibunya, dan bangkit meski langkahnya tertatih. Sementara Darwin terlihat mendesah pelan, dia gusar atas ancaman Reinard yang di layangkan.
'Ini tidak boleh terjadi, Reinard tidak boleh sedikitpun merusak rencanaku!' gumamnya membatin.
Darwin mengatur siasat, untuk segera mengalihkan semua kekayaan Mahardika padanya, dia tidak merasa kasihan sedikitpun terhadap keponakannya.
"Kau mau ke mana Suamiku?" Zalina menatap pada Darwin, sambil berdiri menghampiri sang suami.
"Aku akan menemui Pengacara kak Mahardika, aku mau meminta surat kuasa pelimpahan harta kekayaan yang di wariskan untuk Marcella!"
"Kalau begitu aku ikut!" Zalina ingin ikut, dia tidak ingin melewatkan sedikitpun jika soal harta warisan yang ditinggalkan Mahardika untuk Putrinya.
"Untuk apa kau ikut Ma? Lebih baik kau di Rumah tenangkan Riana, hibur dia. Mungkin saat ini Riana membutuhkanmu!" tolak Darwin lembut, agar istrinya tidak mengikutinya.
"Kenapa kau menghalangiku? Kau tidak sedang berkompromi kan, dengan Pengacara keluarga itu?'' Zalina menatap suaminya dengan saksama, Zalina mencari kebohongan di mata suaminya.
"Berkompromi? Kau itu ada-ada saja, mana mungkin aku berkompromi dengan Orang yang akan mempersulit kita!" terangnya.
"Aku tetap akan ikut Suamiku, aku tidak ingin membiarkanmu! Pasti kau bukan hanya akan menemui Pengacara keluarga kan? Setelahnya kau pasti akan mampir-mampir ke tempat yang tak jelas juntrungannya!" kesal Zalina menebak apa yang akan di lakukan oleh suaminya itu.
Darwin tidak bisa mencegah keingin ikut sertaan Zalina, untuk ikut tempat pengacara kakaknya.
Darwin memijat kepalanya yang mulai terasa pusing, dalam mencari alasan, supaya Zalina tidak ikut dengannya.
Belum sempat Darwin menyetujui permintaan sang istri, Zalina telah berjalan lebih dulu. "Pah... ayo cepat, kenapa kau masih berdiri di sana?!" Zalina menatap suaminya dari ambang pintu utama Mahardika Mansion.
"Sial! Lagi-lagi dia pandai mencari celah!" gumam Darwin mengikuti langkah gontai istrinya.
Malam itu Zalina pergi bersama suaminya menuju Rumah pengacara keluarga Mahardika. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu dengan santainya memasuki mobil. Zalina kembali menoleh pada langkah gontai suaminya yang masih berada di luar.
"Ayo cepat Pah!" teriak Zalina menatap Darwin dari balik jendela kaca mobilnya.
"Iya sebentar, ya ampun... dasar Perempuan!" ucap Darwin terus melangkahkan kakinya.
Darwin memasuki mobil, duduk sejajar di kursi penumpangnya menatap pada sopir yang duduk di bangku kemudi. "Ayo jalan Pak, antarkan saya ke Rumah pengacara Kak Mahardika." perintah Darwin pada sopirnya.
"Baik Tuan," ucapnya menyanggupi perintah Tuannya.
Malam itu mobil mewah yang di tumpangi Darwin, dan Zalina pun membelah jalanan kota, menuju kediaman Surya Kencana, yaitu pengacara keluarga Mahardika.
TING! TONG!
Zalina menekan bel rumah megah, tempat tinggal Pak Surya Kencana, sang pengacara dari keluarga Mahardika.
CEKLEK!
Pria yang berprofesi pengacara itu membukakan pintu untuk Zalina, dan Darwin. Dia amat sangat kaget melihat kedatangan mereka berdua.
"Tuan Darwin... Nyonya Zalina? Ada apa malam-malam begini menyambangi Rumah Saya? Wah... tampaknya ada hal penting ya?" Senyum Ramah tersungging dari bibir Surya kencana, saat menerima tamunya.
"Benar sekali, kami ada urusan sangat penting. Makannya kami sengaja menemui Anda meskipun semalam ini!" ujar Zalina.
"Benar kata Istriku Pak, kedatangan kami kemari memang ada hal yang sangat penting perlu kami konsultasikan dengan Anda!" tanpa dipersilakan duduk Darwin sudah lebih dulu meletakan pantatnya di sofa ruang tamu pengacara keluarga kakaknya.
Surya Kencana menggeleng kepalanya, atas ketidak sopanan yang dimiliki oleh adik dari mendiang kliennya. "Silakan duduk Tuan Darwin, Nyonya Zalina!" sindir Surya terhadap sepasang suami dan istri itu.
Darwin dibuat malu oleh tingkahnya sendiri. "Aha-ha-ha... kaki saya terlalu pegal, maaf tanpa dipersilakan oleh Anda, saya sudah lebih dulu duduk di sini!" ujar Darwin menahan malu.
"Tidak apa-apa Tuan! Lantas, apa yang membawa kalian datang ke Rumah saya?" Surya menyilang kakinya menatap pada dua orang di hadapannya.
Darwin menjentikkan jemarinya, dia bingung, harus memulai percakapan dari mana. "Em... bolehkah saya meminta surat wasiat yang di buat Mahardika?"
Mendengar pengutaraan itu, Surya Kencana langsung bereaksi. "Tidak!" tolaknya, menatap penuh curiga.
Lalu melanjutkan ucapannya. "Saya tidak bisa memberikan surat wasiat itu ke sembarangan orang!" ujarnya tegas.
Zalina bangkit, dia menatap kesal pada Surya Kencana pengacara dari iparnya itu. "Sembarangan Orang? Maksud Anda apa Tuan? Saya ini Keluarganya!" Zalina memelototi Surya kencana, berusaha mengintimidasinya.
"Anda kenapa bereaksi seperti ini Nyonya, saya tidak akan memberikan Surat Wasiat Tuan Mahardika, tanpa adanya Nona Marcella Oktarani Raisan di sini!" tegas Surya Kencana, menolak permintaan Zaliana, dan Darwin yang menurutnya mencurigakan.
"Sudahlah! Percuma kita datang ke Rumah Tuan Surya, tidak ada gunanya sekali!" tukas Zalina meraih tangan Darwin, suaminya. "Ayo kita pergi dari sini!" ajaknya kemudian.
"Silahkan pergi, saya tidak akan mengabulkan permintaan kalian!" Surya Kencana menatap heran pada Darwin, dan Zalina. Sambil menggeleng kepalanya.
Bersambung...