"…Ben."
"Eh-km."
"Kamu sudah tidur?"
"Belum."
Lexi dan Ben tidur di atas kasur yang sama, suasana canggung merengut keduanya. Meski Lexi dan Ben sendiri sudah satu minggu lamanya berbagi tempat tidur seperti ini. Namun, tetap saja hal ini membuat canggung keduanya.
Tidur terlentang menghadap dengan kepala menghadap pada langit-langit kamar yang berwarna putih. Sudah tiga puluh menit Lexi dan Ben berbaring di tempat tidur, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang merasakan kantuk serta dapat memejamkan mata untuk tidur.
Seolah mata itu tidak pernah merasa lelah sama dan ingin segera mengistirahatkan tubuh, padahal hari sudah sangat larut. Belum lagi besok Lexi dan Ben harus kembali bekerja seperti bisanya setelah mengambil cuti selama satu minggu lebih setelah menikah.
Sebenarnya tanpa mengambil cuti sekali pun, Lexi dan Ben tidak mempermasalahkan hal ini. Karena pada kenyataannya mereka tidak pergi kemana pun untuk pergi berbulan madu, keduanya hanya dengan menghabiskan waktu di rumah kedua orang tua Lexi saja.
Mungkin para rekan kerja serta karyawan Lexi dan Ben akan berpikir jika keduanya mengambil cuti untuk menghabiskan bulan madu dengan cara liburan ke luar kota atau luar negeri, seperti yang di lakukan oleh para pasangan yang baru saja menikah seperti mereka.
Ben sendiri sudah menawarkan hal ini kepada Lexi, tapi Lexi menolak dan tidak ingin pergi kemana pun. Menurutnya sama saja apakah mereka pergi berbulan madu di luar kota dan luar negeri sekalipun, tidak ada yang berbeda.
Beruntung Ben menuruti perkataan Lexi dan tidak memaksanya untuk pergi berbulan madu. Lexi sangat jarang menghabiskan waktu di rumah dan kebanyakan waktunya selama ini selalu di habiskan di luar.
Jadi dengan kesempatan yang Lexi dapatkan dengan mendapatkan cuti karena acara pernikahannya. Lexi lebih memilih memanfaatkan waktu libur nya bersama dengan keluarga tercinta, dari pada harus pergi berbulan madu.
"Aku tidak bisa tidur, padahal besok aku harus bangun untuk bekerja." Lexi bangun dari tidurnya terduduk di atas kasur dengan wajah mengeluh karena tubuhnya yang tidak bisa di ajak bekerja sama untuk segera tidur dan malah terus terjaga seperti sekarang.
Melihat Lexi yang merengek seperti sekarang, Ben ikut bangun dan duduk di atas kasur menatap Lexi yang kesal. Jam tidur Lexi sendiri sebenarnya sudah sangat berantakan karena gadis itu selalu memiliki sangat sedikit waktu untuk tidur karena pekerjaannya.
Belum lagi terkadang Lexi masih harus menulis jurnal atau mempelajari tentang sesuatu hal yang baru tentang teknologi kedokteran yang semakin canggih dari hari ke hari. Ben sendiri juga sibuk dan banyak menghabiskan waktunya di kantor, tapi Ben masih mempunyai jam tidur yang baik dan selalu cukup setiap harinya.
Ben menduga jika Lexi yang tidak bisa tidur saat ini, karena pola tidurnya yang memang sudah berantakan sejak lama. Sedangkan Ben sendiri, dia tidak bisa tidur karena Lexi terus saja bergerak dia di sebelah nya dan tanpa perempuan itu sadari, Lexi terkadang menyenggol beberapa bagian tubuhnya yang sensitif.
Membuat pria itu harus berusaha dengan keras untuk menahan dirinya dengan baik. Meskipun Lexi dan Ben sudah menikah selama satu minggu lamanya dan mereka tidur di ranjang yang sama. Tapi mereka masih belum melakukan hal itu, Ben tidak pernah bertanya kepada Lexi tentang hal ini karena takut membuat perempuan itu menjadi tidak nyaman.
Bagaimana pun juga mereka berdua menikah tidak sepenuhnya karena perasaan cinta, itu yang Ben tahu walaupun Ben sendiri memakai seluruh perasaannya untuk pernikahan ini. Ben tidak bisa bertindak sembrono dengan memaksa Lexi untuk melakukannya.
Dia tidak tahu apakah Lexi sudah siapa atau belum, maka dari itu Ben tidak pernah membahas tentang hal yang sensitif ini kepada Lexi. Bagaimana pemikiran Lexi tentang pernikahan mereka, Ben tidak dapat menduga atau menerka-nerkanya sendiri.
Walaupun Ben telah mengenal Lexi dalam waktu yang sangat lama, tapi bukan berarti dia bisa membaca pikiran Lexi begitu saja dengan mudah. Tetap, Ben tidak tahu seperti apa pemikiran Lexi tentang dirinya. Ben berharap jika Lexi dapat menerima Ben sepenuhnya sebagai seorang suami dan pernikahan mereka di penuhi dengan perasaan cinta dan kasih sayang.
Namun, untuk saat ini Ben tidak ingin banyak berharap dan membiarkan semuanya mengalir seperti air.
"Perlu aku buatkan susu untuk membantu kamu tertidur," tawar Ben.
Lexi mengangguk dengan wajah cemberut yang menggemaskan di mata Ben, pria itu mengelus kepala Lexi seraya tersenyum kecil. Lalu turun dari tempat tidur untuk membuatkan Lexi susu seperti yang di tawarkan nya.
Tapi tangan yang ramping dan putih memegang kain belakang baju Ben dengan erat, membuat Ben tidak bisa melanjutkan langkahnya dan menoleh ke belakang pada Lexi yang menjadi pelaku dari tarikan bajunya.
"Lexi lepaskan aku mau ke dapur untuk membuatkan kamu susu."
"Aku ikut."
"Kamu di sini saja."
"Ikut…"
"Aku hanya sebentar kemudian akan segera kembali dengan cepat."
"Ben, aku mau ikut," rengek Lexi keras kepala.
Ben menghela napas panjang kemudian membiarkan Lexi untuk ikut dengannya ke dapur, sepanjang jalan dari kamar ke dapur. Lexi tidak melepaskan rangkulan kedua tangannya pada lengan Ben sama sekali.
Dia terus menempel dan mengikuti setiap langkah Ben dengan teratur. Hanya saja ada satu hal yang membuat Ben merasa tidak nyaman, yakni karena buah dada Lexi yang mengenai lengannya dan membuat Ben dapat merasakan seperti apa empuk nya milik istrinya tersebut.
Meski Ben sendiri belum pernah melihatnya secara langsung dengan kedua matanya sendiri, tapi pikiran Ben menjadi sangat kotor membayangkan seperti apa bentuk dan rasanya ketika benda tersebut ada di tangannya.
Ben berusaha dengan sangat keras untuk menepis semua pikiran kotor nya tentang itu. Namun usahanya rasanya menjadi sangat sia-sia dan tidak berarti, karena Lexi terus saja merangkul tangannya dengan sangat erat dan membuat jarak mereka berdua menjadi sangat dekat.
Membuat Ben menjadi sangat frustasi tanpa bisa melayangkan protes apapun.
Beruntung mereka berdua cepat sampai di dapur, sehingga Ben memiliki alasan agar Lexi melepaskan tangannya dari Ben.
"Lepaskan tangan aku, Lexi."
"Tidak mau."
"Kalau kamu tidak mau melepaskan tangan aku, lalu bagaimana caranya aku membuatkan kamu susu agar kamu dapat tidur dengan cepat."
Dengan hati yang sangat berat, Lexi melepaskan tangan Ben secara perlahan. Tindakannya membuat Ben akhirnya dapat mengambil napas lega. Meski Lexi masih terus mengikutinya dan terus berada di dekatnya, tapi setidaknya sentuhan itu tidak lagi terjadi di antara mereka seperti sebelumnya.
Ben tidak dapat menjamin apakah dia bisa menahan dirinya dalam waktu yang lama, bukan tidak mungkin jika Lexi terus merangkul lengannya dalam waktu yang lebih lama.