"Ngapain di sini Om Kevin?" tanya Zahra wajahnya mendongak ke atas melihat dengan intens Kevin yang sedang berdiri di balik dinding
"Eh kamu Ra, Om kecapekan makanya istirahat dulu di sini," ucap Kevin.
"Eem, dek apa kamu sudah makan?" tanya Naura berjongkok di depan gadis kecilnya.
"Tadi sudah makan di rumah Tante Rahma, tapi kalau disuruh makan lagi Zahra juga mau kok Ma, soalnya laper lagi," Zahra terkekeh kecil.
"Baiklah ayo kita makan kamu ke meja dulu ya mama siapkan dulu makanannya," Naura segera masuk ke dapur mengambil masakannya.
"Ayo," ajak Rifki pada Kevin yang masih terdiam di tempatnya.
"Apa kau akan tetap seperti itu di sana?" Rifki kesal karena didiamkan oleh Kevin.
"Aku sedang males makan," ujar Kevin.
"Kevin, makanlah aku masak banyak tadi. Tak baik jika menahan lapar terlalu lama apa itu namanya jika tidak dzolim pada dirimu sendiri."
Kali ini Kevin menurut dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Naura, Kevin sengaja duduk tepat di depan Naura yang bersebelahan dengan Rifki.
Suasana canggung mulai tercipta apakah akan seperti ini terus ke depan nantinya.
"Dek, makan yang banyak biar sehat!" ucap Naura.
"Aku gak mau banyak-banyak nanti gendut jelek Ma," seru Zahra.
"Ma, besok apa boleh bawa bekal lebih aku mau bagiin dengan teman kelasku, dia anak baru namanya Michelle," ucap Zahra.
"Boleh kok besok mama buatin banyak deh buat dibagi sama teman-temannya," ucap Naura.
"Beneran Ma?" tanya Zahra.
Naura mengangguk, "Tentu saja sayang."
"Asyik...!!! Makasih ya mama Naura emang paling baik deh," puji Zahra pada Naura.
"Sudah habiskan makannya terus istirahat ya," sela Rifki.
Hati Kevin kembali berdenyut nyeri melihat keakraban ketiga orang yang amat dia sayangi, bolehkah dia egois menginginkan Naura dan mengabaikan Zahra keponakannya?
Kevin segera bangkit dan membawa bekas piringnya sendiri ke dapur, setelah mencucinya dia beranjak ke kamarnya terlalu lama berada diantara mereka membuatnya semakin sesak. Namun baru saja kakinya akan melangkah ke dalam kamarnya suara Rini menginterupsi pendengarannya.
"Kevin."
Kevin menoleh ke samping dilihatnya Rini sedang berdiri tersenyum memandangnya.
"Ada apa Ma?" tanya Kevin. Rini melangkah menghampiri putra bungsunya. "Maafkan mama."
Kevin mengerutkan keningnya, "Untuk apa Ma?"
"Untuk semua salah Mama sama kamu Vin," ucap Rini pelan perlahan, air matanya mengalir begitu saja.
Kevin memeluk wanita paruh baya yang selama ini ini merawatnya dengan sangat baik.
"Sudahlah Ma, Mama gak salah kok justru Kevin lah yang selalu saja membuat diri Kevin tak nyaman sendiri. Kevin minta maaf Ma," ucap Kevin melepas pelukannya dan mengusap air matanya.
"Kevin janji akan buat Mama bahagia, Kevin masuk dulu ya Ma, mau nerusin garap tugas dari kampus," lanjutnya.
Tubuh Kevin merosot bersandar pintu seperti tak bertenaga padahal baru saja dia menghabiskan sepiring nasi. Mengingat kejadian di dapur dan juga di meja makan tadi, apakah dia mampu bertahan dengan keadaan seperti ini jika setiap hari disuguhkan oleh pemandangan yang membuatnya bertambah sakit.
Ternyata ikhlas itu berat, mengikhlaskan seseorang yang kita cintai untuk orang lain itu amat berat.
***
'Maafkan aku Vin,' ucap Naura dalam hati. Naura tahu jika sebenarnya Kevin mendengarkan segala percakapannya dengan Rifki karena tak sengaja melihat tangan memegang pangkal dinding, itu adalah tangan Kevin ada cincin putih tersemat di antara jarinya.
"Lagi mikirin apa sayang?" tanya Rifki melihat Naura terdiam di pinggir ranjang.
"Eh, tidak ada. Apa Zahra sudah tidur? Maafkan aku karena tak dapat menemaninya tidur, perutku rasanya nyeri sekali."
"Tak apa, aku sudah memberitahukannya dan dia ngerti jika Mama barunya sedang tak enak badan," seru Rifki.
"Apa boleh aku meminta sesuatu padamu?" ucap Naura ragu.
"Apa itu katakan saja," sela Rifki.
Naura diam apa dia harus mengatakannya atau diam menunggu Rifki yang memulainya.
"Katakanlah," seru Rifki.
Dengan ragu akhirnya Naura mengeluarkan perihal isi hatinya. "Aku---aku ingin pindah dari sini, aku ingin memiliki keluarga sendiri tanpa ada orang lain apakah mas Rifki bersedia jika pindah dari sini?"
Rifki mengurai senyumnya rupanya ini yang sedari tadi menjadi bahan pemikiran istrinya melamun berjam-jam, Rifki menghela nafas perlahan. "Apa kamu yakin? Bisa tinggal sendiri mengurusku dan juga Zahra jika kamu mampu, ayo kita pindah!" seru Rifki.
"Benarkah?"
Rifki menganggukan kepala. "Itu tadi, apa kamu sanggup mengurusku dan juga anakku itu?"
"Baiklah aku akan berusaha membuat kalian senang," sela Naura.
"Kalau begitu besok lusa kita pindah," balas Rifki membuat Naura membelalakkan kedua matanya.
"Kenapa lagi?"
"Secepat itu? Bukankah harus mengurus pembelian rumahnya, membersihkannya dulu dan sebagai---"
"Hhmmppt--" Rifki melumat bibir Naura dengan intens meski hanya beberapa detik namun membuat Naura kehabisan nafas.
"Jangan banyak bicara Naura aku tak suka itu, rumah sudah ada semua sudah siap kau hanya perlu bereskan barangmu saja oke."
Naura terdiam mendengar perkataan Rifki semudah itukah orang kaya menginginkan jika menginginkan sesuatu, tak ingin larut dalam pemikiran yang absurd Naura memilih untuk segera tidur mengistirahatkan jiwa dan raganya.
***
"Ma, aku dan Naura akan pindah ke rumah baru segera. Mama gak masalah kan Rifki tinggal? Di sini juga masih ada Kevin, bik narsih yang menemani Mama."
"Jadi pindah beneran ke sana? Kapan itu Rif, apa perlu juga pengasuh buat Zahra dan juga teman buat beres-beres rumah?" tanya Rini.
"Tak perlu Ma, aku sama Naura mau belajar urus sendiri. Aku yakin kok Naura lebih mengerti kebutuhan kami daripada cari pengasuh maupun maid, mungkin nanti jika Zahra punya adik baru aku meminta Mama buat bantu cari baby sitter."
"Eem, baiklah jika itu keputusan kalian Mama hanya ingin kalian menjalin hubungan dengan baik ingat jangan pernah menyimpan sesuatu sendirian saling terbuka adalah kunci sebuah hubungan. Kau mengerti Rifki?" ucap Rini.
"Baiklah Ma, aku akan menjaga mereka dengan baik," balas Rifki.
"Pa," panggil Zahra berlari keluar dari dalam kamarnya.
"Kenapa sayang, kok lari?"
"Mama Naura bilang hari ini kita akan pindah ke rumah baru, apa benar itu?" Zahra naik ke pangkuan Rifki.
"Benar sayang, nanti habis Papa pulang kantor, Papa jemput kalian di sini."
"Beneran Pa?"
"Tentu saja, kapan Papa pernah bohong sama kamu sayang. Sekarang bantu Mama Naura beres-beres barangnya ya."
"Baiklah Pa, Zahra siap bantu Mama," balas Zahra.
Cup
"Papa paling baik deh, is the best," Zahra mengacungkan dua jempolnya pada Rifki.
"Loh, siapa yang ajari itu nak?" tanya Rini penasaran kecerdasan Zahra semakin meningkat berkat kesabaran Naura membimbing Zahra belajar.
"Mama Naura dong siapa lagi," balas Zahra dengan senyuman khasnya.
"Ma, kok ada banyak koper di pintu depan rumah?" tanya Kevin seraya mendudukkan bokongnya di sofa tepat sebelahan dengan Rini.
"Itu barang-barang Naura mereka mau pindah ke rumah baru hari ini."
"Hah! Pindah rumah?" Kevin tercengang mendengar perkataan Mamanya Rini.