"Zahra papa pulang nak," teriak Rifki sepulang dari Bali.
Mendengar namanya dipanggil Zahra langsung keluar mencari Rifki.
"Papa... Mama... Kok pulang gak bilang kata Oma pulangnya besok?" ucap Zahra memeluk Rifki kemudian beralih ke Naura yang sedari tadi berdiri di samping Rifki.
"Ma, Zahra kangen banget beberapa hari gak di rumah bolak balik Zahra nanyain terus loh sama Oma kapan papa sama mama pulang," ujar Zahra bergelayut manja dalam pelukan Naura.
"Ini sudah pulang dek, mau oleh-olehnya gak?" ucap Naura mencium pipi gembul Zahra.
"Mau dong ma, yang banyak ya?" balas Zahra tersenyum.
"Oma sama Om Kevin kemana dek?" Rifki menyusuri isi rumah namun tak dia temukan yang dia cari.
"Oh, itu Oma sama Om Kevin ke rumah sakit Pa," balas Zahra.
Mendengar jawaban itu terang saja membuat Rifki dan Naura saling pandang.
"Siapa yang sakit dek? Oma sama Om Kevin baik-baik saja kan?" tanya Naura cemas.
"Yang sakit Om Kevin ma, kapan hari waktu mama sama papa pergi Om Kevin kecelakaan mau ke puncak bareng temannya," seloroh Zahra.
"Tapi Om Kevin gak apa-apa kan dek?" Naura semakin penasaran dengan perkataan Zahra.
"Gak sih Ma hanya saja sedikit lecet-lecet pada wajahnya. Kemarin sudah diobati kok sama Oma," ucap Zahra sebelum akhirnya Rifki berkata.
"Zahra bawa mainan kamu masuk ya nanti papa temenin main biar mama Naura beres-beres dulu oke."
"Iya pa," Zahra menurut pada perkataan Rifki sebelum akhirnya suara ponsel berdering mengalihkan perhatiannya.
"Hallo ada apa Dania? Bukankah aku sudah memberitahukan padamu sebelumnya untuk tidak menghubungiku selama aku cuti? Ada hal penting apa penting apa sehingga kau menghubungiku?"
"Maaf Rif aku hanya merindukanmu beberapa hari kau tak bisa dihubungi itu membuatku gila kau tahu?"
Rifki memandang Naura yang masih berada di dekatnya, Rifki bangkit keluar taman samping rumahnya sengaja menjauh dari Naura.
"Dengar ya, jangan coba-coba menghubungiku selain di jam kerja dan juga aku sedang tak ingin diganggu jadi aku mohon pengertiannya untuk tidak menelpon atau berkirim kabar padaku."
Klik.
Mood Rifki menjadi buruk setelah mendengar berita tentang adiknya Kevin dan juga Dania yang tiba-tiba saja berani menelponnya.
Naura yang mengetahuinya pun tak mau ambil pusing, dia memilih ikut ke dapur membantu bik Narti membuat makan siang.
"Sudah non tunggu di ruang tengah saja, saya gak enak kalau ketahuan nyonya besar," sela bik Narti.
"Gak apa kok bik, daripada saya bengong gak ada kerjaan. Oia baik, Kevin kapan kecelakaannya apa bik Narti tahu dengan siapa dia pergi?" tanya Naura.
"Eem, itu setahu saya pergi sama temannya yang dulu sering main ke sini non namanya Zal gitu panggilannya," ujar Narti.
Naura mengangguk faham maksud bik Narti adalah 'Rizal' teman kampusnya juga.
"Naura sayang kamu di mana?" teriak Rifki.
"Ya sebentar," Naura melepas apron yang melekat di tubuhnya sesegera mungkin menemui Rifki.
"Ada apa?" tanya Naura.
"Duduklah dulu," pinta Rifki.
Naura menuruti perintah Rifki duduk berhadapan dengannya.
"Mulai besok aku akan kembali bekerja, jadi aku harap kamu bisa menempatkan dirimu di sini sebagai seorang istri. Kamu tahu kan dengan semua jadwalku, dan aku harap kamu bisa dengan baik membantuku merawat Zahra putri semata wayang yang nanti juga akan menjadi putrimu juga. Apa sampai di sini kamu faham?" tanya Rifki.
Naura menganggukkan kepalanya.
"Apa aku masih boleh melakukan kegiatanku di luar setelah semua pekerjaanku selesai?" tanya Naura.
"Selama kamu bisa menjaga kehormatan suamimu di luar sana."
"Makasih, aku akan menjaga kepercayaan darimu. Aku hanya ingin keluar untuk menemui mama di rumah, itu saja."
"Eem baiklah."
"Ya ampun anak mama sudah kembali kapan itu? Aku kira kalian akan pulang besok tahunya sekarang sudah sampai rumah," seloroh Rini menatap Rifki yang masih duduk santai di rumah.
"Kevin gimana kabar ma? Apa dia baik-baik saja?" tanya Naura pada Rini yang saat ini masih berada di depannya.
"Anaknya dah baikan kok, mama saja kaget melihatnya kemarin. Siapa yang cerita?" tanya Rini
"Zahra tadi ma," balas Naura.
"Nah itu orangnya," tunjuk Rini pada sosok laki-laki yang pernah hampir saja menjadi---?
Kevin masuk dan mencoba tersenyum pada Rini dan juga Rifki.
"Kapan pulang mas?" tanya Kevin menatap Rifki yang tengah memainkan ponselnya.
"Baru saja balik, apa kamu terlibat pertengkaran?" tanya Rifki seakan mengintimidasi Kevin.
"Apa maksudmu?" tanya Kevin kesal dengan Rifki.
"Apa mas Rifki pikir dengan kecelakaan yang menimpaku itu akibat dariku bertengkar dengan seseorang?" lanjutnya.
"Aku pun tak tahu bisa saja ya, bisa juga tidak." ujar Rifki.
Mendengar kedua kakak adik sedang bersitegang, Naura sedikit mempercepat kegiatannya menata makanan di meja makan. Sungguh dia tak ingin berada dalam situasi seperti ini.
Kedua telapak tangan Kevin mengepal menahan kesal.
"Mas Rifki selalu saja menilai ku buruk tentangku, apa pernah melihat sedikit saja kebaikanku?" ucap Kevin.
"Mama pun sama selalu saja membela mas Rifki, aku memang gak pernah dianggap di keluarga ini. Semua mas Rifki yang atur, yang mengendalikan bukan?" lanjutnya.
Rini yang mendengar pertengkaran itu langsung menuju ke ruang makan dilihatnya kedua kakak dan adik sedang berseteru.
"Sudahlah nak? Jangan diteruskan tidak baik, apa kau tak malu dilihat oleh putrimu dan juga istrimu."
"Kalian sudah sama-sama dewasa seharusnya sudah bisa memilih yang terbaik untuk kelanjutan hidup kalian bukan malah bertengkar seperti ini, asal kalian tahu semua adalah salah mama sendiri. Semenjak papa kalian meninggal mama memang lebih memprioritaskan dirimu Rifki itu karena kau adalah tulang punggung keluarga ini. Padamu mama dan juga adikmu bergantung hidup tapi bukan begini caranya kamu memperlakukan adikmu Rifki," Rini mulai terisak.
"Kevin adikmu bukan orang lain," bentak Rini membuat semua orang yang ada di sana memandang ke arah Rini wanita paruh baya yang sedang dilanda emosi.
Naura memberanikan diri ke depan dan memeluk tubuh Rini yang menangis terguncang. Rifki dan Kevin saling menunduk dalam diam.
"Sudahlah ma, istighfar apapun masalahnya biarlah diselesaikan dengan terbuka," Naura memapah Rini ke meja makan dan menyuruhnya duduk di sana.
Kevin pergi ke kamarnya dan membereskan barang-barangnya begitu dia keluar sudah dihadang oleh Rini dengan tangisan air matanya.
"Kamu mau kemana nak?" tanya Rini menatap Kevin dan barang bawaannya.
"Kevin mau angkat kaki dari sini ma, Kevin capek diinjak-injak terus sama mas Rifki."
"Gak boleh Kevin jangan tinggalin mama Kevin, apa kamu gak sayang sama mama?" ucap Rini menangis berharap Kevin merubah keputusannya.
"Kevin sayang kok sama mama dan Kevin minta maaf ma jika selama ini Kevin selalu saja nyusahin mama. Kevin pergi, Assalamualaikum."
"Kevin...." teriaknya namun Kevin sudah tak peduli lagi dia sudah tak tahan tinggal satu rumah dengan Rifki.