Kisah perjalanan Lusi masih berlangsung. Jika kemarin ia telah sukses menandatangani kontrak perjanjian dengan Creatif Publisher, kini ia harus dihadapkan dengan seorang editor yang menurutnya sangat menyeramkan.
Namanya Arman. Ia editor yang akan memegang naskah milik Lusi dan akan melakukan revisi jika diperlukan. Lelaki yang memiliki tinggi hanya 160 centi meter itu tengah duduk di hadapan Lusi, sembari menatap naskahnya dengan lamat dan teliti.
"Ini kamu yang tulis sendiri?"
Lusi menipiskan bibir. Memangnya kalau bukan dia, siapa lagi? Namun ia hanya bisa berkata seperti itu di dalam hati, sebelum Arman merobek habis naskah yang sudah ia buat dua bulan penuh.
"Iya, Mas. Saya tulis semua naskah ini sendiri, dengan menggunakan kedua tangan saya yang rajin ini" jawab Lusi merembet ke mana-mana.
"Saya tidak bertanya dengan menggunakan apa kamu menulis. Maksud saya, apa semua ini murni ide kamu?"
Gadis itu menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya tanpa suara. "Ini karya saya, Mas Arman. Saya yang menulis, saya juga yang memikirkan ide. Silakan dilihat lagi, Mas." Lusi menyodorkan naskah yang ia pegang sendiri dan menunjuk sebuah nama pena berukuran kecil dengan jempol tangan kanannya. "Ini adalah nama pena saya, Loucy."
Arman mengangguk tanpa megeluarkan sepatah kata pun. Lusi sempat berpikir, bahwa laki-laki itu tidak memiliki cara lagi untuk menindasnya.
"Boleh saya mengubah sebagian?"
Lusi mengangguk lugas. "Mas Arman adalah editor saya dalam proses penerbitan buku Para Pencari Cinta ini. Jadi, jika ada yang kurang dan kurang sempurna, Mas Arman berhak untuk mengubah atau menambahkan."
"Saya salut dengan sikap pasrah kamu ini. Banyak penulis yang menangis ketika saya mencoret habis naskah mereka. Dan banyak yang memaki saya setelahnya."
Jika bukan karena ingin menjaga imej, mungkin Lusi akan melakukan hal yang lebih parah dari itu.
Melempar minuman yang tengah ia teguk saat ini, misalnya. Namun Lusi masih membutuhkan bantuan Arman, untuk saat ini ia akan menjadi murid yang patuh dan siap di kukus hingga empuk.
"Ada beberapa kisah yang menurut saya kurang pas di sini. Seperti kisah Sasha ini, dia adalah gadis yang mengejar seorang lelaki bernama Kastolo. Apa kamu yakin dengan nama Kastolo ini?"
Lusi berdeham dan menyentuh tenggorokannya yang baru saja dibanjiri air es jeruk peras yang rasanya sedikit masam.
"Saya yakin, Mas. Kastolo ini adalah laki-laki Jawa yang merantau dan berusaha bertahan hidup di kota. Mereka saling mengenal ketika Sasha berbelanja daun kemangi di pasar. Jadi, pertemuan mereka dibuat tanpa sengaja. Memang, ada yang salah dengan nama Kastolo?"
Arman terlihat menggeleng dengan sangat pelan dan menghela napas setelahnya. "Ini adalah novel tersulit yang akan saya revisi. Jadi, saya harap kamu bisa bersabar" ucap Arman pasrah.
Lusi mengernyitkan kening samar. Ia tidak mengerti dengan ekspresi yang Arman berikan. Apa lelaki itu menyesal? Atau merasa buku miliknya terlalu antik?
"Kalau begitu, saya pegang satu naskah dan kamu juga pegang satu naskah. Minggu depan kita bertemu lagi di sini."
"Baik, Mas. Terima kasih, dan hati-hati di jalan."
Arman pergi begitu saja tanpa membalas lambaian tangan Lusi. Gadis itu berdecih dan kembali duduk di tempatnya.
"Dasar sombong. Mentang-mentang editor, bersikap seenaknya."
"Kamu kenapa, Lusi? Wajahmu terlihat muram."
Lusi melirik Keke yang sudah duduk di hadapannya sekilas.
"Kamu tahu? Aku tadi bertemu dengan Arman, editor yang dikirim Creatif Publisher untuk membimbing naskahku. Agh! Aku memang selalu berdoa agar mendapat editor seorang lelaki, tapi jika orang seperti Arman yang memegang, sepertinya aku akan menarik kembali doa yang nampaknya belum mencapai langit ketujuh."
Keke hanya tersenyum sekilas. Pemandangan yang ada di hadapannya saat ini bukan satu atau dua kali ia saksikan. Lusi selalu seperti itu, jika bertemu dengan editor yang mungkin sudah mengacaukan naskahnya.
"Lusi, apa kamu tidak pernah menghitung, berapa kali kamu seperti ini?"
"Tidak. Aku pun tidak tahu seberapa banyak aku membenci para editor yang berusaha merusak alur dan nama tokoh yang sudah aku pikirkan sejak lama. Yang jelas, aku tidak suka mereka!'
"Kalau kau sulit mengingat, coba hitung saja semua buku di rumahmu. Bukankah itu semua karya yang kau tulis?"
Lusi memandang Keke yang tengah menaikkan sebelah alisnya. "25 buku" jawabnya tepat.
"Ya. Sebanyak itulah kau sudah membenci orang yang mengubah naskahmu."
Lusi melipat kedua tangannya di depan dada. Membicarakan laki-laki, gadis itu jadi teringat tentang ajang pencarian jodoh yang sudah ia bicarakan pada Keke.
"Bagaimana dengan poster pencarian jodohku?"
Keke hampir tersedak oleh minumannya sendiri. Ia mengeluarkan sedotan putih dari dalam mulut dan mengusap bibir dengan tisu.
"Aku belum memikirkan konsepnya. Tapi, apa kau benar-benar ingin melakukan ini?"
"Ya. Aku sangat yakin. Kau tahu, aku adalah seorang penulis yang hampir terkenal. Jika aku membuka pengumuman dan memasang poster di internet, pasti akan banyak CV lamaran yang datang ke tempatku. Ah, tidak. Maksudku, datang ke tanganmu."
Keke memutar matanya. Selama ia bekerja dengan Lusi, baru kali ini ia mendapat masalah besar.
Bukan hanya perihal membuat poster dan memasang pengumuman, Tapi, betapa malunya jika Lusi memamerkan namanya di sebuah poster pencarian seorang pacar.
"Kamu ini cantik, Lusi. Pasti banyak yang berharap menjadi kekasihmu! Untuk apa kamu merendahkan diri dan membuat pengumuman seperti itu?"
"Justru karena aku cantik, maka akan ada banyak pelamar yang menginginkan aku menjadi kekasihnya" jawab Lusi yang tetap berpegang teguh dengan pendiriannya.
"Jangan banyak tanya lagi, Keke. Lakukan saja apa yang aku katakan. Setelah ini, aku akan kembali sibuk dengan naskah yang membuat kewarasan sedikit hilang."
Keke hanya bisa patuh. Ia sudah bekerja selama 2 tahun di tempat Lusi. Menjadi manage dan asisten pribadi Lusi, membuat Keke sedikit melupakan masalah di rumahnya.
Gadis itu tidak meminta bayaran pada Lusi. Cukup hanya dengan diberi tempat tinggal dan jatah makan harian.
Kini mereka berdua tinggal di dalam satu rumah yang sama. Lusi membeli sebuah apartemen yang letaknya di tengah kota.
Mereka hidup berdua. Sebagai dua gadis lajang, Lusi maupun Keke tidak pernah memasak di rumah mereka.
"Tenang saja, Keke. Kau tidak perlu membuatkan makanan untukku setiap harinya. Karena kita akan membeli makanan pesan antar!"
Dan Lusi membuktikan ucapannya hingga hari ini. Hanya saja Keke merasa kasihan pada Lusi, ia hampir tidak pernah tidur lebih dari 5 jam setiap harinya.
Loucy. Nama pena atau nama lain yang selalu ia banggakan, tidak ingin membuat sebuah karya setengah jadi dan membuat para pembaca kecewa. Meski sampai detik ini, Keke yakin tidak ada satu orang pun yang tahu seperti apa wajah Lusi.