Chereads / Loucy Looking For Love / Chapter 8 - Dalam Situasi Yang Sama

Chapter 8 - Dalam Situasi Yang Sama

Andalanesia University. Siapa yang tidak tahu tempat itu? Universitas yang memiliki paling banyak mahasiswa di Kota Bandung. Namun tidak mudah untuk masuk ke sana.

Mereka harus mengikuti beberapa seleksi, dan hanya orang yang benar-benar cerdas yang akan lolos.

Bangunan megah yang terdiri dari lima lantai itu, memiliki luas sebesar tiga hektar. Selain ruang kelas untuk belajar, Andalanesia University juga memiliki asrama putra dan putri untuk setiap jurusan.

Arkan Harvey, seorang mahasiswa dengan jurusan Bahasa dan Sastra tengah berjalan memasuki area Andalanesia University.

Lelaki berparas tampan itu menjadi pusat perhatian banyak orang. Banyak yang tergila-gila pada Arkan. Selain wajahnya yang dipahat dengan sempurna, postur tubuh dengan tinggi dua meter itu bisa menjadi pelindung bagi gadis yang kelak akan menjadi kekasihnya.

"Arkan, bisa tidak kau berjalan biasa, saja?"

"Kau tidak lihat? Aku berjalan dengan kedua kaki dan melangkah sama denganmu. Apa menurutmu, itu tidak biasa?"

Jevon Marc. Satu-satunya teman yang Arkan miliki di kampus. Selain karena mereka satu jurusan, Jevon juga teman satu kamar asrama dengan Arkan.

Jevon sebenarnya tidak kalah tampan dari Arkan. Hanya saja, jika mereka berdampingan, ketampanan Jevon sedikit berkurang.

"Kau lihat, seluruh wanita memperhatikanmu! Apa kau tidak ingin menanggapi, mereka?"

Arkan menatap sekeliling. Ia baru ingat sekarang, kalau mereka tengah melewati asrama putri.

Pemandangan seperti ini sudah sering terjadi, jika Arkan melewati mereka. Jangankan melewati asrama putri, cukup melintas di koridor, sudah banyak wanita yang menatapnya dengan kagum.

"Sudahlah, ayo kita percepat langkahnya," ucap Arkan.

Arkan memang sangat tampan, namun ia terlihat dingin dan biasa saja. Ia tidak pernah terlihat antusias ketika bertemu dengan wanita cantik.

"Arkan, apa kau tidak ingin mencari seorang kekasih?" tanya Jevon, ketika mereka sampai di dalam perpustakaan.

"Jangan membahas hal yang tidak penting, Jev. Lebih baik kerjakan tugasmu sekarang, sebelum menangis dan meminta bantuanku."

Jevon mencebik pelan. Ia mengambil sebuah buku novel yang sangat tebal. Kemarin, seorang dosen meminta mereka untuk membedah salah satu novel terjemahan,

Arkan memang sangat senang membaca. Ia pikir, hanya akan ada satu orang laki-laki yang berada di kelas jurusan Bahasa dan Sastra. Namun ia bertemu dengan Jevon yang ternyata memiliki hobi yang sama.

Arkan membuka sebuah buku yang selalu ia bawa ke mana pun. Di depan Jevon, lelaki itu fokus membaca sembari mendengar lagu yang mengalun dari ponselnya.

"Kau masih membaca buku karya, Loucy?"

Arkan mengangguk. "Hanya dia, penulis yang aku sukai."

"Mengapa? Bukankah masih banyak, penulis yang jauh lebih hebat darinya? Seperti, Mark Sinclair, Shinta Dumb, dan yang lainnya."

"Kau terlalu banyak bicara, Jev. Lebih baik selesaikan saja tugasmu itu!"

Jevon menipiskan bibir dan kembali fokus dengan pekerjaannya. Selain tampan, dua lelaki itu juga memiliki hobi yang sama. Yaitu bermain basket. Tidak heran, kalau tubuh mereka sangat tinggi.

Tinggi tubuh Jevon berada lima centi di bawah Arkan. Mereka sudah seperti saudara kandung, ke mana-mana hanya berdua.

"Kau pulang lagi hari, ini?"

Arkan mengangguk. "Aku akan kembali ke asrma minggu depan. Ada banyak pekerjaan yang harus aku lakukan."

"Lalu, bagaimana dengan perpustakaan, kita?"

Arkan melepas earphone yang sedari tadi menutup lubang telinganya. "Perbaikannya sudah selesai, buku yang kupesan juga sudah datang. Jika mau, besok datanglah ke rumahku, kita bawa semua buku itu ke perpustakaan."

Jevon mengangguk cepat sambil tersenyum. Mereka berdua memang sudah merencanakan semua ini sejak awal. Menciptakan ruang perpustakaan umum, agar seluruh masyarakat bisa membaca dengan puas.

Selain novel dan buku bacaan, perpustakaan milik Arkan dan Jevon ini juga memiliki beberapa buku pengetahuan. Sangat cocok untuk orang yang ingin belajar.

"Memangnya, buku apa yang baru kau beli?" tanya Jevon, penasaran.

"Cinta Yang Hilang, karya Loucy."

Jevon mengangguk beberapa kali. Tidak masalah. Sebuah novel diciptakan untuk menghibur para pembacanya.

"Kau membeli berapa, banyak?"

"Dua ratus buku."

Jevon seketika menggebrak meja dengan keras, hingga mendapat teguran dari petugas perpustakaan.

Arkan berdecak pelan. Ia benci menjadi pusat perhatian, tapi karena kecerobohan Jevon, kini semua mata menatap ke arah mereka.

"Dua ratus? Apa kau sudah gila, Arkan?"

"Kau yang gila! Lihat, semua orang memperhatikan kita saat ini."

Jevon melihat sekeliling. Ia tersenyum canggung sembari meminta maaf kepada semuanya.

"Oke, aku minta maaf. Tapi kali ini aku serius, untuk apa kau membeli buku sebanyak itu? Kau hanya seorang mahasiswa beasiswa, Arkan. Kalau kau memiliki uang lebih, mengapa tidak dipakai untuk biaya makan? Apa kau tidak bosan, makan mie instan setiap hari?"

Jevon mengomeli Arkan, panjang lebar. Ya, Arkan memang mahasiswa yang mendapat beasiswa penuh. Jika bukan karena beasiswa, ia tidak akan sanggup bersekolah di Andalanesia University.

"Sudahlah, Jevon, aku pusing mendengar ocehanmu itu. Jika aku membeli semua itu, itu artinya aku memiliki uang. Bukan, begitu? Dan untuk urusan makan, besok datanglah ke rumahku. Aku akan memberimu makanan enak, untuk memperbaiki gizi."

Jevon tersenyum lebar dan berdeham pelan. "Oke. Lakukanlah apa yang kau mau, Arkan. Selagi kau memiliki uang, aku tidak peduli," ucapnya, tiba-tiba berubah pikiran.

***

Langit sudah mulai gelap. Musim pun telah berganti, sejak satu bulan yang lalu. Arkan menyusuri jalanan sembari membawa payung di tangannya.

Jarak dari universitas ke apartemen milikinya cukup jauh. Lelaki itu harus menaiki bus jika ingin sampai lebih cepat.

Jam di tangannya sudah menunjukkan angka tiga sore. Bergegas Arkan mempercepat langkahnya, sebelum hujan benar-benar akan turun.

Baru saja Arkan mempercepat langkahnya, rintikan air hujan mulai turun. Lelaki itu membuka payungnya dengan cepat sambil mengumpat kecil.

Pria itu sedikit memicingkan mata, ketika melihat seorang wanita yang sedang berdiri di depan pintu sebuah kafe.

"Lusi?"

Wanita itu pun menoleh. Ia tersenyum tatkala melihat Arkan yang datang sambil membawa payung.

"Hai, Arkan. Kau dari mana?" tanya Lusi melihat penampilan Arkan.

"Aku dari kampus. Kau sendiri, sedang apa di kafe ini?"

"Aku tadi bertemu dengan seorang teman. Kukira tidak akan hujan, karena tadi pagi terlihat begitu cerah. Namun sepertinya, semesta sedang menangis sore ini."

Arkan tertegun, ketika mendengar kalimat kiasan terakhir yang Lusi ucapkan. Ia teringat dengan salah satu kutipan yang ada di dalam novel Cinta Yang Hilang.

"Bagaimana, kalau kau pulang bersamaku?" tawar Arkan.

"Kau, serius?"

Arkan mengangguk pelan. "Rumah kita saling berhadapan. Jadi, pulang bersama adalah solusi. Lagi pula, jika kau terus menunggu, hujannya tidak akan reda, Lusi. Pasti akan terus semakin deras hingga malam."

"Kau benar. Kalau begitu, aku ikut denganmu saja."

Lusi menempelkan tubuhnya dengan Arkan. Kejadian hari ini, sangat mirip dengan kejadian kemarin. Ketika mereka pertama kali bertemu. Apa ini sebuah kebetulan? Atau memang takdir?