Pagi ini Lusi sudah bersiap dengan setelan blus dan sepatu kets yang menghiasi kakinya. Sesuai perjanjian minggu lalu, hari ini ia akan mengadakan pertemuan kedua dengan Arman---editor Creatif Publisher.
Semalam, laki-laki itu menghujami Lusi dengan pesan dan telepon. Gadis itu terlihat sangat stres dan geram sendiri melihat kelakuan Arman, yang sudah tidak seperti manusia.
"Lusi, kondisikan dirimu. Aku tidak ingin kau membuat masalah."
"Kau tenang saja, Keke. Aku masih membutuhkan bantuan pria jelek itu. Sampai bukuku terbit, aku tidak lagi berusan dengannya." Lusi mengatakannya dengan penuh tekad. Arman sudah cukup membuatnya emosi, padahal mereka baru saja membahas revisi kedua, dan masih akan ada banyak revisi lainnya.
"Kau yakin, tidak ingin aku temani?" Keke memandangi Lusi, cemas. Ia takut jika gadis itu tidak bisa mengontrol diri ketika bertemu dengan Arman.
Semalam, pria menyebalkan itu tidak berhenti mengirim pesan dan berlanjut ke telepon. Mengapa tidak salah satunya, saja?
"Tidak, Keke. Aku akan menemuinya sendiri, dan bicara empat mata dengannya. Sekaligus, aku ingin melihat, bagaimana cara dia memperlakukanku ketika tidak bersama denganmu."
Lusi meraih tas dan beberapa naskah yang sudah ia siapkan. Gadis itu meninggalkan Keke yang masih menatapnya sambil menikmati sarapan pagi.
"Semangat, Lusi. Semoga nasibmu segera membaik."
***
Lusi membuka pintu rumahnya. Ia mengerutkan kening, ketika melihat banyak sekali tumpukkan kardus di depan rumah tetangganya. Apa lelaki itu, memesan sesuatu?
Jika dilihat, sepertinya semua isi di dalam kardus tersebut bukanlah makanan atau benda-benda pecah belah yang sengaja dibungkus rapi.
Lusi melangkah semakin mendekat, penasaran dengan apa yang dipesan oleh pria tampan yang telah membantunya kemari. Di atas paket tersebut, pastinya ada resi pembelian sekaligus informasi tentang benda yang ada di dalamnya.
Belum sempat melihat, pintu rumah milik pria itu terbuka. Lusi langsung gelagapan dan mencoba bersikap tenang.
"Selamat pagi," sapa Lusi. Pria itu terlihat sangat tampan. Hidungnya mencuat dan bibirnya sangat tipis. Tunggu, apa Lusi melihat sebuah benda hitam berukuran kecil, di atas bibir pria itu?
Oh, tidak. Ia semakin terlihat tampan! Kedua mata Lusi beralih memperhatikan rambut si pria yang basah. Sepertinya ia baru saja selesai mandi. Lusi bisa membayangkan, seperti apa ketika pria tampan dengan tubuh kekar ketika membasahi dirinya di bawah pancuran shower.
"Kau... bukankah kau yang, kemarin?"
Lusi mengangguk kuat dan tersenyum. Tidak lupa, ia menjulurkan tangan untuk memperkenalkan diri secara pribadi.
"Namaku, Lusi," ucap Lusi masih menatap si pria sambil tersenyum.
"Arkan."
Tangan mereka saling bertaut. Lusi terpaku melihat ketampanan pria yang menjadi tetangganya saat ini. Gadis itu merasa sangat beruntung, karena mereka bisa bertemu setiap hari.
Lusi menarik kembali tangannya sembari menyelipkan rambut ke belakang daun telinga kanannya.
"Ini...."
"Oh, ini adalah buku yang aku pesan. Maaf, telah mengganggu kenyamananmu. Aku akan segera memindahkannya ke dalam."
"Tidak, tidak. Aku sama sekali tidak terganggu. Aku hanya penasaran, untuk apa kau memesan buku sebanyak ini?"
"Aku membuka perpustakaan kecil di pinggir kota. Meski baru berjalan dua hari, tapi sudah ada beberapa pengunjung yang senang sekali membaca di sana. Untuk itu, aku membeli banyak buku dan akan menaruhnya di sana."
"Kau sangat, hebat. Jarang sekali ada anak muda seusiamu yang peduli dengan kepentingan membaca seperti ini."
Pria itu hanya tersenyum singkat. Memang benar, minat membaca di seluruh dunia tidak sebanyak dengan minat menonton film di bioskop.
Namun entah mengapa, Arkan sangat menyukai membaca. Bahkan ia memiliki satu penulis yang sangat ia idolakan sejak lama.
Pintu lift terbuka, membuat Lusi melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Aku harus segera pergi, sampai jumpa."
Arkan hanya mengangguk dan tersenyum. Perhatiannya beralih pada tumpukkan kardus yang terlihat sedikit berantakan. Pria itu segera memindahkannya ke dalam, sebelum Lusi memberi surat peringatan.
Setelah selesai dengan tumpukkan kardus kelima, Arkan membuka kardus tersebut dan tersenyum sambil mengusap sebuah buku dengan sampul berwarna merah muda.
Cinta Yang Hilang.
Kedua sudut bibirnya terangkat, ketika membaca sebuah judul yang tertera di atasnya. Arkan sangat menyukai buku itu.
Kedua matanya turun ke bawah, membaca nama pengarang buku Cinta Yang Hilang.
Loucy. Arkan sangat menyukai semua karya Loucy. Selain menarik, setiap tulisan yang dirangkai sangat mengandung banyak makna. Arkan yakin, jika Loucy adalah seorang gadis yang sangat lembut dan berwibawa.
Selain itu, Arkan selalu membayangkan wajah Loucy. Selama gadis itu terjun ke dalam bidang literasi, Arkan tidak pernah menemukan informasi bahwa ia mengadakan acara pertemuan dengan penggemar atau spesial event untuk menandatangani semua buku yang akan dijual di toko buku terkenal.
Pria itu sangat ingin bertemu dengan idolanya. Bahkan, di dalam akun sosial medianya pun, gadis itu tidak pernah mengunggah foto pribadinya.
"Sangat misterius."
***
Lusi sudah berada di Morning Kafe sejak lima belas menit yang lalu. Namun ia belum melihat Arman sampai detik ini.
Gadis itu mendengkus kesal. Ia kembali menyandarkan tubuh di badan kursi sembari melipat kedua tangan di dada.
"Sudah jam segini, pria menyebalkan itu belum juga tiba. Bukankah semalam ia mengatakan, tidak boleh ada yang terlambat. Tapi lihat, dia sendiri justru tidak bisa datang tepat waktu." Lusi kembali berdecih, ia tidak suka pada orang yang tidak bisa menepati janjinya.
Tepat di menit ke dua puluh, Arman terlihat memasuki area kafe, sembari membawa tas jinjing di tangannya.
"Maaf, apa saya sedikit terlambat?"
Lusi melepas kedua tangan dan meletakkannya di atas meja. "Tidak apa-apa, Mas Arman," ujarnya begitu lembut, sangat berbeda dengan lima menit yang lalu.
"Baik, kalau begitu kita mulai saja."
Lusi membuka naskah miliknya sendiri. Arman mulai menjelaskan beberapa bagian yang harus terkena revisi bagian kedua ini.
Jika boleh mengakui, Arman memang terlihat sangat cekatan dan cerdas. Bahkan pria itu memberi beberapa masukan pada Lusi, di mana gadis kecil itu tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.
"Mas Arman, benar-benar sangat luar biasa," puji Lusi tanpa dibaluti rasa dendam sedikit pun.
"Kau terlalu berlebihan, Lusi. Maaf jika saya mengubah terlalu banyak isi cerita ini. Namun kau tenang saja, cerita asli mereka tidak akan hilang. Sesuai dengan permintaanmu, bukan?"
Lusi mengangguk pelan, "Benar. Dan sepertinya, Mas Arman telah sangat bekerja keras untuk naskah saya yang satu ini. Kalau begitu, makanan hari ini biar saya yang membayar."
Arman mengangkat kedua bahu sambil mengangguk. Lusi tidak salah dengan tindakannya hari ini. Bahkan sekarang, ia mulai mengakui bahwa Arman adalah editor yang sangat kompeten dan cerdas. Maafkan Lusi ya, Mas.
"Baik. Apa ada yang ingin ditanyakan, lagi?"
Lusi menggeleng. Ia sudah cukup mendapat ilmu dan pencerahan hari ini.
"Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih."