"Lihat saja sekarang, banyak sekali pengunjung di sini, Dave. Dan aku yakin, pasti setiap hari mereka datang dan memenuhi kafe mu. Apa kau selalu mendapat banyak keuntungan?"
Dave terkekeh pelan. Ia melepas celemek yang sedari menempel di tubuhnya selama pembuatan kopi untuk Lusi.
"Aku tidak pernah memikirkan keuntungan. Ketika aku membuka kafe ini, yang terlintas di dalam pikiranku hanyalah kesenangan. Aku senang membuka kafe ini, membuka banyak lowongan pekerjaan untuk masyarakat."
Lusi tertegun mendengar ucapan Dave. Lelaki itu sungguh berhati mulia. Pantas saja, ia terlihat senang, seperti tidak ada beban.
"Kau hebat, Dave. Aku sangat senang, bertemu dengan orang sepertimu."
Di saat tengah asyik mengobrol, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari atas langit. Lusi meletakkan cangkir kopi yang masih ada di tangannya ke atas meja pantri.
"Sudah mau hujan, aku harus pulang Dave," ucap Lusi tergesa-gesa.
"Biar aku antar." Dave sudah berdiri dari duduknya, namun Lusi justru menolak dengan gelengan kepalanya.
"Tidak usah, Dave. Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Kau masih harus mengurusi beberapa pelanggan. Kalau begitu, aku pergi dulu."
Dave hanya mengangguk dan membalas lambaian tangan Lusi. Lelaki itu menghela napas berat dan kembali pada pekerjaannya.
Lusi mendongakkan wajahnya. Langit sudah mulai gelap, ia harus segera sampai rumah sebelum hujan turun.
Ia berjalan sangat cepat. Namun sayang, kakinya yang pendek membuat Lusi harus merasakan rintikan hujan yang semakin lama semakin deras.
Gadis itu sedikit berlari sambil mencari tempat untuk berteduh. "Sial!" umpatnya pelan.
Hujan semakin deras, untungnya ia menemukan sebuah ruko yang sudah tidak terpakai. Gadis itu menepi dan berdiri di depan ruko tersebut.
"Hujan, mengapa kau datang di saat yang tidak tepat? Harusnya, kau turun setelah aku tiba di rumah." Lusi menyandarkan punggungnya di dinding. Ia memperhatikan air hujan yang sangat deras. Hingga tiba-tiba, gadis itu menguap.
Jika sedang hujan seperti ini, Lusi jadi terbayang dengan mie rebus yang dipadukan dengan telur serta beberapa iris cabai rawit.
Ah... membayangkannya saja sudah membuat perut Lusi bergemuruh. Ia ingin cepat pulang, agar bisa menikmati makanan itu.
Matanya langsung terbuka lebar, ketika melihat seorang pria yang tengah melintas sambil membawa payung.
"Hei!" panggil Lusi, hingga pria itu menoleh. "Bolehkah, aku menumpang dengan payungmu?"
Pria itu sepertinya tidak mendengar apa yang Lusi katakan. Ia perlahan mendekat, hingga akhirnya posisi mereka menjadi berhadapan.
Di saat seperti ini, Lusi malah terdiam. Jantungnya berdegup sangat kencang. Pria yang ada di depannya saat ini sangat tampan. Selain itu, postur tubuhnya juga sangat tinggi.
'Astaga... apa aku sedang bermimpi? Siapa pria ini? Mengapa wajahnya tampan, sekali?' Lusi menjerit dalam hati. Ia terpesona pada pria itu, sejak pandangan pertama.
"Maaf, apa yang tadi kau katakan?"
Lusi mengerjapkan matanya berulang kali dan tersadar dari lamunannya. "Itu... apa, aku boleh menumpang dengan payungmu?"
Pria itu terdiam sejenak. Kemudian ia mengangguk dan mengarahkan payung tersebut pada Lusi.
"Terima kasih," ucap Lusi sambil tersenyum.
Kini mereka berdua berada di dalam lindungan payung yang sama. Membelah hujan dengan keheningan yang mendominan. Hanya ada suara deru hujan yang semakin deras.
"Kau tinggal di mana?" tanya pria itu, membuka suara.
"Di Apartemen Jongjon. Kalau, kau?"
"Sama denganmu."
Apa? Sama? Apa itu berarti, pria tampan ini adalah tetangganya? Lusi menggeleng cepat. Tidak mungkin. Selama ini ia tidak pernah melihat wajah pria itu di samping apartemennya.
"Kau, tinggal di rumah nomor berapa?" tanya Lusi memastikan.
"Sembilan ratus dua."
Jantung Lusi seakan dihantam oleh benda berat. Napasnya langsung terhenti seketika. Sembilan ratus dua? Bukankah, rumah itu berada tepat di depannya?
Mereka berdua telah sampai di lobi apartemen. Lusi merapikan rambutnya yang basah karena terkena cipratan air hujan.
"Terima kasih. Kalau tidak bertemu denganmu, mungkin aku masih berteduh di tempat tadi."
"Sama-sama. Aku pergi dulu."
Lusi masih berdiri. Memperhatikan punggung pria yang tadi telah menolongnya. Ia tersenyum lebar, ternyata di dunia ini masih ada pria tampan seperti dia.
Gadis itu pun melangkah, menekan tombol lift dan masuk ke dalamnya. Kembali ia menekan angka sembilan dan menunggu hingga lift kembali berhenti.
Ada sesuatu yang berdesir di dalam tubuhnya setelah bertemu dengan pria tampan tadi. Lusi perkirakan, tingginya hampir mencapai dua meter. Sedangkan ia, hanya seratus enam puluh centi meter.
Gadis itu mengembuskan napas ringan. Apa mungkin, kalau mereka dapat bersatu? Bukankah, para pria tampan menginginkan pasangan yang serasi? Tinggi, usia, karir, semuanya harus cocok.
Lift akhirnya berhenti di lantai sembilan. Lusi melangkah sambil bernyanyi kecil. Pikirannya sudah kembali segar saat ini.
Ketika hendak membuka pintu, ia menoleh ke belakang. Rumah nomor sembilan ratus dua. Gadis itu menyunggingkan senyum kecil. Mengapa selama ia tidak sadar, bahwa ada pria tampan di depan rumahnya?
"Halo, Keke!" Lusi berteriak ketika memasuki rumah. Di atas sofa ruang tengah, ia sudah melihat Keke yang sedang tersenyum dengan sangat lebar. Tidak biasanya.
"Keke, ada apa? Kau terlihat sangat senang?"
Keke menyodorkan sebuah ipad pada Lusi. "Lihatlah, penjualan bukumu di bulan ini naik drastis, Lusi! Bahkan, ada orang yang membeli dengan jumlah fantastis!"
Lusi masih tidak percaya. Ia merebut ipad tersebut dari tangan Keke dan melihat grafik penjualan bukunya bulan ini.
Mulut Lusi sudah menganga. Ia menggeleng tidak percaya. Grafik penjualan bulan ini naik pesat, jauh dari bulan kemarin.
"Keke, apa ini serius?" tanya Lusi. Ia menyentuh wajahnya yang terasa sangat dingin.
"Benar, Lusi. Bukumu laku keras!"
Lusi berteriak dan memeluk Keke senang. Gadis itu sangat tidak menyangka, ternyata masih ada orang yang gemar membaca di dunia ini.
"Keke, sepertinya dunia sedang berpihak padaku hari ini," ujar Lusi sambil menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang kosong.
"Memangnya, mengapa? Ada yang memberimu hadiah, hari ini?"
"Tidak. Hari ini aku bertemu dengan seorang pria hebat yang tampan, tinggi, hidungnya berdiri tegak seperti sedang meremehkan hidungku yang kecil ini," ucap Lusi sembari menyentuh hidungnya sendiri.
"Lalu? Apakah dia menyatakan cinta, padamu?"
Raut wajah Lusi berubah lesu. Ia menggeleng dan kembali mengambil posisi duduk.
"Kami baru bertemu, Keke. Dia yang membawaku pulang, ketika aku terjebak hujan di pinggir jalan."
Keke mengangguk beberapa kali. Hanya orang lewat, ternyata. Obsesi Lusi yang ingin segera menikah, memang sulit dihilangkan.
Terkadang Keke merasa kasihan padanya. Ia selalu terlihat antusias ketika bertemu dengan pria tampan. Jadi, ini bukan pertama kali bagi Lusi.
Keke kembali pada aktivitasnya, yaitu melihat kembali grafik penjualan dan nama para pembeli buku Lusi tersebut.
Kedua matanya memicing, ketika menemukan satu nama yang membeli buku berjudul Cinta Yang Hilang, milik Lusi dengan jumlah fantastis. Dua ratus buku.
"Lusi, lihatlah ini!" teriakan Keke membuat Lusi terperanjat.
"Ada apa, Keke?"
"Kau lihat, ada orang yang membeli bukumu dengan jumlah fantastis!"