Seorang gadis yang masih meringkuk di bawah selimut tengah menggeliatkan tubuhnya.
Suara dering jam weker membuat tidurnya sangat terganggu. Lusi menyibak selimut tebal yang semalaman menjadi pelindung dari udara dingin yang ditimbulkan karena hujan semalaman.
Gadis itu baru saja memejamkan matanya tiga jam yang lalu. Ia menoleh ke arah jam weker yang sudah menunjukkan angka sepuluh pagi tersebut. Jadi, Lusi baru tidur jam tujuh pagi?
Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi untuk meregangkan seluruh otot di tubuhnya.
Sembari menguap, Lusi meninggalkan kamar untuk meneguk satu gelas air putih di dapur.
"Keke, kau masih belum bangun?"
Pintu kamar yang berada tepat di seberang kamar Lusi terbuka. Memperlihatkan seorang gadis yang sudah mengenakan hoodie dan celana jeans pendek dengan rambut diikat ekor kuda.
"Mau ke mana?" tanya Lusi yang masih duduk di depan meja pantri.
"Aku ada urusan sebentar. Sarapannya sudah kusiapkan di atas meja makan" jawab Keke penuh perhatian.
"Pergi sepagi ini? Apa kau tidak mau sarapan berdua denganku?"
Keke menghela napas berat. Ia berjalan ke arah Lusi---yang penampilannya masih berantakan.
"Lihatlah, kantung matamu kembali menghitam. Padahal kemarin sudah lumayan membaik. Kau tidak tidur semalaman?"
"Bagaimana aku bisa tidur, Keke? Mas Arman selalu mengirimkanku pesan. Aku pikir orang yang mengirim pesan semalaman adalah laki-laki yang tertarik denganku, ternyata si editor yang menagih naskah" ia menghela napas sejenak. "Kau tahu, mendapat satu pesan darinya, membuat keningku mengeluarkan keringat dingin. Rasanya seperti... ditagih oleh rentenir!"
Keke menggeleng heran. Ia mengeluarkan satu bungkus masker khusus dari dalam tas nya.
"Pakailah. Untuk memperbaiki bentuk matamu."
Lusi memperhatikan masker tersebut lekat-lekat. Ia mengambil masker tersebut dan mengangguk pelan.
"Terima kasih, Keke! Semoga harimu menyenangkan!"
Keke melambaikan tangan dan pergi meninggalkan Lusi yang masih mengunyah roti tawar di mulutnya.
Kini hanya tinggal ia seorang. Gadis itu berjalan ke arah jendela, memperhatikan alat transportasi yang sudah bergerak memenuhi jalanan.
"Untuk apa orang-orang berkendara di pagi hari? Apa mereka akan berangkat bekerja? Ah, tidak mungkin. Ini sudah jam sepuluh pagi, dan para pekerja kantoran akan terlambat jika pergi jam segini."
Kewarasan Lusi benar-benar hilang. Gadis itu bahkan mengomentari orang-orang yang sedang berlalu lalang di jalan raya.
Apalagi kepada pengendara sepeda. Gadis itu sampai mencebik kesal. Ia tidak habis pikir kepada orang yang membuat lelah diri sendiri. Bukankah mengendari sepeda sangat melelahkan?
Dering ponsel membuat Lusi mengalihkan pandangan. Ia melihat nama Arman tertera di layar ponselnya.
"Halo. Lusi di sini" sapa Lusi terdengar ceria namun hatinya menggerutu.
"Lusi, bagaimana dengan naskahmu? Apa sudah selesai direvisi?"
Lihat! Masih terlalu pagi bagi Lusi, tapi Arman sudah menanyakan naskah padanya. Ah, ayolah... hidup ini jangan terlalu dibuat serius. Lusi butuh ketenangan. Ayo ajak aku liburan!
"Bukankah Mas Arman sudah menanyakannya semalam?"
"Saya tahu. Tapi saya masih harus memastikan sekali lagi dengan kamu. Agar kamu tidak melupakan tanggung jawab sebagai penulis!"
Lusi memejamkan kedua mata dan mengepalkan tangan kirinya yang menggantung.
Andai saja Arman bukan orang penting di dalam mempersiapkan masa depannya, mungkin saat ini Lusi sudah mematikan ponsel secara sepihak.
Gadis itu menggerutu di dalam hati. Ia menyumpahi Arman dengan beberapa sumpah serapah yang sering ia gunakan ke para editor yang lainnya.
"Baik, Mas Arman. Saya sudah mengerti dengan tugas seorang penulis. Lagipula, semua yang Mas Arman minta sudah saya selesaikan."
"Bagus. Revisi yang saya maksud adalah bagian satu, bagian dua dan seterusnya kita bahas nanti."
Sambungan telepon berakhir begitu saja. Lusi menatap layar ponselnya geram. Selalu saja berakhir seperti ini.
"Sudahlah. Aku harus pergi sejenak untuk menenangkan pikiran."
***
Keke keluar dari apartemen Lusi dengan terburu-buru. Saat ini, ia akan bertemu dengan orang tua Lusi yang datang dari Surabaya.
Semalam, mereka menghubungi Keke dan meminta gadis itu untuk bertemu. Keke tahu masalahnya, dan semua ini sudah biasa ia tangani.
"Selamat siang. Maaf saya terlambat" ucap Keke menarik kursi dan duduk di hadapan sepasang suami istri yang usianya sekitar lima puluh tahun.
"Keke, bagaimana keadaan Lusi? Kami ingin sekali bertemu dengannya." Alva Delina. Sang ibu yang selalu mencemaskan Lusi itu terlihat begitu antusias.
Keke tersenyum untuk memberi ketenangan. "Tante tidak perlu mencemaskan Lusi. Dia baik-baik saja, dan saat ini ia tengah disibukkan dengan peluncuran buku terbaru."
"Syukurlah. Kami datang ke sini karena sangat merindukan Lusi. Sudah bertahun-tahun dia tidak pulang."
Alva menangis seketika. Membuat Keke sedikit kebingungan dan meraih tangannya pelan.
"Tante, saya mengerti dengan perasaan Tante. Tapi, Lusi juga masih butuh waktu untuk bertemu dengan kalian."
"Keke, apa kami masih dianggap sebagai orang tuanya?" Henri yang duduk di samping Alva bertanya. Ya. Lelaki yang usianya lebih tua dari Alva adalah ayah Lusi.
"Tentu saja. Lusi selalu merindukan kalian. Hanya saja, dia masih membutuhkan waktu. Mungkin kejadian beberapa tahun lalu cukup membuatnya terpukul."
Alva semakin terisak. Ia tahu jika Lusi sangat marah dan kecewa kepada mereka. Tapi, sebuah ikatan orang tua dan anak tidak bisa dipisahkan.
"Keke, apa kau tidak bisa membujuk Lusi?" tanya Alva menatap Keke penuh harap.
"Tante, Lusi adalah gadis yang keras kepala. Ia tidak akan mudah untuk dibujuk. Jika hatinya sudah kembali terbuka, ia pasti akan pulang untuk menemui kalian."
Henri mengembuskan napas berat. Ia merasa menyesal karena telah melakukan kesalahan di masa lalu.
Lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu memandang sekeliling dengan tatapan kosong.
Lusi adalah putri mereka satu-satunya. Berharap memberi yang terbaik, justru Henri dan Alva harus kehilangan Lusi yang memilih pergi ke luar kota dan bekerja sebagai penulis.
"Apa hidup dia terjamin? Apa uang yang didapat dari menulis bisa menghidupi semua kebutuhannya?"
Keke berdeham. Baru saja ia membujuk, sikap mereka sudah kembali seperti ini.
"Kehidupan Lusi sangat terjamin. Penghasilan yang ia dapat juga sangat cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kalian jangan cemas. Penghasilan Lusi bahkan bisa melebihi orang-orang yang bekerja di pabrik."
Henri tersenyum remeh namun tidak kembali bersuara. Berbeda dengan Alva. Wanita itu sudah mengangguk berkali-kali sembari menyeka kedua sudut matanya.
"Keke, terima kasih karena sudah menemui kami. Besok kami akan kembali ke Binjai, salam untuk Lusi."
Tentu saja Keke mengangguk. Sejujurnya, ia merasa kasihan pada Alva dan Henri. Di usia yang tidak lagi muda, mereka harus pergi ke Bandung hanya untuk mendapat kabar tentang putrinya.
Mengapa tidak melalui telepon saja? Jawabannya adalah, Alva ingin melihat langsung kota yang saat ini ditinggali oleh Lusi.