Seharian ini, Almira benar-benar dibuat pusing dengan tingkah Daffa. Laki-laki itu terus merajuk hanya karena tragedi pijat-memijat yang tadi Almira berikan sebagai hadiah untuk Daffa hingga membuat Hans salah paham dengan apa yang mereka lakukan.
"Daf, apa kamu tidak bosan bertingkah seperti bayi besar seperti ini?" kesal Almira karena sedari tadi menjadi babby sitter untuk Daffa.
"Kenapa aku harus bosan? Justru aku bahagia karena akhirnya bisa dimanjain sama istri sendiri," sahut Daffa dengan gaya yang begitu menyebalkan.
"Alah, ini bukan manja namanya, tapi nyiksa! Harusnya memang aku lebih baik bekerja di perusahaanku saja daripada bekerja denganmu hanya dijadikan babu!" gerutu Almira begitu jengkel dengan kelakuan suaminya.
"Ayolah, Sayang. Kau itu jangan marah-marah seperti ini! Harusnya kau bersyukur karena sudah mendapatkan kesempatan untuk berbakti kepada suami kamu yang tampan ini. Sudah! Kau jangan menggangguku! Aku harus bekerja agar bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah untukmu," ucap Daffa dengan seringai penuh kelicikan di bibirnya.
Almira hanya bisa berdecih melihat kelakuan suaminya. Kalau saja tidak takut dosa, sudah pasti Almira memukul kepala suaminya itu saat ini juga.
Seharian ini, Laki-laki itu terus meminta Almira untuk memanjakan nya dan tidak membiarkan Almira bekerja. Yang harus Almira lakukan itu hanya menyuapi Daffa, mengelap keringat lelaki itu, memberikannya minum, bahkan sampai mengipasi nya. Padahal, AC di sana baik-baik saja dan tetap berfungsi seperti biasanya.
Ah, Daffa memang mempunyai seribu cara untuk mengerjai istrinya. Sepertinya, laki-laki itu tidak akan puas sebelum melihat Almira kesusahan.
Namun meskipun kesal, Almira berusaha menahan kekesalannya. Dia tidak ingin menjadi trending topik di kantor suaminya karena sudah belaku bar-bar. Tungu saja nanti di rumah. Giliran Daffa yang harus memanjakannya.
Ah, semoga saja kerjaan Daffa ini cepat selesai agar mereka bisa pulang. Dengan begitu, Almira akan langsung mengeksekusi rencananya.
"Permisi Tuan Daffa, Nona Almira, klien kita yang awalnya akan mengadakan meeting bersama kita itu tiba-tiba mengcancel pertemuannya. Itu karena istrinya yang mendadak masuk rumah sakit, jadi mungkin meeting itu baru bisa dilakukan besok," ucap Hans menyampaikan berita yang baru saja diterimanya dari klien mereka.
Senyum penuh kemenangan langsung tersungging di bibir Almira. Akhirnya apa yang dia tunggu-tunggu datang juga.
"Baiklah, tidak apa-apa. Kita bisa pulang sekarang. Lagian kan, apa yang kita tunggu tidak akan datang," ucap Daffa karena memang ini sudah masuk jam pulang.
Tadinya mereka memang menunggu klien yang terlambat datang untuk mengadakan rapat. Namun karena si klien ternyata tidak bisa datang, jadi untuk apa mereka masih menunggu.
"Baiklah, Tuan. Kalau begitu saya akan kabari para karyawan yang lainnya," ujar Hans segera beranjak keluar dari ruangan Daffa.
"Apa kita juga akan pulang?" tanya Almira pada suaminya.
"Tentu saja, Almira. Lagipula aku tidak berminat untuk menginap di kantor. Aku terlalu merindukan kasur empuk milikku, Sayang. Jadi, ayo kita pulang!" ajak Daffa langsung merangkul bahu istrinya.
"Ish! Enggak usah pegang-pegang! Aku enggak mau!" kesal Almira sambil menyingkirkan tangan Daffa dari bahunya.
"Kamu itu kenapa sih, Al? Harusnya kamu seneng aku mesra kayak gini sama kamu!" ucap Daffa geleng-geleng kepala melihat kelakuan istrinya.
"Ogah!"
Almira langsung berjalan mendahuluinya Daffa. Itu membuat Daffa hanya tersenyum kecil dibuatnya.
Selama ini tidak ada wanita yang mampu menolak pesonanya, tapi kini Almira justru melakukannya.
Mungkin dalam sejarah hidup Daffa, hanya Almira lah wanita yang sulit dia dapatkan. Dan tentunya seseorang yang berada di masa lalunya.
Ah, sudahlah. Daffa tidak ingin mengingat hal itu. Karena wanita itulah mengapa Daffa menjadi seperti sekarang. Namun dia bersyukur, kehadiran Almira sedikit banyak bisa mengalihkan kebiasaannya. Selama satu Minggu menikah, selama itu pula Daffa belum jajan di luar lagi.
"Hey, kenapa kau malah diam saja, Daffa? Apa kau berencana untuk bermalam di sini!" teriak Almira menyadarkan Daffa dari lamunannya.
Laki-laki itu langsung terkekeh dan segera menyusul istrinya untuk masuk ke dalam lift.
"Apa kamu begitu terpesona padaku, Daffa? Aku perhatikan dari tadi kamu terus menatap aku," cibir Almira dengan senyum tipis di bibirnya.
"Apa terpesona pada istri sendiri itu merupakan kejahatan? Bukankah itu memang seharusnya yang aku lakukan? Terpesona pada kecantikan istriku sendiri, itu merupakan hal luar biasa, bukan?" tanya Daffa menatap begitu dalam manik mata istrinya.
Untuk beberapa saat, Almira terpaku pada tatapan Daffa yang begitu menenggelamkan. Namun, setelah sadar siapa laki-laki yang menjadi suaminya itu, membuat sudut hati Almira terasa dicubit. Sudah pasti bukan hanya padanya saja Daffa melakukan ini. Tapi kepada wanita yang menjadi mainannya.
Untuk menutupi luka yang entah kenapa harus dia rasakan, Almira langsung terkekeh. Tentu itu membuat Daffa mengenyit keheranan.
"Apa kamu sakit?" tanya Daffa heran.
"Enak saja! Kamu tuh yang sakit! Kamu pikir rayuan receh seperti itu akan mempan padaku, Daffa? Ckckck … kasihan!" cibir Almira dengan senyum yang penuh ejekan pada suaminya.
Mendapat respon yang tidak mengenakan dari Almira, Daffa langsung membulatkan matanya. Sungguh, dia tidak menyangka kalau Almira malah menganggapnya sedang merayu padahal itu jelas berasal dari hatinya.
Ish! Memang menyebalkan berurusan dengan wanita seperti Almira ini! Semua yang dia lakukan itu selalu saja salah.
"Sudah, kamu jangan melotot seperti itu! Itu membuatku benar-benar ingin sekali mencungkil matamu untuk aku jadikan mainan kelereng," ucap Almira sambil mengusap wajah Daffa agar matanya tidak terus melotot.
"Astaga! Sebenarnya wanita seperti apa yang menjadi istriku ini? Kenapa kelakuannya benar-benar ajaib?" decak Daffa sambil geleng-geleng kepala.
"Tentu saja wanita cerdas yang kecantikannya di atas rata-rata. Kamu saja yang buaya darat bisa langsung jadi buaya air! Lihat saja nanti!" ujar Almira langsung keluar dari dalam lift meninggalkan suaminya.
Daffa hanya geleng-geleng kepala lalu mengekor istrinya dari belakang. Sepertinya, apa yang dikatakan Almira benar adanya. Dia sudah jatuh kedalam pesona wanita itu hingga mampu tidak jajan dalam seminggu. Padahal, dulu sehari saja tidak bermain celap-celup, kepalanya akan langsung terasa sakit. Tapi kini justru dia tidak berminat melakukan itu karena takut kalau Almira pun akan melakukan hal yang sama.
Enak saja Daffa yang menghalalkan Almira tapi orang lain yang mendapat segelnya. Daffa tidak berminat menjadi laki-laki kurang beruntung seperti itu.
Sampai di dalam mobil, Daffa langsung tancap gas meninggalkan pelataran gedung kantornya.
Sepanjang perjalanan, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Apalagi Almira yang malah asik dengan ponselnya.
Sebenarnya Daffa kesal melihat itu. Namun, energinya terlalu habis untuk berdebat dengan sang istri saat ini. Biarlah Almira melakukan apa yang dia inginkan saat ini. Sebelum mereka kembali berperang ketika sampai di rumah nanti.