Merasa harapannya sangat kecil untuk bisa menemui Almira di kantor, Rian berniat menunggu wanita itu untuk pulang ke rumah Daffa. Dia yakin mereka tinggal di rumah kakaknya itu, mengingat memang Daffa sudah sejak lama menetap di sana.
Namun, karena waktu yang masih pagi, Rian memilih untuk menyambangi rumah kedua orang tuanya. Berharap, di sana dia bisa bertemu sang ibu dengan harapan mau membantunya keluar dari segala masalah yang sekarang menumpuk di pundaknya.
Dengan menggunakan taksi, Rian segera meminta di antar untuk pulang ke rumah besar keluarga Eldaz. Selama ini, ibunya tidak pernah mengecewakan dia dan selalu berdiri untuk membelanya jika dia ketahuan berbuat salah. Semoga, hari ini ibunya juga akan melakukan hal yang sama. Semoga, dia akan bisa keluar dari masalahnya dan kembali mendapatkan Almira.
Sepanjang perjalanan, Rian asik dengan ponselnya. Tentu saja untuk melihat foto-foto Almira yang memang sangat banyak di ponselnya. Rian memang selalu mengabadikan setiap kenangan antara dirinya dan juga Almira, sebagai pengobat rindu kala harus berjauhan dengan gadis itu.
Sesekali bibirnya melukiskan senyum kala melihat wajah cantik Almira yang penuh keceriaan. Pesona wanita itu bagaikan magnet yang mampu menarik dirinya untuk ikut masuk kedalam dunia yang Almira ciptakan. Semuanya yang ada pada wanita itu, Rian benar-benar mencintainya. Tak pernah sedetikpun dia bisa mengalihkan perasaanya ini pada orang lain meskipun itu adalah Livia, selingkuhannya.
"Kita sudah sampai, Mas," ucap si sopir kala sudah tiba di alamat yang memang tadi disebutkan oleh Rian.
"Baik, Pak. Ini uangnya," ucap Rian sambil memberikan uang lembaran merah pada si sopir.
"Terimakasih, Mas."
"Hem."
Rian segera turun dari mobil. Menatap pagar tinggi di hadapannya. Di balik pagar inilah dia selama ini mendapatkan limpahan kasih sayang. Semua keinginannya pasti Tuan Eldaz penuhi tanpa banyak bicara.
Sekarang, Rian menjadi ragu apa dirinya akan tetap mendapatkan kasih sayang itu setelah banyak rasa malu yang dia berikan untuk kedua orang tuannya. Rasanya, Rian tidak yakin masih akan mendapatkan sambutan hangat dari kedua orang kesayangannya.
Namun, Rian mencoba menguatkan hati, memantapkan kakinya untuk melangkah mencari perlindungan dari kedua orang tuannya.
"Hanya mereka yang aku punya. Aku tidak ingin jika harus kehilangan Almira lebih lama lagi. Aku juga tidak ingin bertanggung jawab atas Livia, aku tidak mencintainya," gumam Rian menyemangati hatinya agar tekadnya tidak lagi goyah.
Laki-laki itu segera melangkah mendekati gerbang. Dia menekan bel agar security membukankan gerbang itu untuknya.
Akan tetapi, bayangan kemarahan Tuan Eldaz menari di ingatan, membuat Rian kembali urung melakukan niatnya.
Derap langkah yang terdengar semakin mendekat, membuat Rian begitu panik. Segera dia berlari menjauh dari tempat itu lalu bersembunyi di balik pohon yang tak jauh dari sana.
Terlihat jika security di rumahnya celingukan kesana-kemari. Namun tidak mungkin mendapati Rian yang memang sedang bersembunyi.
"Tidak! Kalau aku nekad pulang sekarang, aku takut kalau Daddy akan menghukum aku. Sebaiknya, nanti saja setelah amarahnya reda, baru aku akan kembali datang," gumam Rian benar-benar tidak sanggup kalau harus mengahadapi kemarahan sang ayah saat ini.
Saat akan beranjak dari persembunyiannya, deringan ponselnya membuat Rian urung melangkahkan kaki.
Dengan penuh kekesalan Rian segera menggeser ikon hijau di layar ponselnya. Dia tidak ingin menambah runyam isi kepalanya. Setelah panggilan tersambung, dia segera menempelkan benda pipih itu di telinganya.
"Ada apa?" tanya Rian malas.
"Kamu dimana Rian? Kenapa beli rujaknya lama sekali? Apa kamu mau anakmu ini ileran?" cerocos Livia membuat Rian langaung menepuk jidatnya.
RianĀ benar-benar lupa alasan dia keluar itu adalah untuk membeli rujak. Hanya karena ingin bertemu dengan Almira, Rian malah melupakan segalanya dan kini nyasar sampai ke rumahnya.
"Rian! Kenapa kamu malah diam saja? Apa tukang rujak nya sangat sulit ditemukan sampai kamu belum kembali juga?" tanya Livia heran karena Rian tidak mengeluarkan suara apa pun.
"Iya, Liv. Kamu yang sabar ya, ini aku jalan kaki berharap bisa secepatnya ketemu sama tukang rujak. Aku janji kalau sudah ketemu akan langsung pulang," kilah Rian berusaha mencari alasan karena dia tidak ingin jika Livia mengeluarkan taringnya sekarang.
"Ya ampun, kasihan banget sih suami aku ini. Ya sudah, cepat kembali ya. Ingat, aku maunya mangga muda aja!" pinta Livia dengan suara yang begitu manja.
"Iya, aku tutup dulu, ya. Kamu sabar aja sebentar lagi," ucap Rian berusaha tetap bersikap manis agar Livia tidak macam-macam.
"Hem, iya. Bye."
Tut.
Setelah Livia mematikan sambungan teleponnya, buru-buru Rian kembali memesan taksi lewat aplikasi online di ponselnya.
Beruntunglah Rian tahu dimana biasanya penjual buah itu mangkal karena dulu sering menjajal makanan kaki lima bersama Almira. Jadi, dia bisa langsung meluncur ke sana setelah taksi pesanan nya tiba.
Bersyukurlah, tak lama ada taksi yang berhenti di dekatnya. Setelah dikonfirmasi kalau itu benar-benar taksi pesanannya, buru-buru Rian masuk dan menyebutkan alamat tujuannya. Semoga saja, tukan rujak itu masih ada di sana. Dengan begitu, Rian tidak perlu repot-repot untuk kesana-kemari mencari pesanan Livia.
****
Lain halnya dengan Rian yang kini harus memenuhi hasrat wanita hamil simpanannya, lain pula dengan Violla yang kini sedang diintrogasi oleh David.
Laki-laki itu terus bertanya perihal maksud kedatangan Rian dan apa saja yang dibicarakan Violla dengan laki-laki kurang ajar itu.
"Ya ampun, Dav. Kamu itu posesif banget! Udah kayak takut yang pacarnya di rebut mantan aja, sih!" cibir Violla geleng-geleng kepala.
"Heh, sembarangan! Aku itu bersikap kayak gini dalam rangka melindungi Sabahat jelekku dari buaya kakak beradik itu," sahut David dengan gaya yang begitu menyebalkan.
"Hish, ngelantur aja! Emangnya kamu sendiri bukan buaya? Lagian kalau Kak Daffa itu buaya berkelas, dia uwuu banget tahu! Nah kalau si Rian baru itu buaya rawa, enggak ada menggoda-menggodanya sama sekali," ucap Violla sambil membayangkan kedua adik kakak yang mempunyai kepribadian bertolak belakang itu.
"Kenapa begitu? Memang apa bedanya? Sama-sama buaya juga, kan?" tanya David heran.
"Ya bedalah, Dav. Kalau kak Daffa itu nakalnya blak-blakan, semua orang udah tahu dia sukanya main cewek sekali celup. Nah, sedangkan si Rian sukanya main belakang. Sekalinya ketahuan, langsung nyess sakitnya sampai ke paru-paru. Udah gitu, ngeyel lagi enggak mau disalahin," jelas Violla dengan gaya yang begitu lebay.
"Bener sih, yang kamu bilang. Tapi kok kesannya lebay banget, ya," ucap David membuat Violla langsung mendelik kesal.
"Hish, dasar! Udah ah, aku mau kerja! Nanti Tuan Candra mecat aku lagi," ujar Violla langsung melengos meninggalkan David.
"Hey, tunggu! Jadi gimana soal tadi? Si Rian ngomong apa aja tentang Almira? Dia mau ngapain nyari-nyari Almira?" tanya David berusaha menghentikan Violla.
"Cari tahu aja sendiri di Mbah Googlu. Aku enggak ada waktu buat ngomong sama kamu lagi!" ucap Violla sama sekali tidak berniat menghentikan langkahnya.
"Hey, Vio! Aku enggak mau lagi ya, antar jemput kamu kalau kayak gini!" ancam David berhasil menghentikan langkah kaki Violla.
"Bodo! Emang aku pikirin! Lagian taksi juga masih banyak yang bisa antar jemput kapan pun aku mau. Udah enggak usah ngoceh di sini lagi! Nanti kamu juga bakalan di pecat!" balas Violla kembali melanjutkan langkahnya.
"Hish, dasar neyebelin! Awas aja kalau si Rian itu emang niat buat nyakitin Almira lagi! Aku enggak segan-segan buat bejek tuh orang!" geram David penuh kekesalan.
Laki-laki itu segera kembali manaiki mobilnya. Lagipula memang dia tidak bekerja di perusahaan Chandra. Dia harus segera sampai sebelum apa yang dikatakan Violla menjadi kenyataan. Bisa bahaya nanti dia akan benar-benar di tendang dan tidak akan dipungut lagi.