Salah satu peraturan di rumah ini yang dibuat oleh Tuan Yudha adalah Triplet diizinkan keluar rumah hanya untuk melakukan hal-hal penting saja. Selama ini jika Tuan Yudha di rumah, Pradhika's Triplet selalu mencuri-curi kesempatan jika ingin keluar bebas.
Tapi, karena Tuan Yudha sangat jarang di rumah, jadi anak-anaknya melupakan semua peraturan yang Tuan Yudha buat. Apalagi yang namanya Yuji itu, bahkan malam ini saja Yuji tidak izin mau menginap di rumah temannya. Tuan Yudha sudah mewanti-wanti akan menghukum anaknya itu jika pulang besok.
Siji masih berusaha meminta peta tadi pada papanya.
"Papa, kemarikan kertas itu! Abang mohon, Pa!" pinta Siji. Ia kini sudah beberapa langkah lagi sudah akan mencapai papanya, namun rasa sakit kembali menghujam perut bawah bagian kirinya, dekat panggul.
Siji menghentikan langkah. Kedua lututnya jatuh menghantam lantai. Siji berdiri menggunakan kedua lututnya.
Tuan Yudha sedikit tersentak melihat itu. Namun, ia tak berbuat apa-apa. Dia tahu jika anak-anaknya itu keras kepala dan memiliki harga diri yang sangat tinggi. Jika, Tuan Yudha sok-sokan membantu, yang ada malah melukai harga diri anaknya. Jadi, Tuan Yudha masih duduk dengan angkuhnya di atas meja belajar anaknya, yang ia buat sendiri itu.
"Lalu, apa istimewanya kertas ini sih, Bang? Peta tentang apa memangnya? Abang sedang main permainan 'Pencarian Harta Karun' dengan Babang Yuji dan antek-antek kalian itu, ya?!" ejek Tuan Yudha.
Tuan Yudha tersenyum remeh ke arah Siji. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, ia sedikit merasa iri karena anak-anaknya bisa sebebas itu.
Padahal, saat sekolah dulu, Tuan Yudha hanya tahu belajar, belajar dan belajar. Jarang sekali bermain seperti anak-anaknya itu. Tapi, keliaran anak-anaknya juga membuat Tuan Yudha sedikit khawatir. Bagaimana kalau mereka berakhir luka-luka seperti waktu itu? batinnya.
"Bukan peta harta karun, Papa. Itu ... itu hanya kertas tidak penting, hahaha. Kenapa itu begitu mengganggu papa hanya dengan kertas usang itu seperti itu, eum?"
Siji mencoba beralasan. Ia tidak mungkin bukan berkata jika itu adalah peta tempat bangunan 'Kuil Kuno Kucing' berada. Jika Siji mengatakan itu tentu saja papanya akan menanyakan lagi cerita keseluruhannya.
Tuan Yudha hanya mengangguk sebagai respon bahwa dia percaya dengan ucapan anaknya tadi. Ia kembali memperhatikan kertas usang itu.
"Hmm ... tidak penting, ya? Kalau begitu, pasti tidak akan ada yang keberatan juga jika papa menyobeknya, bukan? Ini 'kan kertas yang tidak penting kata Abang tadi," ucap Tuan Yudha, disertai seringaian yang sulit diartikan.
Siji seketika mendongak mendengar ancaman papanya itu. Ia berjalan menggunakan lutut untuk segera mencapai papanya. Namun, lagi-lagi Siji merasakan nyeri di perut kiri bagian bawah, nyeri itu bahkan menjalar ke punggung bawah.
Siji menyerah. Papanya itu benar-benar ingin mengerjai Siji saat ini. Tidak ada duo maut, sekarang malah papanya yang punya hobi menindas Siji.
Siji menjatuhkan pantatnya di lantai. Duduk berlunjur sambil menopang tubuh ke arah belakang menggunakan kedua tangan.
"Jangan sobek kertas itu, Abang mohon, Pa! Demi kertas itu, Abang bahkan sudah mengorbankan roti sobek Abang ini untuk dilihat banyak orang," racau Siji. Ia mengingat betapa perjuangan mereka untuk hanya menemui Madam Ameri.
Tuan Yudha berpindah mundur ke sisi meja yang lain, agar tidak dapat digapai putranya. Ia malah mengibar-ibarkan kertas itu di udara.
"Jadi, kertas ini sungguhan penting ya, Bang?"
Bersambung ....