Chereads / Pradhika's Bloody Incident / Chapter 16 - Kebenaran

Chapter 16 - Kebenaran

"Huwaakh ... lelahnya!" pekik Ryushin sambil merebahkan tubuhnya di sandaran sofa di rumah Pradhika ini. Mereka baru saja tiba di kediaman Pradhika.

"Aku yang lebih lelah dari kalian. Lelah pikiran juga karena harus mencari cara untuk membayar hutang-hutangku ke Yuyu Kangkang. Padahal, kita semua yang menaiki mobilny, tapi kenapa cuma aku yang bayar, huh?!" Siji menyahut, tidak terima.

Pasalnya, memang dialah yang tekor di setiap perjalanan. Yuji yang memiliki uang jajan lebih itu mana mau mengeluarkan sepeser uang pun. Yuji memang mengeluarkan uang, tapi dihitung hutang. Dan bunganya 20% lagi. Bagaimana Siji tidak kesal, coba?

"Diih ... Siji untuk adeknya sendiri kok peritungan?" Nah, ini suara si bungsu Reiji. Meski dia masih berwujud kucing, tapi semua orang yang memakai gelang pemberian Madam Ameri tadi dapat mengerti ucapan kucing oranye itu.

"Bener kata Dede Rei, Sithok! Kau jangan peritunga sama Adek sendiri! Uang masih bisa dicari, tapi kalau kebersamaan kita seperti ini, mahal harganya!" Yuji berucap, sok bijak.

Padahal, jika dibalikkan faktanya sebenarnya dia yang lebih perhitungan daripada Siji. Namun, bukan Yuji namanya jika tidak bisa selalu menang. Yuji memang ingin menang semaunya sendiri.

Siji hanya bise mengembuskan napas kasar. Dia memang tidak bisa melawan setiap kali berdebat dengan Yuji maupun Reiji. Jadi, Siji memilih diam saja daripada makin panjang urusannya.

Yuji kini menggunakan masker dan sarung tangan. Dia juga sudah meminum obat anti alergi tadi. Keinginannya sangat bersar untuk dapat menyentuh adiknya. Jadi, Yuji akan melakukan apa pun untuk dapat berinteraksi dengan Reiji, meski Reiji masih dalam wujud kucing.

Yuji memberi makan Reiji dengan makanan kucing kering. Dia terus-terusan tersenyum di balik masker yang dia pakai. Dia sangat lega karena adik yang selama ini Yuji cari ternyata berada di sekitar mereka.

Reiji menatap tidak suka ke arah makanan kucing yang berada di tempat makannya.

"Hmm ... Ano ... etto ... Bang Bang! Bukannya Babang Yuji itu sudah mengetahui jika aku ini Reiji, ya? Lalu, kenapa Abang masih memberi Dede Rei makanan kucing seperti ini, Abang?!"

Saat mengucapkan kalimat terakhir, Reiji menaikkan nada bicaranya.

Yuji yang masih belum terbiasa mendengar kucing yang dapat berbicara itu langsung terlonjak, membuat ia menjatuhkan bungkus makanan kering kucing. Padahal, sudah beberapa kali dia tadi mendengar kucing itu berbicara, tapi rasanya tetap aneh saja.

Yuji langsung bersimpuh dan menunduk dalam, tepat di hadapan Reiji, yang tentu saja masih dalam wujud kucing.

"Uwaa ... ma-maafkan abang, Dek! Abang benar-benar lupa. Kalau begitu, Dede Rei ingin makan apa hari ini, eum? Mie ayam? Bakso? Rawon? Soto? Nasi pecel? Nasi rendang?" tanya Yuji kembali.

Yuji memang benar-benar menyayangi adiknya itu. Yuji bersikap seolah-olah Reiji itu adalah junjungannya. Meski dalam wujud kucing sekalipun, Yuji terlihat masih perhatian dengan Reiji, adiknya.

"Sebenarnya, aku ingin ayam dan bebek panggang yang disirami bumbu pedes, Bang Tapi ...."

Yuji menatap mata kuning kucing oranye itu, menanti Reiji menyelesaikan kalimatnya.

"Tapi perutmu yang memang masih perut kucing itu, tentu saja tidak dapat menerima semua makanan itu, bukan?" Ini suara Siji.

Siji mendekat ke arah Yuji dan Reiji karena tertarik akan percakapan adik-adiknya itu. Terlihat sangat kompak seperti biasanya.

Reiji langsung tertunduk sedih mendengar apa yang diucapkan Siji, memanglah kebenaran. Waktu Siji memberinya makanan penyet Lele saja, Reiji berakhir diare waktu itu. Reiji benar-benar ingin menjadi manusia kembali. Ia merindukan kehidupan normalnya selama ini.

Reiji juga rindu sekali makan nasi rawon di warungnya Cak Toha. Lalu, nasi pecelnya Mbok Ijah. Dan makanan kesukaan Reiji yang lain.

Siji menepuk pucuk kepala Reiji.

"Tenanglah, Rek! Kami akan berusaha untuk mengembalikan wujudmu menjadi manusia kembali kok." Siji tiba-tiba tersentak menyadari apa yang ia lakukan baru saja.

Reiji langsung menatap Siji dengan tatapan tidak suka. Selama ini Reiji selalu marah jika kepalanya disentuh tanpa seizinnya. Kepalanya itu menyimpan otak Reiji yang jenius. Jadi, Reiji tidak suka kepalanya disentuh orang lain, meskipun itu oleh Siji sekalipun. Kalau Yuji dan papa mamanya, beda lagi ceritanya.

"Huwaakh ... ma-maafkan aku, Rei! Aku sudah kebiasaan menyentuh kepalamu. Aku tidak sadar jika tindakanku ini membuatmu marah, Rei" pekik Siji sambil memukuli tangannya sendiri, yang lancang menyentuh kepala jenius adiknya itu.

To be continued ....