Malam pekat seakan menjadi hal yang paling ditakuti oleh Alice.
Bahkan tidur pun juga menjadi hal yang paling menakutkan dalam kesahiaranya.
Namun Bella tak berhenti memberikan dukungan terhadapnya. Perempuan itu pun selalu menami Alice, dan tidur di sebelahnya saat malam tiba.
Hal ini ia lakuann agar Alice merasa tenang dan tidak akan bermimpi buruk lagi.
***
Saat tengah malam tiba, suasana lebih senyap dari biasanya, Bella sudah tertidur lelap di samping Alice. Sementara Daniel dan Diana juga tertidur di kamar yang lain.
Hanya Alice yang masih terjaga, netaranya mengedar dan memandang langit-langit kamarnya.
"Alice," terdengar suara samar memanggil.
Bulu kudu wanita itu mulai meremang, dia hendak membangunkan Bella, namun setelah ia melihat lebih teliti lagi, ternyata yang tidur di sampingnya bukanlah Bella, akan tetapi Caroline yang kepalanya berlumuran dengan darah.
Alice hendak berteriak, namun secara reflek tangan Alice membungkam mulutnya sendiri.
"Ini pasti hanya mimpi, aku tidak boleh terbawa suasana," gumam Alice.
Dan suara yang memanggilnya tadi kembali terdengar.
"Alice, tolong aku!" ucap suara itu.
"Sea?" panggil Alice. "Apa itu, Sea?!"
"Iya, aku Sea!" tegas suara itu. Dan dari bawah kolong tempat tidur terlihat Sea yang mulai muncul. Tubuh wanita itu dipenuhi dengan darah.
Alice benar-benar ketakutan.
Tapi dia berusaha menutup mulutnya.
Dia sedang mengalamai lucid dream.
Dan Alice maykinkan dirinya sendiri, jika ini hanya mimpi, namun dia tidak bisa keluar begitu saja dari mimpi ini.
"Alice, sudah kubilang. Jika kamu tidak mau menolongku, maka aku akan masuk ke dalam ragamu!" ancam Sea.
"Menjauh!" sergah Alice.
Sea terlihat semakin murka, kemudian Sea berlari mendekati Alice.
Sea lenyap ketika kulit mereka saling bersentuhan.
Entah mengapa tubuh Alice, mendadak tak bisa bergerak.
Alice merasa seperti tertimpa benda besar. Dadanya juga terasa sesak. Alice pun tak kuasa lagi, dan dia pun terbaring kemudian tak sadarkan diri.
***
Pagi harinya, Bella mulai bangun, dan dia mendapati Alice yang masih tertidur lelap.
"Alice, bangun," panggil Bella seraya menggerak-gerakkan tubuh adiknya.
Perlahan Alice membuka mata
dan mulai bangkit dari atas ranjang.
"Kamu bilang hari ini kamu akan membantu Felix, 'kan?" tanya Bella.
"Tidak." jawab Alice dengan singkat.
"Hei, bagaimana bisa tidak? Kamu sendiri yang bilang jika kedai es krim milik Felix akan buka mulai hari ini," ujar Bella.
"Itu bukan urusanku!" sengut Alice. Dan tanpa berbasa-basi Alice keluar dari dalam kamar.
Bella benar-benar tak mengerti dengan sikap aneh Alice ini.
"Apa jangan-jangan mereka baru bertengkar?" gumam Bella.
"Ah, tapi rasanya tidak mungkin. Kemarin Alice pulang bersama Felix dengan wajah yang sumringah. Tidak terlihat jika mereka sehabis bertengkar?"
"Lalu ada apa lagi dengan Alice?"
Bella pun turut berjalan keluar kamar, dan dia mendapati Alice tengah mengelus rambut Diana dengan lembut. Gadis itu nampaknya juga baru terbangun, dan saat ini dia tengah memegang alat lukisnya.
Bibir Alice tersenyum, dan menatap Diana dengan sorot mata yang aneh.
"Kalau Clara masih hidup, dia sebesar dirimu. Kalian seumuran, Sayang" tukas Alice dengan lembut.
Bella menatapnya dari kejauhan, dan dia juga mendengar ucapan Alice.
'Dia berbicara tentang Clara, padahal dia itu, 'kan sangat takut dengan nama itu?' bicara Bella di dalam hati.
"Bibi Alice, Clara itu nama teman baruku!" kata Diana sembari menaruh kuas cat airnya di atas meja.
"Benarkah? Aku senang kalian sudah saling mengenal," ujar Alice.
"Bibi, hari ini dia bilang tidak akan datang, dia pulang ke London!"
"Iya, Ibu sudah tahu!" jawab Alice.
"Ibu? Kenapa Bibi bilang begitu?"
"Memangnya kenapa?" tanya balik Alice pada Diana.
"Bibi, tadi bilang 'Ibu' Bibi Alice, 'kan bukan Ibuku?" protes Diana.
"Yah ... aku bukan ibumu, tapi aku ibunya Clara. Dan kau juga boleh memanggilku 'Ibu' karena aku sudah menganggapmu sebagai putriku sendiri," jawab Alice.
"Benarkah? Tapi, Bibi Alice, itu belum punya anak?"
"Namaku Sea, bukan Alice!" tegas Alice dengan kedua mata melotot.
Diana tampak bingung mendengarnya, anak perempuan itu mematung sesaat dan menatap Alice dengan ekspresi bingung.
Bella sudah tiadak tahan lagi dengan tingkah aneh Alice, dia berjalan mendekat dan segera meraih putrinya.
"Alice, kau tadi bicara apa? Apa kau sudah gila?!" bentak Bella pada Alice.
Namun Alice tampak santai, tatapannya begitu kosong, dan dia berbalik masuk ke dalam kamar.
"Alice! Tunggu!" teriak Bella.
Wanita itu mengejar adiknya masuk ke dalam kamar.
Dan di sana ia melihat Alice yang sedang mengemasi barang-barangnya.
"Hei, apa yang kau lakukan, Alice?" tanya Bella.
"Aku akan pulang ke London!" jawab Alice.
"Hei, tolong jangan lakukan itu!" pinta Bella.
"Jangan mengaturku! Prempuan Bodoh!" pekik Alice.
Bella benar-benar tak habis pikir mendengar Alice berbicara dengan nada kasar seperti ini, tidak seperti adiknya yang ia kenal.
Bella tidak bisa tinggal diam, dia berjalan dan segera memeluk Alice.
"Jangan lakukan itu, Alice, aku mohon. Aku tahu pasti kau lupa meminum obat, ya?" tanya Bella, "ayolah ... sadar, Alice. Jangan pergi ke London! Bukankah kota itu adalah tempat yang sangat kau benci? Di sana adalah neraka bagimu, Alice!" Bella berusaha mengingatkan adiknya.
"Diam! Jangan panggil aku 'Alice' tapi panggil aku 'Sea!''
"Apa?!" Dengan segera Bella melepaskan pelukannya. Dan Alice menoleh dengan sebilah pisah yang sudah ada di tanganya.
"Apa kamu mau menjadi koleksi mayatku selanjutnya?" tanya Alice dengan senyuman menyeramkan.
Dia berjalan mendekati Bella dengan masih menggenggam pisau.
"Aku mohon jangan lakukan itu, Alice! Aku mohon ... ingatlah, aku ini kakakmu!" tukas Bella pada Alice.
"Kamu tuli, ya? Aku ini bukan 'Alice' aku ini 'Sea!'"
Bella benar-benar ketakutan, dia tidak bisa membayangkan jika pisau yang ada di tangan Alice itu menghunjam ke tubuhnya. Ditambah lagi dia tidak bisa berlari, karena sedang berada di sudut tembok kamar, yang artinya jalan buntu. Sementara Alice berdiri membelakangi pintu.
Bella hampir putus asa, dan dia pikir jika hari ini adalah akhir dari kehidupannya.
Namun ternyata keberuntungan masih berpihak kepadanya.
Handphone berdering dan membuat konsentrasi Alice terbuyar.
Alice segera mengangkat panggilan telepon itu.
"Halo,"
[Halo, Alice, aku Caroline. Aku ingin mengajakmu bertemu hari ini juga! Kita harus selesaikan masalah kita tentang Carlos!]
"Ah, begitu, ya?" Alice pun tersenyum, dan Caroline mengirimkan alamat tempat dia mengajak Alice bertemu.
Tanpa berpikir panjang Alice langsung menuruti ajakan Caroline. Dan dia meninggalkan Bella begitu saja.
Bella tak tahu lagi harus berbuat apa? Yang ada di pikirannya, 'Alice itu sudah gila'
Dia bisa terlepas dari Alice namun dia tidak tahu apa yang akan di lakukan Alice selanjutnya.
Bella segera menghubungi Felix, untuk meminta bantuan.
To be continued