"Kalau aku menggunakan benda ini untuk membunuhmu, apa kau tidak takut?" tanya Caroline seraya tersenyum licik pada Alice.
Dia yakin jika Alice sedang ketakutan saat ini, tentu hal yang paling ia tunggu.
Namun pada kenyataannya tidak sama dengan apa yang ia pikirkan. Alice terlihat sangat santai.
Dan tak ada sedikitpun guratan ketakutan dari wajahnya.
"Kenapa kamu masih sempat tersenyum, Alice? Apa kamu pikir pistol yang ada di tanganku ini hanya mainan?" tanya Caroline.
Alice menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu itu senjata asli, lantas aku harus berbuat apa?" tanya balik Alice.
"Kamu tidak takut? Aku ini akan membunuhmu, lo?" ujar Caroline.
"Coba saja kalau bisa!" tantang Alice.
Caroline tampak meradang, di saat seperti ini saja wanita itu masih sombong terhadapnya. Tak habis pikir, mengapa Alice memiliki keberanian sebesar ini.
'Aku rasa dia benar-benar sudah gila! Lebih gila dariku!' batin Caroline.
"Baiklah, kali ini aku tidak akan membiarkanmu hidup lebih lama, Alice!" tukas Caroline, dan dia menyodorkan senjata itu kearah Alice, matanya mengeker dengan seksama.
Alice sama sekali tak berpindah dari tempat ia berdiri. Seakan sudah siap menerima peluru yang akan menghunjam jantungnya.
Keputusan Caroline untuk membunuh Alice sudah sangat bulat.
Dia melepaskan peluru dari pelatuknya.
Satu kali tembakan.
DUARR!
Suara itu menggelegar, peluru mendarat di bagian dada kiri Alice. Wanita itu langsung terjatuh.
Caroline tersenyum puas, dia manyaksikan sahabatnya terkulai lemah. Dan dia juga yakin jika satu tembakan saja sudah cukup untuk merenggut nyawa Alice.
Dengan senyuman penuh kemenangan, Caroline berjalan mendekat. Kakinya masih pincang, dia tidak bisa berjalan dengan baik tanpa bantuan tongkat di tangannya.
Dia hendak melihat lebih jelas, nyawa Alice yang mulai akan terlepas dari raganya.
"Aku ingin lihat bagaimana saat terakhirmu, Alice," ujar Caroline.
Tampak kedua mata Alice yang terpejam dengan rapat, bagian dada perempuan itu berlumuran darah.
"Benar dugaanku, dia mati dalam satu tembakan saja," gumam Caroline seraya menempelkan satu jari telunjuknya pada bagian lubang hidung Alice. Dan tak ada lagi hembusan napas yang terasa hangat.
Caroline tersenyum, namun kedua matanya seakan mengeluarkan butiran bening.
Dia senang, tetapi dia juga sedih. Bagaimana pun pernah menjalin kebersamaan dengan Alice.
Tetapi ini adalah keputusan yang paling benar. Caroline kembali bangkit. Dan hendak meninggalkan jasad Alice di tempat itu, namun belum sempat melangkah, tangan Alice bergerak dan memegang kaki perempuan itu.
Sejenak Caroline terdiam, dan menoleh ke belakang. Tampak kedua mata Alice yang kembali terbuka dengan bibir menyeringai. Tanpa ragu Alice langsung menarik kaki Caroline hingga terjatuh.
Kekuatan Alice seakan bertambah hingga berkali-kali lipat.
Alice menarik kaki Caroline seraya berjalan santai, tubuh prempuan itu terseret, hingga bagian wajah Caroline terluka karena tergores lantai.
"Akh! Hentikan!" teriak Caroline seraya mengeluh kesakitan. Tubuhnya juga meronra-ronta. Senjata api yang ada di tangannya terlepas.
Tetapi Alice menuruti perintah wanita itu. Dia melepaskan tangannya dari kaki Caroline.
"Apa sudah cukup segitu saja?" tanya Alice.
Caroline benar-benar heran dengan Alice yang tiba-tiba bisa bangkit lagi, bahkan tembakan yang mampu menjebol bagian dada Alice tak berarti apa-apa.
Padahal Caroline mengira jika Alice itu sudah mati, namun nyatanya dugaan itu salah. Dan Alice malah bangkit dengan tenaga yang luar biasa kuat.
"Alice! Aku sudah membubuhmu! Bagaimana kamu bisa bangkit lagi?" tanya Caroline seraya berusaha untuk terbangun.
"Aku bukan Alice?" jawab Alice.
Kedua alis Caroline mengernyit, karena mendengar ucapan Alice.
"Kau jangan gila, Alice! Sampai kapan pun aku tidak akan mengubah namamu!" pekik Caroline. Kemudian wanita itu berhasil meraih pistolnya yang terjatuh.
"Aku tidak tahu kau bisa hidup lagi karena apa? Tapi bagaimanapun caranya, aku akan tetap membunuhmu hari ini!" ancam Caroline, wanita itu kembali menarik platuknya.
DUAR!
DUAR!
DUAR!
Tembakan itu berkali-kali mendarat di tubuh Alice, darah menyembur ke berbagai arah.
Kali ini Caroline benar-benar yakin jika dia telah membunuh Alice.
"Maafkan aku, Alice. " Ucapnya seraya tersenyum.
Caroline pergi menjauh, namun tak sengaja, tongkatnya menyenggol tumpukan semen.
Tongkat yang terselip di selah tumpukan semen, membuat Caroline terjatuh.
"Ah, sialan!" umpatnya.
Caroline memijit sesaat kakinya yang terasa nyeri.
"Aku harap kakiku tidak bertambah parah!" ujarnya.
Tepat di saat itu Alice kembali bangkit, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Sebilah pisau yang sangat tajam. Ia memegangnya dengan seringai di bibirnya.
"Wanita Jalang, tidak pantas hidup berlama-lama. Bukan begitu, Alice?" ucap Alice. Namun beberapa saat kemudian Alice menangis.
"Keluar dari tubuhku, Sea! Aku mohon ...." Alice menangis seraya menundukkan kepalanya.
Satu detik kemudian, dia mengangkat kepalanya lagi, dan kedua matanya melotot tajam.
"Kau tidak boleh lemah! Mari kita habisi dia sekarang!" ujar Alice dengan tegas. Sebenarnya yang berbicara bukanlah Alice, melainkan Sea yang saat ini tengah bersemayam di dalam tubuh Alice.
Wanita itu dengan yakin berjalan untuk menghampiri Caroline.
Pisau yang ada di tangannya menjadi saksi, atas kehidupan terakhir Caroline.
Setelah memijit-mihit kakinya, Caroline berusaha untuk bangkit, dia sedikit kesulitan.
Dan tepat di saat itu pula, Alice menikamnya dari belakang.
Dia tidak menikam bagian punggung atau perut, melainkan di bagian kaki Caroline yang patah.
"Akh!" teriak Caroline kesakitan. Dia benar-benar syok melihat Alice kembali hidup.
Entah kekuatan apa yang ada pada tubuhh Alice, hingga wanita itu tidak bisa mati. Caroline sudah kehabisan akal.
"Aku lihat kakimu yang sebelahnya masih baik-baik saja?" tukas Alice dengan senyuman aneh.
"A-apa, maksudmu, Alice?" tanya Caroline panik. Namun Alice tidak menjawabnya, dia malah kembali menghunjamkan pisau itu pada bagian kaki Caroline yang satunya lagi hingga berkali-kali.
Caroline berteriak histeris, dia berharap belas kasihan dari Alice untuk menghentikan tindakkan ini.
Namun sekeras apapun ia meronta, tetap saja Alice berhasil mendaratkan mata pisaunya ke bagian betis, paha, dan bagian kaki yang lainnya.
Setelah puas, Alice baru menghentikan seranganya, dan Caroline sudah tidak berdaya.
Kedua kakinya terluka parah, hingga dia tak dapat berjalan sama sekali.
"Apa kau masih memiliki niat untuk membunuhku?" sindir Alice.
"Tidak, Alice. Aku mohon lepaskan aku ...." Caroline benar sudah tidak berdaya, dia berbicara dengan kedua mata setengah terpejam, namun dia masih dapat melihat wajah Alice walau sedikit buram.
Bahkan ada hal yang benar-benar membuatnya tak habis pikir, dengan akal sehat.
Alice mencongkel butiran peluru dari tubuhnya dengan ujung pisau. Satu per satu peluru itu dapat keluar. Dan tak sedikit pun perempuan itu merasa kesakitan, dia terlihat santai dengan raut dinginnya.
Caroline bergidik ngeri melihat tingkah Alice.
Niat hati ingin memghabisi Alice, namun malah dia sendiri yang sepertinya akan mati.
To be continued