2 bulan telah berlalu.
Carlos memang jarang menemui Alice, terlebih saat ini hubungannya dengan Bella juga kurang baik.
Hal itu membuat Carlos tidak begitu nyaman saat berlama-lama berada di rumah Bella.
Bella hanya bicara seperlunya saja saat bersama Carlos, tidak seperti dulu yang sangat dekat, dan bahkan seperti berbicara kepada adik kandungnya sendiri.
Hati Carlos semakin hancur, saat mengetahui, jika Felix dan Alice sudah resmi berpacaran. Bahkan Carlos juga mendengar rumor, bahwa keduanya akan segera melangsungkan pernikahan. Entah berita benar atau salah, yang jelas hal itu membuat Carlos menjadi tak bersemangat.
Carlos hampir menyerah dengan semua ini, tetapi dia masih belum rela kehilangan Alice.
Dan memang dia tidak mengejar Alice dengan penuh semangat seperti sebelumnya, namun Carlos tetap akan berusaha mendapatkan Alice sebisa mungkin. Walau separuh semangatnya telah memudar.
***
Sementara itu Caroline mendatangi rumah Carlos sendirian.
Dia keluar dari dalam mobilnya dengan kaki yang masih pincang. Tangan wanita itu memegang sebuah tongkat, yang ia gunakan sebagai alat bantu untuk berjalan.
"Pintu rumah Carlos terbuka, pasti orangnya ada di dalam," gumam Caroline.
Kemudian wanita itu masuk ke dalam tanpa mengucapkan permisi terlebih dahulu.
Caroline melihat buket bunga di atas meja, buket itu terlihat layu. Seperti sudah dibeli sejak beberpa hari yang lalu. Bahkan pada buket itu terdapat kertas yang bertuliskan 'untuk Alice' yang artinya Carlos sengaja membeli buket bunga ini memang untuk Alice.
Hanya saja entah karena masalah apa, dia tidak jadi memberikannya kepada wanita itu.
Caroline menebak jika Alice menolak buket bunga itu mentah-mentah.
"Dasar, Carlos Bodoh," gumam Caroline. Dia meletakkan kembali bunga itu di atas meja.
"Pasti dia mendapatkan penolakan dari wanita yang sok cantik itu!"
"Cih! Untuk apa dia mengejar wanita yang sama sekali tidak mengharapkanya?"
"Aku akan membuat bencana terhadap wanita itu dalam waktu dekat ini!"
"Harusnya aku mencelakai Alice sejak lama. Namun karena kecelakaan sialan yang kualami, aku harus menunda niat burukku itu!"
Wanita itu
masih duduk di atas sofa, dan menanti kedatangan Carlos.
Dia yakin Carlos akan keluar, dan dia tidak perlu menghampiri pria itu ke dalam kamar.
Tak lama Carlos keluar dari kamarnya. Dan pria itu berjalan menuruni tangga.
Carlos tampak kaget melihat kehadiran Caroline.
"Perempuan itu lagi," gumamnya dengan raut kesal.
Caroline tak menyambut Carlos dengan ramah seperti biasanya, wanita itu hanya menatap Carlos dengan sorot mata yang tajam. Dia memang sangat mencintai Carlos, namun masih ada rasa kesal di hatinya. Terutama saat mengingat Carlos yang telah mencampakannya. Bahkan saat terbaring di ruang sakit saja, Carlos juga tidak hadir.
Namun kekeksalan itu tidak membuat Caroline berhenti mencintai Carlos. Karena dia yakin akan berhasil mendapatkan Carlos.
Jika tidak berhasil, maka dia akan membuat Carlos tidak dapat dimiliki oleh wanita mana pun. Seperti yang ia rencanakan selama ini.
"Mau apa kamu datang kemari?" tanya Carlos.
Caroline berdiri dari tempat duduknya, dia berjalan mendekat.
"Kenapa masih bertanya seperti itu? Apa aku harus mengatakan berulang-ulang kalau aku ke sini mencarimu?" jawab Caroline.
"Cih! Tidak tahu malu!" cerca Carlos, "apa kamu itu sudah tidak memiliki harga diri?" sindir Carlos pada Caroline.
Akan tetapi wanita itu tak peduli, dia tersenyum tipis, dan tetap memberi waktu untuk Carlos, agar berbicara sesuka hati.
"Carol! Aku sudah berkali-kali menolakmu, tetapi kamu tetap datang dan terus mengejarku! Kamu tidak tahu malu! Kamu wanita murahan!" hina Carlos pada Caroline.
Gadis itu menggelengkan kepala seraya berdecak heran.
"Ah ... begitu, ya?" Caroline tersenyum sinis, "apa masih ada hinaan lain yang ingin kau lontarkan lagi?"
"Sudah cukup! Aku pikir percuma saja aku menghina Wanita Murahan yang tidak tahu diri sepertimu!" sahut Carlos.
"Kalau aku Wanita Murahan, lalu bagaimana denganmu?" sindir Caroline pada Carlos, "aku harus menyebutnya apa? 'Pria Murahan?'" cercanya.
Kedua mata Carlos menajam mendengar ucapan Caroline.
Dan wanita itu melanjutkan kalimatnya.
"Kau tetap mengejar wanita itu meski terus mendapat penolakan! Bahkan bunga yang akan kau berikan padanya saja sampai layu!" ujar Caroline.
"Carlos, kau mengharap cinta dari seorang wanita yang sudah menolakmu! Apa kau tidak punya harga diri, hah?!"
Carlos terdiam mendengar pertanyaan Caroline itu.
Dan Caroline masih belum berhenti berkicau.
"Kau itu bodoh! Jelas-jelas ada wanita yang dengan tulus mencintaimu! Tapi kau malah mengejar wanita yang jauh lebih buruk dariku, dan tidak mencintaimu!" hina Caroline.
"Diam kau, Caroline!" bentak Carlos.
"Kenapa? Kamu tidak terima dengan ucapanku ini?" tanya Caroline.
"Tentu saja! Karena kau sudah mengatakan jika Alice jauh lebih buruk darimu! Jelas-jelas dia itu seribu kali lebih baik dibanding dirimu!" sahut Carlos.
"Cih!" Caroline mengangkat sedikit sudut bibirnya. "Mana ada seperti itu?"
"Pergi!" sergah Carlos seraya menunjuk kearah pintu, "di sana jalan keluarnya!" ucapnya.
"Tidak! Aku tidak mau pergi!" sahut Caroline.
"Lupakan aku, Carol! Dan berhentilah berbuat bodoh dengan mengejarku!"
"Aku tidak akan berhenti mengejarmu! Sama sepertimu yang tak berhenti mengejar Alice!" kata Caroline.
"Dasar, Wanita Gila! Cepat menyingkir dari hadapanku!"
"Yah ... aku memang Wanita Gila, dan Wanita Gila itu sangat cocok dengan Pria Gila, sepertimu!" ucap Caroline pada Carlos.
"Aku tidak gila! Karena aku hanya ingin mendapatkan apa yang harusnya menjadi milikku! Dan Alice adalah milikku!"
"Ah, begitu, ya? Aku tidak tahu seberapa besar cintamu kepada Alice, tapi biar aku beritahu kepadamu bahwa rasa sayangku kepadamu jauh lebih besar dari apapun!"
"Terserah!" sahut Carlos.
"Yah, aku akan memberimu kejutan suatu hari nanti. Dan itu jika kamu masih tidak mau kembali denganku lagi!" kata Caroline seraya keluar dari dalam rumah Carlos.
Bibirnya tersenyum licik, seperti tengah merencanakan sesuatu.
Carlos tidak tahu apa rencana Caroline selanjutnya, dia tak peduli.
Yang terpenting wanita sialan itu bisa enyah dari rumahnya
Mobil Caroline mulai melaju meninggalkan kediaman Carlos.
"Kenapa Carlos begitu bodoh? Ah!" Caroline menggebrak bagian stir mobil. Dia hendak mempercepat laju mobilnya, namun dia teringat dengan kejadian sebelumnya. Dimana dia, mengalami kecelakaan dan membuat kakinya sampai patah.
"Aku harus bisa mengontrol emosiku. Kalau tidak aku akan kalah. Kalau sampai aku mati karena kecerobohanku sendiri, maka Carlos dan Alice akan berbahagia!" ucapnya pada diri sendiri.
To be continued