Alice tersenyum sinis meninggalkan Carlos.
Dia keluar dari dalam rumah, dan menyambut Felix dengan mobil bututnya yang mulai memasuki area rumah Bella.
Carlos hanya bisa menatap nanar kepergian mereka.
Lagi-lagi Felix selangkah lebih maju dibandingkan Carlos.
"Carlos, kamu datang lagi?" sapa Bella yang tiba-tiba sudah ada di belakang Carlos.
"Eh, Bella! Mengagetkan saja!" sahut Carlos.
"Aku sudah sering mengingtakanmu, Carlos. Lupakan Alice, kalau bagini kamu hanya akan menyiksa dirimu sendiri," ujar Bella.
"Aku tidak bisa melakukan itu," jawab Carlos.
"Carlos, lebih baik kamu kembali dengan Caroline lagi. Dia benar-benar mencintaimu. Aku yakin kamu akan bahagia bersama prempuan itu," suruh Bella.
"Aku bilang tidak mau, ya tidak mau!" bentak Carlos.
Bella sampai tersentak mendengar ucapan Carlos.
Bella sedikit kesal, terlihat jelas dari raut wajahnya.
Carlos menyadari akan hal itu dan dia merasa tidak enak hati kepada Bella.
Dia membentak orang yang tidak bersalah secara reflek.
"Bella, maafkan aku. Aku tidak sengaja membentakmu. Aku ... hanya sedang emosi saja," tukas Carlos.
"Ah, baiklah aku mengerti. Aku dapat nemahaminya!" ujar Bella seraya berlalu pergi meninggalkan Carlos.
*****
Sementara itu, Felix mengajak Alice untuk pergi ke apartemen barunya.
Felix baru saja pindah dari kediaman sang bibi.
Dan Felix juga hendak memulai usaha barunya.
"Bagaimana menurutmu? Apartemenku nyaman tidak?" tanya Felix.
"Emm ... lumayan nyaman," jawab Alice..
"Oh iya, Alice! Besok kedai es krim ku akan mulai buka," kata Felix.
"Wah ... aku senang mendengarnya. Aku harap usahamu itu akan sukses!" ujar Alice penuh bersemangat.
"Tentu saja, Alice. Aku juga berharap begitu. Ini adalah hasil tabunganku selama bertahun-tahun, dan aku menggunakan uangku untuk membuka usaha ini," ujar Felix seraya tersenyum bangga.
"Aku yakin usahamu akan semakin berkembang pesat. Karena es krim buatanmu sangat enak! Aku pernah mencobanya waktu itu!" puji Alice seraya tersenyum takjub.
"Haha! Itu resep dari keluarga Ibuku," sahut Felix.
"Iya, dan rasanya unik. Aku yakin orang-orang akan menyukainya!"
"Ya semoga saja."
Kemudian mereka duduk di sofa, dan Felix membuatkan minuman hangat untuk Alice.
Kemudian dia menaruh minuman itu di atas meja, lalu duduk di samping Alice.
Entah mengapa suasana mendadak senyap. Alice mulai membuka percakapan.
"Felix, terima kasih, ya," tukas Alice.
"Terima kasih untuk apa? Untuk minumannya?" tanya Felix dengan polos.
"Untuk semuanya, termasuk meniman ini," jawab Alice.
Kemudian Alice meraih tangan Felix.
"Felix, apa kamu masih menyukaiku?" tanya Alice.
Mendadak Felix terlihat gugup.
"Kenapa kamu bertanya begitu?"
"Ya, aku hanya ingin memastikan. Aku ini bukan prempuan sempurna, aku yakin perasaanmu juga sudah memudar. Namun sikap baikmu membuat aku ragu akan firasatku," jawab Alice.
"Aku ... masih mencintaimu. Dan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Mungkin selamanya." Tukas Felix, namun wajahnya menunduk. Dia tidak tahu kejutan apa yang akan diberikan Alice kepadanya.
Felix berharap akan ada kalimat yang menggembirakan. Namun dia juga takut jika pada akhirnya Alice hanya akan berkata kepadanya agar menyerah saja.
"Felix, aku ingin kamu memikirkan ulang perasaanmu kepadaku. Jujur aku mulai menyukaimu. Namun aku takut tidak bisa membahagiakanmu, dan malah akan menjadi beban untuk dirimu," pungkas Alice.
Felix, segera mengangkat kepalanya.
"Alice, kenapa kamu bilang bergitu? Aku tidak pernah menganggapmu beban! Dan tadi ...." Kedua mata Felix menajam ke arah Alice.
"Kamu bilang 'mulai menyukaiku?'"
"Apa itu benar?!" Felix tampak heboh sendiri, dan dia memegang pundak Alice dengan kencang.
"Felix, bisa lepaskan pundakku? Agak ... sakit ...," tukas Alice dengan pelan.
Dan dengan segera Felix melepaskan tangannya dari pundak Alice.
"Maaf ...." Tukasnya.
Alice melanjutkan ucapannya kepada Felix. Tentang segala perasaan yang selama ini ia simpan.
"Felix, aku memang sudah mencintaimu. Dan itu benar. Tapi aku takut ini tidak baik. Karena kamu berhak mendapatkan wanita yang jauh lebih sempurna dariku," tukas Alice.
"Kalau menurutmu, kamu tidak pantas untukku, lalu mengapa kamu mengatakan kepadaku kalau kamu menyukaiku?" tanya balik Felix.
Alice menghela napas sesaat, dan dia berbicara dengan wajah menunduk. "Karena aku hanya ingin meluapkan apa yang aku rasakan. Tak peduli jika pada akhirnya kamu akan pergi meninggalkanku. Aku siap kok!" jawab Alice.
"Kalau begitu aku juga siap menerima segala kekuranganmu, Alice!" tegas Felix.
Alice mengarahkan pandangannya pada Felix.
"Maksudnya?"
"Alice! Ayo akui aku sebagai kekasihmu! Dan lupakan perasaan buruk tentang dirimu sendiri!" tegas Felix.
"Tapi—" Felix memotong kalimat Alice.
"Aku mencintaimu! Dan aku tidak pernah menganggapmu sebagai wanita yang penuh kekurangan! Justru sebaliknya! Aku menganggapmu sebagai wanita yang sempurna! Kalau kita saling mencintai, lalu untuk apa kita tidak pacaranya saja?" ujar Felix.
Alice hanya bisa terdiam menanggapi ucapan Felix.
"Alice, aku berjanji akan membahagiakanmu. Dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu, apalagi sampai berselingkuh seperti Carlos. Aku berjanji!" tegas Felix meyakinkan Alice.
"Felix ... tapi sekarang aku telah menjadi wanita aneh. Aku tidak bisa membedakan mimpi, halusinasi, dan dunia nyata. Bagaimana kalau aku gila? Apa kamu masih mau hidup dengan wanita gila sepertiku?" tanya Alice dengan wajah memelas.
"Kamu tidak gila! Kamu hanya depresi! Dan aku akan mendampingimu sampai sembuh!" jawab Felix.
Alice tersenyum mendengar ucapan pria itu, namun netranya berembun.
Felix benar-benar pria yang baik bagi Alice.
Felix memang bukan pria kaya seperti Carlos, namun Felix adalah pria sederhana yang mencintai dirinya secara istimewa.
Alice pun semakin yakin untuk menerima Felix sebagai kekasihnya.
Dia juga yakin jika Felix adalah orang baik, yang tidak akan mengecewakan dirinya.
'Benar kata Bella, jika aku ini juga berhak untuk bahagia. Di mana lagi aku bisa menemukan pria sebaik Felix,' bicara Alice di dalam hati.
"Felix, aku mau menjadi kekasihmu. Dan aku juga mau menjadi wanita yang akan mendampingimu. Aku siap jika kamu ingin menikahiku kapanpun kamu mau. Aku siap berbakti dengan menjadi istrimu." Tukas Alice.
"Kamu bersungguh-sungguh, Alice?!" tanya Felix memastikan.
Alice menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Apa kamu menerimaku karena kasihan?" tanya Felix. Dia masih belum puas dengan anggukan kepala Alice.
Namun Alice meyakinkan Felix dengan jawabnya kali ini.
"Felix, aku menerimamu bukan karena kasihan. Aku sudah bilang, 'kan, jika aku mulai menyukaimu. Lagi pula ... tak ada alasan bagiku untuk menolakmu lagi. Kamu sahabatku yang terbaik. Dan menurutku sahabat terbaik sangat cocok sebagai pasangan. Itu artinya kamu tetap akan bersamaku walau apa pun yang terjadi nanti. Dan aku yakin kamu akan selalu setia menjadi pasanganku, seperti kamu yang selalu setia menjadi sahabatku selama ini!" tegas Alice.
Tentu saja hati Felix berbunga-bunga mendengar pernyataan Alice.
Akhirnya apa yang telah ia impikan terwujud.
Perasaan yang selama ini hanya bertepuk di sebalah tangan akhirnya terbalas juga.
Felix menggenggam tangan Alice dengan erat, dan menatap kedua bola mata Alice dalam-dalam.
Dia mulai mendekatkan wajahnya dengan wajah perempuan itu.
Felix memejamkan mata, dan mereka mulai berciuman.
To be continued