Bella tidak tahu harus bagaimana untuk membuat Alice kembali ceria. Lalu munculah ide untuk menghubungi Felix.
Selama ini hanya Felix orang yang dipercaya oleh Alice selain dirinya.
***
"Halo, Felix! Bisa kamu datang kemari?" tanya Bella lewat panggilan telepon.
[Iya, kebetulan aku juga ingin ke sana!] jawab Felix.
"Baguslah! Datanglah secepatnya, Felix!" suruh Bella.
[Baiklah!]
Panggilan telepon pun telah berakhir.
Kemudian Diana datang menghampirinya.
"Ibu, aku mau jujur," ujar Diana seraya memegang tangan ibunya.
"Jujur? Bukannya kamu selalu berkata jujur kepada Ibu?" tanya Bella seraya mengernyitkan dahinya.
"Iya, Bu. Dan kali ini aku berbohong. Aku minta maaf ya, Bu," tukas Diana seraya menundukkan kepalanya.
"Minta maaf untuk apa, Nak?" tanya Bella.
Kemudian gadis kecil itu mengangkat kepalanya lagi.
"Bu, semalam aku diam-diam keluar dari rumah," ujar Diana.
"Keluar dari rumah?" Bella mengernyitkan dahi karena bingung.
Seingatnya ... semalam Diana tertidur pulas bersama dengan Daniel.
Bella juga berkali-kali menengok Diana di kamarnya. Meski dia kembali tidur sekamar dengan Alice lagi.
"Bu, temanku semalam mengajakku keluar. Dia bilang di luar banyak kunang-kunang. Dia ingin aku bermain dengannya. Aku keluar kamar secara diam-diam, setelah puas bermain dengannya aku masuk lagi." Tutur Diana dengan detail.
Bella benar-benar tak habis pikir mengapa putrinya bisa berbicara seperti ini.
Perlahan Bella meraba wajah putrinya.
"Sayang, kamu semalam bermimpi, ya?" tanya Bella dengan suara pelan.
Diana menggelengkan kepalanya dengan tatapan polos.
"Tidak. Aku tidak bermimpi," jawabnya
"Bu, sejak semalam aku merasa bersalah kepada Ibu. Kerena aku tidak meminta izin terlebih dahulu. Apa Ibu marah kepadaku?" tanya Diana.
Bella semakin tidak paham dengan ucapan sang putri. Entah mengapa akhir-akhir ini Diana bersikap sangat aneh. Tidak seperti biasanya.
"Diana, kamu itu bicara apa sih, Nak?"
"Bu, temanku bilang dia ingin tinggal di sini," ujar Diana.
"Temanmu yang mana? Kamu sejak kemarin hanya di rumah saja, bagaimana bisa kamu bertemu dengan temanmu itu? Apa lagi sampai ia bicara ingin tinggal di sini? Kamu, 'kan jarang berkomunikasi menggunakan ponsel?" tukas Bella yang masih dengan ekspresi herannya.
"Bu, Clara langsung datang kemari, jadi kami tidak butuh telepon!" jawab Diana.
Jawaban yang membuat Bella benar-benar syok.
'Clara lagi?' batin Bella, 'oh ya, Tuhan! Apa yang sebenarnya terjadi? Ini aku yang gila, atau bagaimana?' pikiran Bella semakin meracau.
"Diana, kamu itu sedang bermimpi, Nak. Dan Ibu harap kamu jangan memberitahu ini kepada Bibi Alice, ya," pinta Bella.
"Memangnya kenapa sih, Bu?" Gadis itu terlihat bingung.
Dan dari sudut berlawanan muncul Alice yang keluar dari kamar.
Wajahnya masih kusut dengan rambutnya yang masih acak-acakan.
"Bu, Clara itu baik. Dia datang ke mari karena sedang ada urusan. Kenapa Ibu melarangku? Bahkan Ibu juga tidak memperbolehkanku untuk menyebut namanya di depan Bibi Alice, memangnya kenapa?" protes Diana.
Alice mendengar perdebatan itu, dan dia segera menghampiri keduanya.
"Ada apa?" tanya Alice.
"Eh ... tidak ada apa-apa kok!" sahut Bella seraya tersenyum santai, seolah tak terjadi apa pun.
"Bibi Alice, Ibu melarangku untuk menyebut nama temanku!" tukas Diana dengan bibir cemberut.
"Loh, memangnya ada apa dengan nama temanmu itu?" tanya Alice pada Diana.
"Entalah ... Ibu bilang Bibi tidak suka jika aku menyebut nama Cla—" Dengan segera Bella membungkam mulut putrinya menggunakan telapak tangan.
Namun tindakan itu sia-sia, karena Alice sudah tahu maksud dari ucapan Diana.
"Apa namanya'Clara?'" tanya Alice.
Perlahan Bella menyerah, dan dia membuka mulut sang putri.
"Alice, ini hanya kebetulan. Dan Diana memang mempunyai teman yang bernama 'Clara' dan itu bukan nama gadis kecil yang kamu maksud. Nama mereka hanya sama saja." Tutur Bella meyakinkan Alice.
"Baiklah, aku paham Bella. Kamu sampai memarahi Diana hanya demi aku. Dan percayalah bahwa aku ini baik-baik saja. Aku akan berusaha mengabaikan semua tentang mimpi dan halusinasiku. Termasuk Kejadian-kejadian yang hanya kebetulan, dan yang tiba-tiba aku sangkut-pautkan dengan pikiranku." Pungkas Alice.
Bella tersenyum mendengarnya. Namun dalam hatinya benar-benar tak tenang.
Alice berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa apa yang ia rasakan, dan ia saksikan hanyalah halusinasi.
Namun Bella malah semakin ragu. Dia yang mulai dirundung dilema.
Dia tidak bisa membedakan tentang kenyataan, atau hanya kebetulan saja.
Apa yang diucapkan oleh Diana terdengar seperti sungguhan.
Selama ini Diana selalu mengatakan apa yang ia lihat. Gadis itu tak pernah sekalipun berbohong.
Sejak kemarin gadis itu selalu menyebut nama yang sama. Bahkan sempat melukis wajahnya.
"Bella, kau baik-baik saja?" tanya Alice membuyarkan lamunanya.
"Eh! Iya baik!" jawab Bella sedikit tersentak.
"Yasudah aku mau mandi dulu," kata Alice.
"Iya, silakan! Sebentar lagi Felix datang!" ujar Bella.
"Felix? Kok kamu bisa tahu kalau dia akan datang?" tanya Alice.
"Tentu saja aku tahu. Aku yang menyuruhnya!" jawab Bella.
"Menyuruh?"
"Iya! Aku pikir kamu itu butuh hiburan! Jadi aku menyuruh Felix untuk mengajakmu jalan-jalan!" jawab Bella.
Alice menghela napas sesaat, seraya berdecak heran. Terlihat sekali jika Bella sangat mengkhawatirkan kondisinya, sampai-sampai harus menghubungi Felix untuk mengajaknya jalan-jalan.
"Yasudah! Aku ke kamar mandi!" kata Alice.
Bella menganggukkan kepalanya.
"Baiklah!" jawab Bella.
*****
Beberapa saat kemudian, terdengar seseorang yang mengetuk pintu.
Dan ternyata yang datang malah Carlos, Alice yang membukanya dengan raut wajah antusias, berubah menjadi tak bersemangat.
"Mau apa datang kemari?" sengut Alice.
"Tentu saja aku ingin menemuimu, Alice," jawab Carlos seraya tersenyum. "Eh, Ngomong-ngomong, kamu terlihat cantik sekali hari ini," puji Carlos.
Alice mendengus kesal mendengarnya. Alih-alih merasa bahagia atas pujian itu, justru hal ini malah membuat Alice merasa muak.
"Carlos, hari ini aku sedang ada janji dengan Felix, jadi sebaiknya kanu pulang saja!" sengut Alice.
"Ah ... dia lagi!" Carlos tampak kecewa dan kesal.
"Apa sih, bagusnya pria itu? Dia punya apa?" sindir Carlos.
"Alice. Pikirkan masa depanmu! Carilah pria yang setidaknya jauh lebih baik dariku. Dia hanya Pelayanan Kafe, 'kan? Lalu bagaimana cara dia membahagiakanmu? Apa dia mampu membelikanmu barang yang mahal?"
Carlos menggelengkan kepada seraya berdecak heran. Wajahnya seakan mencerca pilihan Alice.
"Alice, aku jauh lebih baik dari pria itu. Dan aku bisa membelikanmu rumah, mobil, dan barang-barang mewah!" ucap Carlos. "Ayo pikirkan matang-matang untuk memilih pasangan hidupmu!" tegas Carlos.
Alice sengaja memberi waktu bagi Carlos, untuk mencerca Felix sesuka hati. Hingga Carlos puas, lalu giliran dia yang akan berbalik mencaci mantan suaminya itu.
"Dengar, Carlos! Felix memang bukan orang kaya, tapi dia punya hati yang tulus! Tidak sepertimu yang seorang Hidung Belang dan suka selingkuh!" tegas Alice.
Carlos menajamkan mata, mendengar ucapan Alice. Kemudian perempuan itu melanjutkan kalimatnya.
"Felix memang hanya seorang Pelayanan Kafe, dan aku pun juga, 'kan? Bukankan itu jauh lebih cocok? Pelayan dengan Pelayan! Kami satu level, jadi kami bisa saling memahami!" Alice tersenyum tipis memandang Carlos, "dan satu lagi, aku juga tidak butuh kemewahan! Aku hanya butuh keserdehanaan namun saling memahami!"
To be continued.