"Alice, aku menyukaimu sejak kita duduk di bangku kuliah," jelas Felix.
Alice mengerutkan kening mendengarnya, seakan tak percaya dengan ucapan Felix.
"Alice, aku bertanya sekali lagi, apa kau mau menjadi pacarku?" Felix mengenggam tangan Alice.
Alice mendadak salah tingkah mendengarnya.
"Felix, aku mohon berhenti bermain-main!" ucapnya.
"Alice, aku tidak sedang bermain-main, aku sungguh-sungguh menyayangimu!" tukas Felix meyakinkan Alice.
Alice tersediam sesaat dengan perasaan yang bingung.
Dia tak tahu harus berkata apa? Ini terlalu dini baginya. Walau sebenarnya Felix sudah menyukainya sejak awal, tetapi mengapa baru mengatakannya saat ini?
Di saat ia benar-benar ingin sendiri, dan di saat Alice benar-benar belum siap untuk membuka hati pada pria lain.
Alice masih menunduk merenung, dia tidak ingin menerima Felix, tetapi dia juga tidak mau membuat Felix sakit hati atas penolakannya.
Felix menyadari hal itu, hanya saja dia sudah telanjur mengatakannya sekarang.
Dan saat ini adalah waktu yang tidak tepat.
"Alice, kalau kau tidak mau menerimaku ... tidak apa-apa kok, aku tidak akan memaksa. Lagi pula cinta itu memang tidak bisa dipaksakan," ujar Felix.
"Felix, bu-bukanya, aku tidak mau menerimamu, tapi ... hanya saja aku belum siap untuk menjalin hubungan lagi," tukas Alice.
Felix pun menunduk lemas, sebelumnya dia sudah mempersiapkan diri untuk menerima kenyataan ini. Karena Alice pasti akan menolaknya.
Sudah tahu akan ditolak tetapi Felix tetap ingin mengungkapkan perasaannya kepada Alice. Karena dia sudah tak tahan lagi memendam perasaan ini hingga bertahun-tahun.
Alice menyadari kesedihan Felix. Wanita itu mengusap pundak Felix.
"Felix, kau ... marah ya?" tanya Alice dengan suara rendah dan sedikit bergetar.
"Tidak!" jawab Felix dengan tegas, pria itu kembali mengangkat wajahnya, dan dia bertingkah seperti tak terjadi apapun.
Dia berusaha untuk membuat keadaan seperti semula. Felix tidak ingin membuat suasana yang tak nyaman karena pernyataan cintanya ini.
"Alice, tidak apa-apa jika kau tidak menerimaku, tapi tolong jangan menjauh dariku, ya! Anggap saja aku tak pernah mengatakan apapun kepadamu," tukas Felix.
"Felix, sekali lagi aku minta maaf, karena tak bisa menerima perasaanmu. Tapi aku masih menyayangimu sebagai sahabat," pungkas Alice. Lalu dia meneluk Felix dengan erat.
"Meski begitu, tolong jangan tinggalkan aku, ya! Aku tidak punya lagi sahabat sepertimu di dunia ini," ucap Alice.
Felix mengganggukkan kepalanya.
'Kalau kau menerima cintaku, dan mau menjadi istriku. Selamanya aku tidak akan meninggalkanmu Alice. Bahkan aku akan menjadi teman hidup yang baik,' bicara Felix di dalam hati.
Meski telah mendapat penolakan dari Alice, tetapi Felix tak menyerah. Dia yakin jika suatu hari nanti Alice akan membuka hati dan menerima perasaannya kembali.
Sekarang, Alice hanya membutuhkan hidup sendiri tanpa sebuah ikatan. Dia sedang menata hati sampai benar-benar siap untuk menerima pasangan baru.
"Yasudah, ayo kita makan lagi?" ujar Felix.
"Iya!" Alice segra melepas pelukkanya dari tubuh Felix.
***
Dari jendala rumahnya, Sea mengintip kebersamaan Alice dan Felix.
Dia tampak tak suka melihat kedekatan Alice dan Felix.
"Semakin lama aku tak menyukai pria itu! Dia berani sekali dekat-dekat dengan Alice! Alice itu meiliku! Dan akan menjadi anggota keluarga baruku," gumam Sea degan wajah yang kesal dan bibir cemberut.
Setelah itu dia kembali menutup gorden jendelanya.
Ceklek!
Tiba-tiba ada yang mematikan saklar lampu. Sekelebat bayangan anak kecil yang sedang berlari.
"Celara!" teriak Sea.
Lalu dia berjalan cepat mencari sekelibat bayangan itu.
"Clara! Tolong jangan main-main, Sayang! Ibu tidak menyukai keisenganmu ini?" Sea kembali menekan saklar lampu.
Dan tak lama ruangan itu kembali terang
Sea duduk di atas sofa sambil memandang figura.
"Edward? Bagaiamana kabarmu?" tukas Sea yang berbicara dengan foto mendiang suaminya.
Sea mengusap foto itu, dan tak sadar kedua air matanya mengalir deras.
Sejujurnya dia sangat merindukan sang suami. Akan tetapi ada kebencian di dalam hatinya.
Setelah puas menangisi foto suaminya, Sea membanting figura.
Entah berapa kali dia membanting benda itu, hingga pecah berhamburan, dan setelahnya dia akan mengganti dengan bingkai foto yang baru. Kejadian itu selalu ia ulang-ulang berkali-kali.
Sea selalau merindukan sang suami. Tetapi setelah rasa rindu muncul, maka rasa bencinya juga akan muncul.
Masih terngiang-ngiang perlakuan suaminya dulu kepada dirinya.
Pristiwa kelam yang teramat menyedikan kembali menyerang palung hati Sea.
Saat ia mendapati Edward, suaminya tengah bermesraan dengan gadis lain di dalam rumah mereka.
Saat itu Sea, baru saja pulang dari rumah orang tuanya.
Sea sedang menginap untuk beberapa hari di sana. Dia sengaja pulang ke rumah tanpa mengabari Edward terlebih dahulu. Dia melakukan ini karena dia ingin memberikan kejutan untuk suaminya. Kedua tangan gadis itu pun menenteng beberapa paper bag, yang berisi oleh-oleh dari kampung orang tuanya.
Terlebih Edward juga mengaku kepadanya jika saat itu, ia sedang sakit.
Tetapi sesampainya di rumah, Sea mendapati sang suami sedang bermesraan di atas ranjang dengan gadis lain.
Sea tak tahu siapa gadis itu?
Kalau dilihat-lihat gadis itu adalah salah satu karyawan kantor Edward. Namun dia tak tahu namanya, dia hanya pernah melihatnya sekilas dan dia sendiri juga masih tak yakin.
"Edward! Apa yang kau lakukaan!?" teriak Sea.
Sea yang murka lengsung melakukan tindakan kekerasan terhadap Edward dan si wanita.
Sea menampar wajah Edward dengan keras.
Plak!
"Hei, kau beraninya menampar, Edward!" teriak si gadis yang tengah bersama Edward.
Dan Sea tersenyum sinis memandang gadis itu.
"Kalian ini bukan manusia! Kalian sudah tega mempermainkanku! Terutama kau, Edward!" teriak Sea, seraya menunjuk benci kearah Edward.
Gadis itu tampak tak terima kekasihnya di tampar oleh Sea, hingga pada akhirnya dia berusaha untuk menampar Sea dengan maksud untuk membalas dendam. Tapi Sea malah mendorong tubuh wanita itu hingga tersungkur dan kepalanya memebentur ujung lemari yang kebetulan di atasnya terdapat sebuah guci.
Akhirnya lemari yang terguncang membuat guci yang ada di atasnya itu terjatuh dan menimpai kepala si gadis.
Seketika gadis ini langsung mati di tempat. Hal ini membuat Edward syok, dan tak dapat berkata-kata lagi.
Tetapi anehnya Sea tak merasa takut sama sekali, dan Sea bukanlah wanita lemah seperti kelihatanya.
Sea menarik tangan Edward dengan paksa.
"Edward! Ayo katakan kepadaku? Apa kurangnya aku sehingga kau rela menduakanku?!" teriak Sea dengan nada mengancam.
"Sea, tolong maafkan aku, dan ayo kita bicarakan ini semua baik-baik," tukas Edward yang berusaha menenangkan Sea.
Tetapi Sea tak peduli, dia meraih sebuah pisau karter dalam lacinya, lalu menghunjamkan pisau itu ke tubuh Edwar.
To be continued