Sea meraih sebuah alat suntik dari sakunya, dan dia mengisi dengan cairan pembersih lantai.
Dengan senyuman yang mengandung banyak arti, Sea berjalan mendekati Archer.
"Tuan Archer, apa kau sudah siap?" tanya Sea.
Archer tampak sangat ketakutan.
"Hei, apa yang akan kau lakukan kepadaku?!" teriak Archer.
"Menurutmu, aku akan melakukan apa?" Sea bertanya balik seraya menyeringai.
"Tolong, Sea, aku mohon jangan lakukan itu ...." Archer menggelengkan kepalanya dengan tubuh gemetar.
Sea semakin mendekat, membuat Archer semakin ketakutan.
"Tolong, jangan sakiti aku!" teriak Archer sekali lagi, tapi tiba-tiba saja lampu di ruangan itu mendadak mati.
"Ah sial!" umpat Sea.
Dia seperti melihat anak kecil yang berlari di bawah saklar lampu.
"Clara! Apa itu kau, Sayang?" teriak Sea.
Dia berjalan mendekat, dan menekan kembali saklar lampunya.
Tak lama lampu menyala, dan ruangan kembali terang.
Tepat di saat itu Sea teringat dengan sesuatu yang hilang.
"Dimana jarum suntiknya?" Sea mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, untuk mencari keberadaan jarum suntik itu.
"Ah, sial! Kemana aku harus mencarinya?!" Sea mulai murka. Wajahnya tampak kesal tapi ekspresi itu tak berlangsung lama dan kini Sea kembali tersenyum lagi.
"Ah, baiklah ... Tuan Archer, mungkin hari ini kau belum ditakdirnya untuk mati," tukas Sea sambil tersenyum.
Dan wanita itu berbalik arah menuju lantai atas.
Archer tampak lega, akhirnya Sea tak jadi membunuhnya.
Dia menengok kearah Sofa yang terdapat sekumpulan mayat kering berjajar rapi mirip sebuah keluarga, Archer melihat ada jarum suntik tergeletak di samping mayat anak kecil.
"I-itu, benar-benar jarum suntiknya, 'kan?" Archer tampak bingung. Dia sampai mengerjapkan kelopak matanya berulang kali, dia hanya ingin memastikan apakah yang ia lihat itu benar atau salah?
Dan sekarang Archer sangat yakin jika yang ia lihat itu memang benar-benar jarum suntik, yang sedang dicari-cari oleh Sea.
"Hah, bagaimana bisa jarum itu ada di sana? Padahal sejak tadi dipegang oleh, Sea?" Archer tampak sangat bingung.
Meski suasana ruangan tadi sengat gelap, harusnya Archer melihat gerakan Sea saat mendekati sofa, tetapi yang Archer lihat Sea malah berjalan berlawanan arah, dia menuju saklar lampu lalu Menghidupkannya.
Dan siapa yang menaruh jarum suntik di atas sofa itu masih menjadi pertanyaan bagi Archer.
***
Sea berada di ruang tamu, dan dia tengah berdiri di depan kaca jendela. Wanita itu melihat di luar ada Alice yang sedang mengobrol bersama dengan Felix, berkali-kali Alice melirik kearah rumahnya. Sea sangat yakin jika Alice dan Felix sedang membicarakan dirinya.
"Huh dasar, Para Tukang Gosip!" cerca Sea dengan wajah sinis, segera Sea menutup gorden jendelanya dengan kasar. Dan wanita itu memutuskan untuk kembali duduk di sofa sambil menonton TV.
Saat keadaan begitu tenang Sea kembali melihat sekelibat bayangan anak kecil yang sedang berlari di belakangnya.
"Ah, Clara! Biasa tidak kembali ke basemen dan jangan mengganggu, Ibu!" oceh Sea.
"Aku tidak tahu apa alasanmu, beberapa hari ini sering muncul dan menggangu, Ibu? Bukankah di ruangan sana kau sudah punya banyak teman, hah?!"
Sea mengusap keningnya dengan kasar, wajahnya tampak frustasi.
"Baiklah! Besok Ibu, akan membelikanmu boneka baru, sebagai kado ulang tahunmu, Clara!" ujar Sea.
Dan dia mematikan TV-nya, "hari ini Ibu sedang lelah, jadi tolong jangan menggangu Ibu dulu, ya! " pinta Sea.
***
"Felix, apa hari Helloween nanti restoran kita akan mengadakan pesta?" tanya Alice.
"Tentu saja, itu adalah acara tahunan yang sering kami lakukan," ujar Felix.
"Wah, pasti seru sekali ya? Apa itu artinya kita libur kerja?" tanya Alice sekali lagi.
"Haha! Tentu saja tidak! Kita tetap berangkat kerja! Hanya saja, kita berpakaian dengan kostum semau kita!" jelas Felix.
"Ya, Tuhan! Kukira acara diadakan memang untuk kita! Tapi ternyata kita hanya berpakaian hantu saja dan tetap bekerja!" keluh Alice dengan bibir mengerucut.
Felix tampak gemas melihatnya. Dia mencubit wajah Alice.
"Awh! Sakit ... Felix!" teriak Alice seraya memegang wajahnya.
"Haha! Habisnya kau ini sangat menggemaskan!" ledek Felix.
"Ah kau ini!" Alice pun bergegas memasuki rumah, dan Felix juga mengikutinya di belakang.
"Felix, kau ingin minum apa? Biar aku yang membuatkan!" tanya Alice.
"Terserah kau saja, Alice!" sahut Felix.
"Baiklah kalau begitu,"
Alice bergegas ke dapur dan Felix, menunggunya sambil duduk di atas sofa.
Pria itu merogoh kantung sweater miliknya.
Felix tersenyum seraya menatap kotak kecil yang baru ia keluarkan dari dalam saku.
Dia memandanginya dengan seksama, "Semoga kau menyukainya, Alice," gumam Felix sambil tersenyum penuh harap.
Tak lama Alice keluar sambil membawa nampan berisi dua cangkir minuman hangat.
"Ini, minumnya! Maaf ya, aku tidak punya camilan untuk teman minum kopi," ujar Alice.
"Ah iya, tidak apa-apa, kok,"
Felix segera memasukkan kotak itu ke dalam sakunya lagi.
"Apa itu?" tanya Alice, dan Felix langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Eh, bukan apa-apa kok!" sahut Felix berusaha untuk menutupinya. Sebenarnya kotak kecil itu berisi cincin yang akan ia berikan kepada Alice.
"Felix, bagaimana kabar tentang temanmu yang anggota kepolisian itu?" tanya Alice menganti topik pembicaraan.
"Ah, aku tidak tahu, Alice. Setelah kejadian itu aku kehilangan kontak. Ponselku hilang!" jawab Felix.
"Ah, iya juga ya! Aku lupa kalau kau baru saja kehilangan ponsel," ujar Alice, "padahal aku sangat menunggu kabar dari temanmu itu," timpalnya penuh harap.
"Nanti, aku akan mencoba meminta nomornya lewat direct message," sahut Felix.
"Ah, baiklah. Semoga saja Livy dan Kakak Iparku Archer bisa segera di temukan,"
"Iya, semoga saja, Alice," Felix mengelus atas rambut Alice sesaat.
Sambil menyeruput kopi Felix tampak ragu-ragu untuk memeberikan kotak itu kepada Alice.
Felix sangat takut jika Alice akan menolak pemberiannya, terlebih jika sampai Alice tahu bahwa Felix menyukainya.
Felix masih ingat dengan ucapan Alice yang berkata bahwa dia sedang ingin sendiri untuk saat ini. Tentu saja harapannya untuk menjalin hubungan dengan Alice sangat tipis.
"Felix, aku lihat kau sejak tadi tidak tenang, bahkan berkali-kali kau melirik kearah saku. Memangnya ada apa di dalam sakumu?" tanya Alice.
"Eh, tidak ada apa-apa kok!" sangkal Felix.
"Tapi aku sangat penasaran dengan apa yang ada di sakumu itu!" desak Alice.
"Eh kau tidak usah penasaran, Alice! Ini bukan apa-apa kok!" ujar Felix yang mulai panik.
"Ah, benarkah?!" Alice tersenyum culas, dan dia mendekati Felix, dia hendak melihat sesuatu yang ada di saku pria itu.
"Aku penasaran!" Alice menyeringai menang saat tangannya berhasil menemukan kotak kecil dalam saku Felix, "apa ini?"
"Ja-jangan, Alice!"
"Ini cincin?"
"Bu-bu-bukan!?"
To be continued