Karena luka di bagian lengan tangan Carlos cukup parah, akhirnya, Caroline menelepon pamanya yang seorang dokter.
Luka di tangan Carlos telah diobati, dan tak berselang lama Alice juga terbangun dari pingsannya.
Caroline, segera menghampiri sahabatnya itu.
"Alice, apa kau baik-baik saja?" tanya Caroline.
Alice memalingkan wajahnya, dia seolah sudah muak menatap wajah Carol.
"Kau masih marah kepadaku ya?" tanya Caroline.
Alice tersenyum tipis dengan wajah yang sinis.
"Jadi menurutmu bagaimana?" tanyanya.
Caroline menunduk, tidak sepantasnya dia bertanya seperti itu kepada Alice.
Karena sudah pasti Alice tak akan memaafkan dirinya.
Bahkan jika dia berada di posisi Alice, pasti dia pun juga akan melakukan hal yang sama.
"Carol, apa kau sangat mencintai suamiku?" tanya Alice.
Caroline tak bergeming, dia takut akan salah menjawab, dan kembali memancing amarah Alice.
"Ayo jawab, Carol!" sergahnya. Tapi Carol tetap tak mau menjawabnya. Dia kembali menangis.
"Huuft ... aku masih tak menyangka jika satu-satunya orang yang aku percaya adalah penghianat! Jadi berhubung aku sudah tahu kebusukanmu dengan suamiku, sebaiknya kau akui apa saja yang kau sembunyikan dariku selama ini!" desak Alice.
Alice memegang bagian dagu Caroline.
"Carol, sejak kapan kau menyukai suamiku?" tanya Alice. Sesaat Alice melirik ke arah Carlos yang masih terbaring di atas sofa.
"Ayo jawab! Apa kau ingin aku kembali murka dan melakukan hal-hal di luar akal?!" ancam Alice.
Akhirnya Caroline mengatakan semua.
Memang sudah saatnya dia membongkar rahasianya dengan Carlos, yang selama ini dia simpan dari Alice.
"Aku ... menyukai Carlos sejak awal kami bertemu, kau ingat di malam Natal tahun lalu?" ucap Caroline.
"Yah, aku ingat!" jawab Alice.
"Saat itu, Carlos sedang mencarikan hadiah Natal untukmu, aku bertemu dengannya di toko pernak-pernik, aku melihat Carlos sangat sibuk memilih barang. Saat itu aku menyadari jika dia adalah suamimu, aku menyadarinya karna kau sering berfoto dan menyebarnya di media sosial pribadimu," tutur Caroline yang nampaknya belum selesai.
"Lantas?" tanya Alice, dia sudah tidak sabar lagi mendengar kelanjutannya.
"Lantas aku memberanikan diri mendekatinya, kami berkenalan, dan aku bercerita jika aku adalah sahabat karibmu, bahkan aku juga membantunya memilihkan hadiah untukmu. Setelah itu kami mengobrol sambil menikmati secangkir kopi di sebuah kafetaria yang letaknya tak jauh dari toko itu,"
Caroline menghela nafasnya sesaat, lalu dia melanjutkan ceritanya.
"Setelah itu, kami saling bertukar nomor ponsel, dan hubungan kami perlahan kian dekat. Ternyata Carlos adalah teman bicara yang baik, dia juga sering bercerita tentangmu. Bahkan saat aku bertemu dan kau mengenalkan Carlos kepadaku, sejujurnya aku sudah mengenal dia sebelumnya. Dan kau tahu ...."
"Apa?" Alice kembali mengangkat wajahnya.
"Setelah kau menawarkan diriku sebagai model, dalam karya seninya. Di saat itu pula aku tak tahan lagi, dan mengatakan secara terang-tegangan kepada Carlos, atas ketertarikanku. Dan hal yang tak terduga, ternyata dia malah membalas perasanku," pungkas Caroline.
Perasaan Alice kembali memanas, "Astaga," dia mengusap keningnya sendiri.
"Dan kau tahu, Alice, jika sebenarnya, Carlos itu tidak mencintaimu, dia tidak puas dengan pelayananmu. Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu yang hanya seorang Pelayan Restoran itu, hingga kau mengabaikannya. Akhirnya Carlos melampiaskan segalanya kepadaku, dia bilang aku lebih menarik, aku lebih seksi. dan itu hal yang wajar sih, karna aku memang seorang model dan kau ...." Caroline melirik tubuh Alice.
"Kau tak pernah merawat dirimu! Kau itu—"
Plak!
Alice mendaratkan sebuah tamparan di bagian wajah Caroline.
"Kau dan si Bajingan itu memang cocok! Kau boleh mengambilnya!" cantas Alice lalu dia pergi meninggalkan rumah itu.
***
Tak terasa 1 minggu telah berlalu, Alice dan Carlos tak pernah saling bicara.
Sebenarnya Carlos ingin mengajaknya bicara, hanya saja Alice selalu mengabaikan.
Sepulang dari restoran tempatnya bekerja, Alice terkadang mampir ke rumah kakaknya yang bernama Bella.
Bahkan beberapa kali Alice tak pulang karna menginap di sana.
Alice ingin sekali meninggalkan rumah dan tinggal bersama Bella, namun sayangnya Bella sudah bersuami dan sudah memiliki 2 anak yaitu Daniel dan Diana.
Alice tak mau merepotkan Bella, dia paham betul bagaimana sulitnya kehidupan Bella, terlebih suami Bella yang bernama Archer, nampaknya ada ketertarikan kepada Alice.
Pernah beberapa kali Archer mencoba mendekatinya.
Hanya saja, Alice, mencoba untuk tak menanggapi perasaan Archer, dia paham betul bagaimana sakitnya diselingkuhi dan dia tak mau Bella mengalami pengalaman yang sama dengannya.
Oleh karna hal itu Alice berencana akan meninggalkan kota Oxford. Mungkin dengan begitu dia bisa hidup tenang.
Alice sudah menghubungi sahabatnya yang bernama, Felix.
Saat ini pria itu tinggal di London, hubungan Alice juga cukup baik dengan pria itu, sama dengan hubungan bersama Carol dulu.
"Hallo, Felix, aku akan berangkat ke London minggu depan. Apa kau sudah menanyakan soal apartemen di sana?" tanya Alice lewat panggilan telepon.
[Ya, aku sudah mendapatkan tempat tinggal untukmu, bukan apartemen, melainkan rumah pribadi yang sengaja di sewakan,] jelas Felix.
"Hah! Bukannya itu mahal?! Mana mungkin uangku akan cukup, bahkan aku harus mencari pekerjaan baru di sana?"
[Tenang, Alice, biaya sewa rumah itu sangat murah, bahkan pemiliknya bilang kau boleh menempatinya dahulu jika kau belum punya cukup uang,"]
"Benarakah? Apa kau yakin?"
[Tentu saja, aku sudah datang langsung dan bertemu dengan pemiliknya!] tegas Felix.
Meski terasa nyaris tak masuk akal dengan penjelasan Felix tentang pemilik rumah, tapi Alice sangat bahagia.
Senyuman merekah terukir di wajah Alice.
Dia segera bergegas memanggil Bella untuk berpamitan.
"Bella!" teriaknya.
"Ya!" Bella keluar dari dalam dapur masih dengan celemek di bagian tubunya dan mambawa pisau daging.
"Aku akan pergi ke London minggu depan!" ucapnya.
"Benarkah? Tapi—" Bella tampak keberatan mendengarnya.
"Terima kasih, Bella, selama beberapa hari ini kau sudah menampungku, dan mendengar semua keluh kesahku, kau adalah kakak terbaik satu-satunya di dunia ini!" ucap Alice penuh antusias.
"Tapi, apa kau yakin akan baik-baik saja di sana? Kau tidak kenal siapa pun di sana?!"
"Tidak, Bella. Aku punya sahabat di sana, dia sangat baik, dan aku yakin dia tidak busuk seperti, Carol!" tukas Alice meyakinkan sang Kakak.
"Ah, baiklah kalau itu maumu, tapi hati-hati di sana?" pesan Bella dan mata wanita itu tampak berkaca.
"Iya, aku akan menjaga diriku," ucap Alice seraya memeluk sang Kakak.
Alice keluar rumah dengan wajah yang tampak ceria, sedangkan Archer suami dari Bella terus memandanginya.
Pria itu tampak tak rela melihat Alice akan meninggalkan kota ini.
To be continued