Chereads / Tetanggaku Yang Seram / Chapter 3 - Meninggalkan Kota Oxford

Chapter 3 - Meninggalkan Kota Oxford

Ceklek!

Alice membuka pintu rumahnya, dia baru saja selesai mengemasi barang-barangnya.

Dua minggu setelah kejadian itu, membuatnya tak tahan lagi berada di rumah ini.

Rumah yang awalnya Carlos belikan untuknya sebagai kado ulang tahun pernikahan di tahun ke Delapan. Kini akan segera ia tinggalkan.

Alice telah bercerai dengan Carlos, 8 hari setelah kejadian itu.

Seperti yang kita ketahui perceraian di negara Inggris tidak memakan waktu yang cukup lama seperti di negara lain pada umumnya.

Hanya saja harus memiliki kriteria yang cukup, seperti bukti-bukti perselingkuhan, tekanan, kekerasan atau yang lainya.

Dan Alice sudah memiliki bukti-bukti perselingkuhan Carlos, bahkan dia juga tak menuntut harta gono-gini atau apa pun dari Carlos, mereka pun belum memiliki keturunan  sehingga tidak ada perebutan hak asuh anak yang memperlambat proses perceraian.

Proses perceraian, Alice dan Carlos, hanya memakan waktu sehari saja di meja persidangan, bahkan tak lebih dari satu jam.

Sejujurnya dari palung hati yang terdalam, ada sedikit rasa berat ketika memikirkan nasib rumah tangganya, Alice harus mengubur dalam-dalam kenangan indah bersama Carlos.

Sebenarnya Alice sudah ingin pergi dari rumah ini sejak hari kelam itu. Tapi dia tak tahu kemana tujuan kakinya akan melangkah, sehingga dia bertahan selama dua minggu ini.

Dan sekarang tiba saatnya bagi Alice untuk terbang bebas seperti burung liar.

Sesaat dia menghentikan langkah kakinya dengan nafas sedikit tersengal karna menarik koper yang begitu berat.

"Huftt ...." Alice mengitarkan pandangannya.

"Aku harap, aku bisa melewati hari-hariku dengan tenang di sana," tukasnya.

Tepat di saat itu  Carlos pun datang, bersama Caroline.

Dia baru pulang dari dokter sekaligus paman dari Caroline untuk memeriksakan kembali luka yang ada di lengannya. Karena sempat terjadi iritasi dari luka yang mulai mengering.

"Alice!" teriaknya, dia melepas tangan Caroline yang melingkar di bahunya.

"Kau mau kemana?" tanya  Carlos.

"Bukan urusanmu!" cantas Alice.

"Kau ini istriku!" sahut Carlos.

"Istri?" Alice tersenyum tipis.

"Jangan mimpi, karna kita sudah bercerai!"

"Tapi—"

"Aishh!" Alice mendesis kesal lalu menepis tangan Carlos.

Carlos hendak mengejarnya tapi Caroline menghalanginya.

Dia menarik tangan Carlos lalu menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan 'jangan'

Carlos pun hanya menatap nanar kepergian Alice. Sebenarnya dia masih belum ikhlas melepaskan wanita yang selama 10 tahun ini menemani hari-harinya.

Tapi inilah keputusan Alice, dia harus menghargainya, lagi pula ini salah Carlos sendiri yang sudah berselingkuh.

***

Kini Alice sudah berada di dalam bus kota,  bus mulai melaju, dan di saat itu pula, air mata Alice, kembali menetes.

Bayangan Carlos kembali hadir, dimana saat dia melamarnya dengan sebuah cincin berlian. Carlos bersujud di hadapan Alice dengan menyodorkan sebuah cincin dari dalam sakunya. "Will you marry me?"

Alice tersenyum haru, disaksikan keluarga dan teman-teman yang hadir dalam pesta ulang tahun Carlos, dia menerima lamaran Carlos.

Sejak saat itu, kehidupan asmaranya bersama Carlos begitu langgeng. Mereka nyaris tak pernah bertengkar hingga hari pernikahan tiba.

Bahkan selama 9 tahun menjalani bahtera rumah tangga, kehidupan mereka juga masih baik-baik saja, hingga  di tahun kesepuluh, barulah hubungan mereka mulai goyah, karna kedatangan Caroline.

Harusnya, 30 Oktober nanti, mereka akan merayakan hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke 10, tapi takdir berkata lain, karna tahun ini menjadi akhir dari hubungan mereka.

***

Tak terasa 3 jam telah berlalu, bus telah berhenti.

Melewati perjalanan sejauh 65 mil, tak terasa waktu hanya Alice habiskan untuk memikirkan Carlos.

Pria yang harusnya sudah ia lupakan.

Setibanya di sana, Alice segera menghubungi Felix, dan tak lama Felix pun datang menghampiri Alice.

Seorang pria mengenakan celana jeans dengan kaos lengan panjang menghampirinya.

"Hai, Felix!" sapa Alice.

"Hai! Sudah lama?" tanya Felix.

"Sekitar 10 menit, yang lalu," jawab Alice.

Mereka berpelukan sesaat untuk melepas rindu, lalu duduk di sebuah kafe.

"Aku benar-benar, tak menyangka jika Carol, setega itu, padahal sejak dulu kalian ini berteman baik,"  ujar Felix seraya menyeruput secangkir kopi.

"Ah, lupakan dia, aku tak ingin membicarakan, Wanita Jalang itu," tepis Alice.

"Ah, baiklah," Felix menahan berapa keingin—tahuannya, demi menghormati Alice.

Sepulang dari kafe itu, Alice mampir ke apartemen milik Felix, dia menginap semalam di sana, ke esokkan harinya, barulah Felix mengajak Alice datang ke rumah yang dia maksud.

***

"Kau yakin ini rumahnya?" tanya Alice.

"Iya," jawab Felix.

Sebuah rumah berukuran sedang, yang terletak di pinggiran kota London.

Rumah itu tidak begitu mewah, dan juga tak begitu buruk, namun cukup nyaman untuk ditinggali.

Sebenarnya Alice tak percaya jika dia mendapatkan tempat tinggal baru dengan harga yang cukup murah.

Hari itu juga Alice membersihkan rumah serta menata barang-barangnya yang memang tak begitu banyak.

Alice hanya membawa seluruh pakaian seperlunya dan beberapa barang yang menurutnya penting.

"Aku rasa, aku sudah selesai membantumu merapikan rumah ini, dan aku harus segera pulang, karna malam ini aku ada janji dengan seseorang," ujar Felix.

"Yah, silakan, dan terima kasih untuk bantuan mu, Felix," tukas Alice.

Felix mengangguk sambil tersenyum.

"Jangan lupa, hari Senin besok kau datang ke restoran tempatku bekerja, aku sudah bicara dengan bosku, dan di hari itu juga kau boleh langsung bekerja!" ujarnya.

Alice tampak bahagia, mendengar ucapan Felix, lagi-lagi Felix membantunya. Bahkan untuk urusan pekerjaan.

"Terima kasih, Felix, terima kasih," Alice kembali memeluk Felix.

Dia tak tahu apa jadinya jika dia tak bertemu dengan Felix.

Ternyata tak semua teman itu jahat, buktinya Felix seperti malaikat baginya.

***

Hari sudah mulai gelap, Alice mulai menutup pintu rumah.

Hari ini anginnya bertiup sedikit kencang dan membawa dedaunan kering mengotori halaman rumahnya.

Alice hendak menutup gorden jendela rumah, tapi dari balik jendela, dia melihat sesosok wanita cantik tengah berjalan menuju rumahnya.

Alice mematung, dia masih memperhatikan wanita itu dari jendela.

Lalu si wanita mengetuk pintu.

Tok!

Baru satu kali ketukan, tapi Alice sudah membuka pintunya.

Ceklek!

"Ah, halo," sapa wanita itu dengan ramah.

Meski sedikit ragu, Alice juga tersenyum.

"Halo juga, sealamat malam," ucapnya.

Wanita itu membawa satu cangkir teh hangat di atas nampan dan beberapa bungkus camilan khas di negara itu.

"Ini untukmu," ucap Wanita itu seraya menyodorkan nampannya.

"Terima kasih," ucap Alice.

"Apa aku boleh masuk?"

"Tentu saja, silakan,"

Wanita itu masuk ke dalam rumah, sementara Alice berjalan di belakang.

Namun Alice menghentikan sesaat langkahnya saat melihat bercak darah di pakaian si wanita.

To be continued