CHAPTER 19
Every man's struggle is different to give to his woman, so for women, try to understand a man's point of view.
…
"Aku sudah banyak membuang waktu, pasti Erica menunggu kepulangan ku."
Sean menutup pintu mobilnya. Ia bergegas memasuki rumah besarnya. Tepat pada pukul 9 pagi, ia baru pulang ke rumahnya setelah seharian lebih hanya pergi mengurus misi.
"Erica sudah melihat hadiah dari ku atau belum, ya? Dia belum mengirimi ku pesan,"
Ia langsung menghampiri saah satu maid yang bertugas berjaga di pagi hari, karena di rumah ini ada shift maid yang bekerja malam, namun hanya beberapa dan tidak banyak.
"Good morning sir. Can I help you?" Sebelum Sean sempat mengatakan maksudnya, lebih dulu sang maid ini berkata. Memang semua pekerja di rumah Sean sangat cekatan, bahkan peka dengan posisi mereka.
Sean tampak menganggukkan kepala. Sejujurnya, ia m merasa sedikit tidak nyaman karena masih memakai jas di dalam rumah. Bukan, ini bukan jas biasa. Melainkan, jas yang di pakainya lengkap dengan alat-alat pembunuhan di baliknya, peralatan assassin yang anti deteksi. "Loid, have you serviced all of Erica's equipment?"
"Sorry, sir. Prepare what? Miss Erica hasn't been here since leaving for work yesterday."
"Oke."
Dan Sean tampak banyak bicara, dengan wajah datarnya langsung berjalan dan ke lantai dua rumahnya menggunakkan lift. Ia menggunakkan lift karena akan membawanya ke lantai dua yang lain dari sisi rumah ini.
Pikirannya bercabang. Kenapa Erica tidak ke rumahnya sesuai dengan apa yang ia katakan? Dan kenapa Erica pergi ke club tanpa memberitahunya? Untung saja ia menyuruh Theo untuk menyampar Erica, dan laki-laki itu menemukan wanitanya di tempat yang layaknya sepertu lautan manusia pada malam hari. Mengenai Theo, kenapa laki-laki itu tidak langsung membawa pulang Erica?
Pintu lift terbuka, dan sekarang ia melangkahkan kaki keluar. Ia pergi ke lorong penyimpanan senjata yang lebih lengkap lagi daripada ruangan merah. Tidak ada para maid atau karyawan lainnya di rumah ini yang bisa menginjakkan kaki disini.
Setiap ruangan atau bagian rumah yang menurut Sean sangat penting, ia selalu menaruh sistem keamanan ganda supaya tidak ada yang menyentuh daerah kekuasaannya.
Pintu otomatis terbuka saat sinar pendeteksi identitas menyetujui adanya Sean. Kalau yang terdeteksi bukan Sean, bisa di pastikan akan ada banyak senjata tajam yang menodong ke arah penyusup tersebut dan tidak akan ada celah untuk kabur karena bagian ini bebas dari jendela.
Sean memasuki ruangan, ia ingin mengambil barang penting.
Mengenai James yang menawarkannya masuk ke dalam dunia kejahatan mafia, Sean meminta waktu untuk menjawab penawaran tersebut. Selain itu, ia juga harus membicarakannya kepada Erica karena pasti menentangnya.
Sean dalam mode assassin saja sudah jarang memiliki waktu untuk Erica, apalagi jika ia bekerja dengan 2 pekerjaan penjahat sekaligus?
Sebenarnya, di dunia penjahat ini harus menghindari yang namanya percintaan dan jatuh cinta. Karena apa? Pertama sudah pasti orang yang di cintai terancam, dan yang kedua sedikit menghalangi kinerja kejahatannya karena memang penjahat tidak memiliki banyak waktu untuk menebar kasih sayang.
Sean menempelkan jam tangannya sebagai kunci pembuka dinding yang ada di ruangan ini. Ya, ada sistem pengunci di jam tangannya yang serba bisa karena kalau menggunakkan kunci password ataupun pengenalan wajah, pasti bisa di bajal seseorang jika memang ada yang nekat memasuki lebih dalam rumah dari seorang assassin terkenal.
"No one can stay away from me including you, Erica."
…
"Ayo, Nona. Maaf jika lancang, tapi Tuan Sean sudah menunggu mu sejak tadi."
Erica yang sedang membaca buku di temani dengan secangkir coklat panas, ia mengambil posisi santai dengan menyandarkan punggung di sofa, terlihat juga menyilangkan kaki. Kini, harus mendengar kembali permintaan konyol dari Theo.
"Tidak, biarkan Sean yang menghampiri ku. Dan apa urusannya dengan mu? Enyahlah,"
Dulu, Erica sangat malas untuk mengeluarkan suara dari dalam mulutnya, bahkan bisa terbilang kalau kalimat yang ia keluarkan sangat singkat. Namun sekarang, ia sudah pandai mengatakan apa yang ia ingin ucapkan kalaupun susuran kalimat dan nada suaranya terkadang cukup tajam dan juga kasar.
Theo tentu saja bersikap profesional, lalu menganggukkan kepala. "Aku akan menunggu kedatangan Tuan Sean, aku akan menjadi doorman di depan pintu apartemen mu."
Belum sempat Erica mencegah apa yang ingin dilakukan oleh Theo, ia menghela napas karena tindakannya terlambat.
"Biarlah, lagipula dia kan suruhan Sean."
Karena fokus membaca bukunya terpecah gara-gara Theo yang kembali mengungkit hal yang membuatnya kesal, Erica pun mulai menutup buku yang ada di pangkuannya dan meletakkan di atas meja yang berada di hadapannya.
Kini, Erica terfokus dengan menyesap secangkir coklat panas.
Beralih dengan berpikir kuat untuk mempertimbangkan apa yang dikatakan oleh Theo kepadanya. Sungguh, ia masih marah dengan apa yang dikatakan oleh Sean karena menyakiti hatinya. Namun, tidak dapat di pungkiri kalau ia bukanlah sosok yang gampang sekali memendam perasaan marah kepada seseorang. Jadi, lebih baik ia memaafkan dengan cepat.
"Huft…"
Erica pun sudah memegang ponsel lagi, entah sudah berapa kali sejak tadi ia seperti maju dan memundurkan niatnya untuk menghubungi Sean. Apakah seorang Erica harus mengemis perasaan kepada laki-laki yang satu itu? Tampaknya tidak ada harapan besar untuknya yang mendapatkan perlakuan khusus dari seorang pembunuh bayaran.
"Lelah dengan keadaan dan bukannya lelah dengan hubungannya."
Erica membalikkan sudut pandang, berusaha berpikir apa yang dipikirkan oleh Sean. Menyebutnya sebagai jalang di depan laki-laki lain? Mungkin Sean hanya ingin menyembunyikan statusnya, kan? Kalau Sean mengatakan yang menelepon adalah sanak keluarga, atau bahkan teman, mungkin ia akan terancam.
"Baiklah, gak ada salahnya juga buat ngurangin ego ku yang tinggi. Selama ini, Sean seolah memberikan usaha semampunya."
Melihat ke ruang pesan antara dirinya dan Sean, Erica tanpa basa-basi langsung menghubungi laki-laki tersebut.
And gotcha! Langsung di angkat.
"Selamat pagi, Nona muda. Kenapa kau tidak kembali ke mansion?" Dan sapaan lembut dari seberang sana terdengar.
Erica memutar kedua bola matanya. "Ya, selamat pagi, jelek." Ia membalas dengan nada bicara yang terdengar sangat jutek.
Dan kekehan kecil pun terdengar, Erica tau kalau laki-laki itu pasti mentertawakannya yang tiba-tiba sinis seperti ini.
"Aku ingin kau menjemput ku sekarang—"
"Dengan senang hati, lihatlah ke arah jendela."
Erica menolehkan kepala sesuai dengan apa yang Sean katakan karena takut laki-laki yang satu itu berbuat hal aneh. Dan benar saja! Ia kini membelalakkan kedua matanya saat melihat Sean yang seolah memiliki kekuatan seperti spiderman sudah terlihat di jendela tanpa balkon, camkan!
"Sean?!"
Buru-buru Erica membuang ponselnya dengan panik berlari ke arah jendela yang di buka satu sisi, setelah itu melihat Sean yang seolah tangannya menempel di dinding seolah di telapak tangan laki-laki tersebut ada lem perekat.
"Come on in, hurry up, Sean!"
…
Next chapter