CHAPTER 25
Being with a villain wasn't a bad thing, but it was also measured by your ability to melt hearts.
…
"Aku tidak mencintai mu, mengertilah, Sean."
Sambil mengaduk kopi dengan tea spoon, Erica menyilangkan kedua kaki dengan paha kiri sebagai tumpuan kaki kanannya.
Sean kini sedang bersiap dengan tuxedo yang melekat di tubuhnya, ia harus menghadiri markas utama karena mendapatkan undangan untuk hadir, sepertinya ada yang harus di bahas dan ia sudah tau kalau topik pembicaraan mereka nantinya akan membicarakan kematian James yang masih menjadi misteri.
"Aku juga tidak mengatakan kau mencintai ku, kau wanita sexy yang paling menarik."
Mendengar pujian Sean yang memang akhir-akhir ini gemar di sebut 'sexy' semenjak Erica mulai membiasakan diri menggunakkan pakaian terbuka, menjadikannya kini memutar kedua bola mata karena pujian para laki-laki selalu terdengar klasik, termasuk Sean.
"Hati-hati di jalan,"
Erica menyesap kopi di tangannya, gerakannya sangat terlihat anggun, bagaikan daun yang terbawa hembusan angin dengan gerakan lembut.
"Iya sayang, tidak ingin memberikan kecupan?" Sean berkata, sambil meraih koper yang sebenarnya hanya sebagai formalitas karena akhir-akhir ini sistem keamanan negara meningkat. Dan setip minggu-nya selalu ada petugas yang berjaga di perbatasan setiap kota untuk melakukan pemeriksaan, ia hanya berjaga-jaga.
Ini semua karna kasus salah satu pedagang gelap yang ceroboh, melakukan transaksi narkoba di bawah jembatan mati dan ketahuan oleh beberapa polisi yang sedang berpatroli.
Sean sangat menyayangkan bagi para tindak kriminal yang tidak profesional, merugikan diri sendiri.
Erica meletakkan cangkir kopi di hadapannya. "Tidak, terimakasih." dan menolaknya dengan nada bicara yang datar.
Sean menampilkan smirk di wajahnya, setelah di tangan kiri sudah memegang koper kerja, ia langsung melangkahkan kaki ke arah Erica dan berhent tepat di depan wanitanya.
"Kalau begitu, aku saja, kau tidak perlu repot-repot utuk melangkahkan kaki."
Membungkukkan tubuh dan… cup. Satu kecupan manis mendarat sempurna di kening Erica, hal ini menjadikan Erica sedikit tersipu walaupun mencoba untuk menyembunyikan semburat merah jambu yang tampil di kedua pipinya.
"Kau yang harus berhati-hati disini, aku khawatir keberadaan ku sudah di ketahui musuh." Sambil menegakkan tubuh, Sean menitipkan kewaspadaan kepada wanita di depannya. "Jika ada kecurigaan, langsung lari ke lorong X, lorong tersembunyi yang pernah aku katakan. Disana tidak akan terdeteksi, dan tempat penyimpanan senjata terlengkap yang aku miliki. Ruangan merah sudah aku samarkan dengan dinding, seolah dari luar tidak terlihat kalau itu adalah sebuah ruangan." Ia menambahkan.
Erica menangkap penjelasan yang di katakan Sean kepadanya. Jalan hampir 2 bulan hubungan bersama Sean, namun baru kali ini ia merasa terancam. Tidak, bukan terancam dengan laki-laki itu, tapi terancam dengan apa yang dikatakan oleh Sean mengenai kemungkinan mansion Sean sudah di ketahui keberadaannya.
"Mansion sebesar ini jika ketahuan lokasinya dengan musuh mu, bagaimana? Tidak mungkin pindah lokasi, kan?" Erica setelah menganggukkan kepala karena mengerti dengan apa yang di katakan Sean kepadanya pun lebih dulu bertanya.
Sean menggelengkan kepala, apa yang di tanyakan oleh Erica tidak benar. "Tidak, untuk apa pindah? Aku sudah susah payah untuk memodifikasi mansion ini sebagai senjata mematikan terbesar, tidak mungkin menghancurkannya begitu saja."
"Lalu?" Sedikit melupakan acara santai menikmati secangkir kopi, Erica penasaran dengan sistem kerja seorang Sean Xavon.
Sean tampak tersenyum, setelah itu mengelus puncak kepala Erica. "Cukup dengan mematuhi perintah ku, semua maid disini juga aku ambil dari mantan militer, yang wanita sekalipun."
Erica terbengong, setelah itu melihat Sean yang melangkahkan kaki menjauh darinya.
"Sampai nanti, aku tidak tau kapan pulang."
…
"Fyuh…"
"Sebaiknya biar aku saja yang meneruskannya, Nona."
"Tidak perlu, tugas mu hanya menjaga ku."
Erica mengelap peluh keringat yang terdapat di dahi, ia sedang melakukan kegiatan bercocok tanam, baginya halaman belakang rumah Sean sangat sepi. Hanya ada lahan kosong —walaupun begini, tumbuhnya rumput hijau yang selalu di pangkas sesuai dengan standar tinggi agar tidak menjadi ladang rumput—, memang di gunakkan sebagai lepas landas pesawat, jet, maupun helikopter sekalipun.
Erica hanya ingin memberikan warna di mansion Sean, juga merayakan hidupnya yang sudah cukup berwarna semenjak ada Sean.
Entah Erica yang harus beruntung memiliki Sean, atau Sean yang harus beruntung memiliki Erica.
"Nah kelar juga, semua jenis bunga udah terlihat cantik di sini." Ia pun menepuk telapak tangan yang terasa kotor karena beberapa butir tanah. Walaupun sudah memakai sarung tangan, bukan berarti butiran tanah tidak bisa masuk.
Mungkin karena mendengar perkataan Erica barusan, beberapa maid wanita yang sedaritadi bertugas hanya mengawasi —atas perintah Erica itu sendiri—, mereka langsung turun tangan untuk membereskan peralatan berkebun bahkan sampai membantu Erica untuk membersihkan kedua tangannya yang lentik.
Erica yang sudah terbiasa seolah-olah tinggal di kerjaan aka semua hal bisa ia dapatkan dan di layani dengan baik, ia tidak lagi menolak seperti awal. "Terimakasih,"
Setelah itu berbalik badan yang meninggalkan semua pekerjaannya yang telah ia lakukan dengan baik. Di tinggal Sean sendirian di rumah adalah hal yang paling membosankan, jadi tidak ada salahnya untuk menambah kegiatan apalagi ia mengambil cuti untuk hari ini.
Hari ingin berubah gelap, dan ini menjadikan Erica tau kalau Sean selalu mengambil job di malak hari, menjelang pun termasuk.
Erica memakai celemek berkebun, supaya bajunya tidak kotor. Ia melepas dan menggantungnya di gantungan khusus untuk meletakkan celemek.
"Kembali bosan…"
Kalau saja Sean mengizinkan kedua sahabatnya untuk kesini, pasti ia sudah mengirimkan pesan kepada Xena dan juga Orlin untuk ke mansion yang tengah ia injak.
Erica melangkahkan kakinya ke ruang tengah, namun ia tertegun saat melihat ada seseorang yang duduk di sofa.
"Yo, wanita cantiknya Sean, apa kabar?"
Dan Erica sedikit tersenyum saat mendengar suara yang sangat familiar di telinganya. "Hai, D. Krack? Ada urusan apa kesini?" Ia bertanya sambil melangkahkan kaki mendekati laki-laki yang sudah duduk di sofa ruang tamu, ternyata sudah di suguhi minuman dan makanan. "Kenapa tidak menyuruh maid untuk memanggil ku?"
Hubungan mereka cukup dekat, jadi tidak ada lagi kalimat dingin untuk D. Krack yang dulu sangat sering kali ia luncurkan untuk laki-laki bertubuh besar itu.
D. Krack menatap Erica yang sudah mendaratkan bokong di sofa yang ada di seberangnya. "Kau sedang melakukan aktifitas manusia normal, aku tidak akan mengganggunya."
"Sayang sekali, Sean tidak ada disini." Erica menjawab dengan topik lain. Di satu sisi, ia berpikir ada keperluan apa D. Krack kesini? Pasalnya, Sean pun tidak berkata apapun kepadanya mengenai sahabat kriminal laki-laki itu yang akan berkunjung.
D. Krack tampak menganggukkan kepala. "I'm not looking for Sean, what I'm looking for is you. I want to say something, while providing information to you, Erica."
…
Next chapter