CHAPTER 18
A frozen heart is very difficult to thaw.
…
James memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Dan yang ia lakukan saat ini adalah menatap beberapa layar monitor yang terlihat menjulang tinggi di hadapannya.
Ia melihat bagaimana pintarnya cara kerja Sean, dan ia mengakui kalau laki-laki itu adalah assassin terhebat yang pernah ada.
Sean mengerti bagaimana cara mengatasi agar dirinya tidak terlihat di rekaman CCTV, apalagi saat di dalam lift, tidak ada yang berpikiran seperti itu.
"How about we invite him to the mafia group too? Looks like Mr. Sean has the potential to improve performance."
James menolehkan kepala ke arah Head of Security yang terdapat di rumahnya. Tampak kilatan yang terpantul dari kacamata. "Matikan intaian lebih dulu, Sean akan membunuh ku karena melihat caranya bekerja." Ia terutama memerintahkan hal ini.
Head of Security yang bernama Lensie Jackshon itu pun menganggukkan kepala, setelah itu mematikan sistem intai yang mereka berikan kepada Sean secara tidak sadar saat laki-laki itu menduduki sofa. Karena jika ada yang melakukan sentuhan khusus untuk menempelkan alat pelacak, mungkin Sean akan sadar.
James tampak menimang-nimang. Secara tidak langsung, ia juga berpikiran hal yang serupa dengan Lensie, namun kemungkinan Sean tidak menerima job tambahan.
"I will talk to him later."
Setelah itu, James tampak menyilangkan tangan di belakang tubuh, lalu memilih untuk berbalik badan dan pergi meninggalkan ruangan pengintaian yang berubah menjadi monitor CCTV yang berada di setiap sudut rumah ini.
Misi Sean berhasil, yang artinya ia juga berhasil melumpuhkan kejayaan musuhnya dengan begitu mudah. Ia bahkan sudah transfer seluruh biaya kepada Sean.
…
Di pagi harinya …
"Eughhh…"
Merasa ada cahaya matahari yang masuk ke dalam penglihatannya, menjadikan seorang wanita dengan pakaian yang cukup minim, namun kini tertutupi salimut sampai lehernya, mulai membuka kedua bola mata.
Tampak merenggangkan kedua tangan ke udara, dan menguap kantuk.
Erica mengubah posisi tiduran menjadi duduk di atas ranjang agar rasa malas tidak menerjangnya.
"Good morning Miss, you slept well."
Mata Erica terbelalak! Ia mendengar suara bariton dan langsung menolehkan kepala ke sumber suara dan menemukan seorang laki-laki yang tampak meletakkan secangkir teh yang asapnya masih mengebul ke atas meja.
"SIAPA KAMU?" Erica waspada, bahkan menyibak sedikit selimut di tubuhnya karena takut…
Menghela napas, ternyata pakaiannya tadi malam masih terdapat di tubuhnya dan tidak ada sobekan sama sekali.
Tapi kenapa ada laki-laki itu? Dan kemana Xena dan Orlin berada?
"Perkenalkan, saya Theo."
Theo, ia tampak meletakkan sepiring sandwich juga susu kedelai dingin. Setelah itu, ia mengesampingkan nampan di tangannya dan menatap Erica yang tampak berwaspada dengannya. Wajar saja jika wanita itu memberikan first impression yang cukup berwaspada dengannya karena memang tidak seharusnya keadaan ini terjadi.
Theo hanya menjalankan perintah Sean, dan sejauh yang ia tau, ternyata Sean memutuskan interaksi dengannya saat ia menghubungi laki-laki tersebut kala mengutak-atik komputer.
Tanpa Theo sadari, tangan Erica meraih tepian kasur dan mencari pistol yang memang terletak tersembunyi di beberapa perabotan rumah miliknya.
"Kenapa kamu ada disini? Kemana dua teman ku?"
"Maaf kalau terkesan lancang tapi saya hanya membantu mu, kau tengah malam muntah dan langsung tak sadarkan diri. Perihal kedua teman mu, saya tidak tau."
"Dan perkenalkan nama mu yang lengkap atau aku akan menembak mu," Erica pun berkata sambil menodongkan tembakan ke arah laki-laki yang mengaku bernama Theo.
Theo jadi waspada dengan Erica, pantas saja Sean memilih wanita tersebut, ternyata memang mereka sama berbahayanya. "Ingat Theo yang meminta untuk bekerja bersama dengan Tuan Sean? Saya asisten sementaranya atas perintah D. Krack."
Theo yakin pun pasti Erica tau, mungkin saja terlalu shock dengan kehadirannya, apalagi di latar belakang yang ia dapatkan dari wanita itu, Erica tampak sangat waspada dengan laki-laki.
Erica tampak menyipitkan kedua mata, memperhatikan laki-laki di hadapannya, namun tangannya belum menurunkan arahan pistol yang ia posisikan ke arah Theo.
"Oh ya, tau, aku mengingatnya." Dan setelah menit ke 3, akhirnya ia berkata seperti ini sambil menurunkan pistol yang mengarah ke Theo.
Theo mengeratkan lagi dasi yang terdapat di kerah kemeja, lalu dengan posisi berdiri pun menganggukkan kepalanya. "Silahkan sarapan dulu, Nona."
Erica yang merasa perutnya keroncongan karena kemarin siang hanya di isi dengan taco dan setelahnya tidak makan apapun lagi, ia turun dari kasur, namun tetap mempertahankan selimut tebal untuk menutupi tubuhnya. Bahkan, tangan satunya lagi pun memegang pistol.
"If you put poison in my food I'm sure Sean will avenge you and kill your entire family for 7 generations."
Bagaimana pun juga, Erica tidak boleh percaya dengan siapapun sekalipun yang katanya 'asisten' sampingan dari kekasihnya. Ia melihat Theo yang tampak berdiri tegak, mengikuti kemana arahnya berjalan.
Theo yang mendengar perkataan Erica pun meneguk saliva, terasa tenggorokkannya yang tercekat. "I promise, I'll call Mr. Sean if you agree to this." Ia berkata.
"Yes of course." Erica pun menyetujui karena pada dasarnya Sean tidak pernah menghubunginya dengan mandiri jika di rasa sudah tidak ada hal yang penting untuk di sampaikan padanya, padahal memberitahu kabar adalah hal yang penting.
Theo pun menganggukkan kepala, ia mengaktifkan mode hubungi Sean pada kacamata lalu melepaskan benda tersebut yang tadinya bertengger di pangkal hidung dan membersihkan dengan pembersih khusus dan mengelapnya.
"Ini Nona, pakailah, sudah saya bersihkan."
Erica melepaskan tangannya yang mempertahankan selimut dan ternyata selimut tetap stay menurupi tubuh, lalu ia beralih untuk meraih kacamata yang tampak seperti kacamata biasa pada umumnya, setelah itu memakainya dan melihat ada hologram Sean.
"Halo, Theo. Ada masalah apalagi menghubungi ku? Bagaimana dengan Erica? Sudah aman?"
Terdengar suara Sean yang dirindukan oleh Erica, namun Erica tampak memyembunyikan rasa rindu di atas gengsi yang sesungguhnya.
Erica termenung, apakah ia harus menghubungi Sean duluan? Tapi tidak, ia masih tidak terima dengan alasan yang diberikan Sean kepada seseorang di seberang telepon saat kemarin.
Erica melepaskan kacamata yang bertengger di hidung, lalu meletakkannya di meja. "Aku tidak ingin berbicara dengannya." Setelah itu lebih memilih meraih secangkir teh dan menyeruputnya dengan perlahan, ia menahan agar kristal bening yang terdapat di kedua kelopak matanya tidak keluar yang artinya ia menahan tangisan.
Theo yang melihat itu pun buru-buru memakai kacamata tersebut, lalu berjalan menjauh dari Erica yang mungkin sedikit sensitif dengan Sean, entahlah lagipula ini bukan masalahnya, kan? Ia hanya melapor kalau Erica sudah ia perlakukan sebaik mungkin, ia juga mengambil jarak saat melayani wanita itu.
Sedangkan Erica? Setelah meletakkan secangkir teh hangat, ia memilih untuk bergantian meraih samdwich yang tampak menggoda. Lagipula, daripada bersusah payah memikirkan Sean, lebih baik ia mengisi perutnya yang keroncongan.
"Aku tidak akan luluh dengan cara apapun,"
…
Next chapter