Raut wajah Bara tidak sedang bercanda, dia teramat serius untuk sekedar ditanya maksud kedatangannya apa.
Bara pun menutup kembali pintu kamar dan melangkahkan kakinya untuk lebih dekat dengan si punya kamar.
Asih yang duduk di tepi kasurnya pun semakin gemetar. Apa Bara marah soal kemarin? Kemarin saja pintu ditutup dengan keras, tidak mungkin kan emosinya langsung surut begitu saja?
Bara terlihat pendendam, kemungkinan maksud kedatangannya juga akan membalas perlakuan Asih kemarin yang menyalahkannya seenaknya.
Sebab kemarin, Asih juga tidak bisa percaya dengan orang-orang di sini. Bisa saja di antara mereka juga pembunuh brutal seperti Jajaka Purwa.
Layaknya film-film barat, terkadang yang terlihat biasa saja justru mereka-mereka adalah pelaku dan dalang sebenarnya. Asih mengesot, menjauhi jarak di antara dirinya dan Bara.
Asih melihat ke kasurnya, ada guling yang bisa dia pakai untuk menimpuk Bara jika dia macam-macam. Asih pun dengan cepat meraih gulingnya dan diarahkan ke Bara.
"Jangan mendekat! Kamu mau apa ke sini?" Asih berteriak.
Bara pun langsung menyergapnya dan menutup mulut Asih. Asih meronta-ronta, menggigit tangan lelaki itu saja tak bisa karena begitu kuatnya cengkeraman lelaki itu.
Mata mereka saling menatap tajam, tapi Asih lebih memancarkan ketakutannya.
'Ya Alloh, mau ngapain dia.' Batin Asih sangat was-was.
Bara melirik-lirik ke belakang, dia khawatir kalau tiba-tiba orang lain datang dan mengira yang tidak-tidak padanya.
"Lo bisa diam nggak sih? Hah?" tanya Bara sambil melotot dengan rahang yang begitu kencang karena kesal, "yang lain pasti nyangka yang nggak bener. Diam lo! Mau diem nggak? Kalau lo diem gue lepas."
Asih pun menganggukkan kepalanya dan mengedipkan mata.
"Awas lo!" ancam Bara lagi, kemudian dia pun melepaskan bekamannya.
Asih hampir saja kehabisan napas, dia mengatur napasnya kembali agar tenang.
"Mau ngapain ka –"
"Gue ke sini mau ambil seragam gue, mana?" tagih Bara sambil meminta dengan tangannya.
Asih sedikit lega, dia kira Bara akan memukulnya atau yang parahnya menodai Asih. Ternyata Asih hanya terlalu parno.
Tanpa menjawab, Asih pun berjalan ke lemari baju. Dengan cepat dia ambil baju milik Bara ditumpukan paling atas.
Sudah disetrika dan wangi. Bara langsung menarik baju miliknya setelah Asih menyodorkan dengan kedua tangannya.
Dengan wajah yang masih sinis dan ditarik dengan cepat, setelah itu Asih yang meminta seragamnya dikembalikan.
"Seragam punyaku?" tanyanya.
"Tenang, gue juga balikkin." Bara begitu ketus dan dia pun memuka bajunya.
Asih melotot. "Kamu mau ngapain?"
Padahal Bara baru saja membuka kaosnnya sedikit, Asih sudah berprasangka buruk.
Ditariknya baju seragam yang Bara sembunyikan di balik kaos yang tengah dia kenakan.
"Nih!" Sodornya sambil tersenyum licik.
Asih terkejut. "Apa? Ini udah dicuci belum?" tanya Asih.
Dilihat dari kelecekkannya dan diciumnya aroma bajunya yang bau tidak menimbulkan bau apapun, setengah curiga Asih menuduh Bara.
"Udah, tapi nggak pakai pewangi dan tanpa disetrika," balas Bara dengan wajahmenyepelekan, "lo sendiri bisa, kan?" Sunggingan senyum di bibir Bara begitu membuat Asih kesal.
Terasa tidak adil, padahal baju Bara dia perlakukan dengan baik.
Apa susahnya? Kan ada pembantu? Bara pasti sengaja.
Tanpa berkomentar lagi dari Aih, Bara pun pergi dan membawa baju seragam miliknya.
Asih menatapnya dengan sinis, anak tiri durhaka ya … Bara contohnya.
Setelah Bara menutup pintu, Asih sangat kesal dan hampir meneriaki Bara dan ingin melempar baju seragam itu.
Tapi, dia lebih memilih memasukkannya ke lemari untuk dia setrika nanti. Asih masih punya satu seragam lagi untuk dipakai hari ini, karena seragam kemarin dia pakai sampai malam, tidak akan nyaman jika harus dipakai lagi.
Tiba-tiba, pintu terbuka dengan cepat dan Bara terlihat linglung. Dia celingak celinguk ke sana kemari.
"Kamu kenapa?" tanya Asih kebingungan.
"Gue harus sembunyi, di mana? Ya Tuhan, mampus gue." Bara gelagapan, matanya seperti orang kesurupan yang tidak tanang.
"Apa?" Asih pun terkejut. Jangan sampai Jajaka Purwa tahu kalau Bara masuk ke kamar Asih meskipun untuk mengambil baju seragam. "Di lemari saja!" Asih pun menarik Bara untuk masuk ke lamari.
Bara dengan rusuh menurut padanya.
"Sempit, woy!" Bara dipaksa masuk oleh Asih.
"Diam di sana, jangan bersuara. Aku tutup!"
Kemudian, pintu terbuka.
Asih sangat terkejut. Pembunuh itu menatapnya begitu tajam dan menutup kembali pintu kamar. Untung saja Asih sudah menutup lemarinya, masih dia tekan dengan tangan.
Asih masih takut untuk bertemu dengan sipenghukum itu. Tapi, Jajaka Purwa terus melangkah –mendekat, suara kakinya sangat terdengar jelas.
Di dalam lemari, Bara sudah berkeringat karena tidak ada udara yang masuk.
'Gila, pengap banget.' Bara hampir kehabisan napas karena baju Asih cukup banyak di gantungan baju di dalamnya. Baju-baju baru yang sudah dibelikan ayahnya.
"Tu-tuan." Asih semakin gemetar.
Setelah hanya sejengkal saja jarak antara Asih dan Jajaka Purwa, lelaki itu mengelus rambutnya. Refleks Asih menghindar, kerutan di dahi lelaki itu penuh dengan kecurigaan.
Jajaka Purwa terlihat marah, dia pun menarik tangan Asih. Hingga pintu lemari yang di pegangnya pun sedikit terbuka. Asih belum benar-benar menekannya.
'Si Asih cari mati apa?' Bara ketakutan. Kalau saja Jajaka Purwa melihatnya, tamat sudah.
Jajaka Purwa memeluk Asih dengan paksa. Asih terlihat ketakutan. Di dalam lemari, Bara bisa melihat mereka dari celah yang sedikit terbuka.
"Kemarin kamu pingsan kenapa?" tanya Jajaka Purwa.
Wajahnya tampak sekali seperti psikopat yang tak ada sedikit pun terlihat rasa bersalah di wajahnya.
Asih tidak menjawab. Dia bahkan memalingkan wajahnya dari suaminya sendiri.
Jajaka Purwa masih menatapnya penuh amarah dan nafsu. Asih sudah mandi, dia juga sudah memakai seragam dengan tambahan bedak tanpa lipstick. Terlihat natural tapi cantik.
Jajaka Purwa tidak memarahinya karena memang Asih perlu beradaptasi. Dia pun langsung mendekap Asih. asih merasa jijik, tapi diat tidak bisa menghindar.
Pelukan penuh nafsu itu terlihat oleh Bara dari celah lemari.
Bara ingin muak sekali. Ayahnya benar-benar nafsu. Sudah tua bangkotan, tak cukup dengan sebelas istri sesudahnya.
Bahkan Bara curiga kalau ayahnya itu akan menambahkan selir baru. Bisa jadi kan? Dia sangat ingin mempunyai istri berjumlah dua belas.
Berkurang satu, tentunya akan menjadi sebuah alasan baru.
"Kamu sudah tahu kan apa akibatnya jika melawanku?" bisik Jajaka Purwa di telinga Asih
Asih semakin gematar, dia sangat takut sekali. Ancaman itu seolah-olah bentuk peringatan kalau ajal Asih di ambang taruhan.
Dia harus menurut jika tidak ingin hukuman mati itu dilayangkan padanya. Jajaka Purwa pun kemudian melepas pelukkannya.
"Sekarang, ayo kita sarapan!" ajaknya, dia langsung menarik tangan Asih.
Jajaka Purwa dan Asih pun keluar, Asih sempat menoleh sekilas ke lemari. Ditutupnya pintu kamar, Bara pun sangat lega. Akhirnya dia bisa keluar.
Bara langsung membuka pintu itu.