"Ibu sakit paru-paru," balas Andara.
Adrian pun ikut iba mendengarnya.
"Maaf sebelumnya Tuan, kalau tidak ada lagi keperluan saya mau tutup teleponnya, boleh?" Andara pasti sibuk, Adrian salah sudah menganggu di waktu yang tidak tepat.
Tapi, Adrian harus segera mendapat jawaban dari Andara.
"Tunggu Andara! Jangan ditutup dulu. Aku ingin bertanya."
"Tanya apa, Tuan?"
"Apa kamu akan menemani lelaki lain? Dan … apa setelah melayaniku semalam apa kamu sudah melayani lelaki lain, Andara? Maafkan aku jika pertanyaanku tidak sopan." Adrian memegang bahu kursinya, mengetuk-ngetuknya dengan telunjuk.
Menunggu jawaban Andara seperti menungu undian togel keluar. Begitu mendebarkan dada.
Berharap Andara belum melayani lagi lelaki lain.
"Tidak, Tuan," balas Andara.
Perempuan itu juga bingung, mengapa Adrian bertanya tentang itu? Apa yang ada di benak lelaki ketika dia menanyakan privasi seorang perempuan?
Tapi, Andara tidak terlalu pede untuk menyangka Adrian menyukainya. Lelaki yang sudah berani memesan, mereka-mereka hanyalah lelaki nafsu yang hanya butuh badannya saja pikir Andara.
Meskipun, perasaan aneh di dadanya juga sama-sama ada.
"Syukurlah." Adrian sangat lega.
"Apa malam ini aku bisa bertemu denganmu?" Adrian harap Andara mau bertemu dengannya lagi. "Aku bayar kamu lagi Andara," sambung Adrian.
"Boleh, Tuan."
"Baiklah, nanti kuhubungi hotelnya di mana."
"Iya, Tuan."
***
Setelah membunuh Famella dan Sandi, Jajaka Purwa pun menyidang istri-istrinya kemarin terkecuali Asih karena dia pingsan.
Bukan hanya istri-istrinya saja, para bawahannya dan juga tak lupa para pelan dapurnya. Jika ada rahasia yang juga mereka sembunyikan, mereka harus mengatakannya kemarin malam.
Tapi, tidak ada yang mengaku. Jajaka Purwa ragu, tapi setidaknya dia sudah memberikan peringatan dan jika ada yang melanggar lagi itu sangat keterlaluan.
Mereka berarti tidak takut dibunuh oleh dirinya. Kali ini, Jajaka Purwa mengancam mereka lebih parah.
Ancamannya selain dibunuh dengan samurai panjang itu, terlebih dahulu mereka akan dikuliti dan ditambah taburan garam biar semakin perih.
Sebelum mati, mereka harus merasakan lebih dahulu luka yang teramat perih.
"Ucup! Nanang!"
"Iya, Juragan," sahut keduanya.
"Semuanya, bakar habis. Jangan ada yang tersisa." Tunjuk Jajaka Purwa pada seluruh perabotan yang ada di kamar Famella.
"Baik Tuan." Ucup dan Nanang pun mengerahkan anak buah Jajaka Purwa yang lainnya untuk mengambil semua perabotan yang ada dan dibawa keluar untuk dibakar.
Jajaka Purwa mendekati meja di samping tempat tidur Famella. Ada foto dirinya dan Famella di sana. Foto berukuran 4R, foto mereka berdua saat menikah dulu.
Melihatnya saja Jajaka Purwa sangat muak. Dia ingat dulu saat Famella adalah selir yang dibangga-banggakan olehnya karena dia begitu bisa membuat Jajaka Purwa betah di kamarnya.
Tapi ternyata, Famella berkhianat dan beralasan kalau Jajaka Purwa tidak bisa memberinya kepuasan batin.
Famella merasa kurang diperhatikan, padahal dia rasa justru Famellalah yang sering dia pedulikn lebih dulu jika dipandang dari semua selirnya.
Jajaka Purwa sudah merasa adil memberikan apa yang dia mau, melihat kasurnya saja Jajaka Purwa ingin sekali meludahinya.
Kasur yang dipakai oleh dua orang lelaki sekaligus dan merendahkan harga dirinya.
Kabar ini pun pasti juga tersebar ke penduduk desa, bagaimana seorang Juragan bisa kalah saing dengan anak buahnya sendiri? Sampai istrinya bisa berselingkuh.
Aturan benar-benar harus ditegakkan agar semua istrinya patuh padanya.
"Aaaaaaa!" Jajaka Purwa berteriak sampi l melempar foto itu ke tembok.
BRAKKK!
Bingkai fotonya patah dan kacanya juga menjadi pecahan-pecahan kecil.
Dia pun pergi meninggalkan kamar berwarna ungu itu. Warna yang disukai Famella.
Sembari berjalan, dia bernostalgia. Ingatan-ingatan bersama Famella terus saja menghantuinya.
"Suamiku, aku ingin cat kamarku ungu ya. Oh iya, aku juga ingin ke salon lagi sama aku juga mau belanja baju baru. Boleh?" Rayuan manja Famella seringlah terdengar di telinganya.
Rayuan manja yang menggairahkan dan tidak dipunyai oleh siapa pun selain Famella seorang. Awalnya Famella juga seperti Asih, malu-malu kucing tapi lama kelamaan dia menjadi sangatlah mahir.
Itulah yang membuat Jajaka Purwa senang dengannya, selalu ada hal baru yang ditampakkan oleh Famella.
Jajaka Purwa berharap Asih akan menjadi penerusnya. Untung ada Asih yang masih baru dia nikahi, kalau tidak … mungkin Jajaka Purwa sudah langsung ingin menikah lagi dengan perempuan lain dan diusahakan harus lebih cantik dari Famella agar dia terobati. Rasa sakitnya harus terobati, itulah dia.
***
"Si Bara mana?" tanya Hilman sesudah mereka berkumpul di lapangan.
Hari ini ada pertandingan basket di sekolah. Tepatnya di mata pelajaran olahraga, kelas dua belas IPS dan IPA sengaja digabung oleh guru mereka.
"Nggak tahu tuh, tadi sih pas kita pada ke sini dia nemui si Rani dulu," balas yang lain.
"Yaelah … malah pacaran, terus kita gimana?"
"Tahu tuh si Bara, tanya Asih coba!" saran Hilman sambil menohok pada Tobi.
"Gue?" tanyanya.
"Iya, tanyain sama si Asih … di mana si Bara, suruh dia panggil si Bara. Sama si Asih pasti dia mau."
"OKe, sekalian PDKT. Ckckckck." Tobi pun melenggak lenggok sambil berjoget menghampiri Asih yang duduk di sisi lapang, di barisan penonton.
"Serius si Tobi mau ngedeketin si Asih?"
"Tahu tuh, si Bara juga mungkin enggak restu sama dia. Ahahahha."
Gelak tawa yang lain pun ramai menertawai Tobi. Si jomlo menahun sekaligus kocak.
Tubuh Tobi paling pendek di antara mereka semua, badannya pun cukup berisi, kulit Tobi juga paling bersih, kalau saja badan dia kecil mungkin Tobi juga ganteng sama kayak yang lain.
Hanya saja, ya … dia paling doyan makan di antara semuanya –ketika yang lain lebih memilih merokok dan ngemil kacang-kacangan, Tobi memilih makanan yang berisi seperti roti, gorengan dan lain-lain.
Bella and The gengs yang melihat Tobi mendekat, langsung menjadikannya pusat perhatian mereka.
"Itu, itu … si Tobi apa-apaan lenggak lenggok enggak jelas?" tanya Keyla heran dibarengi cekikikan yang lainnya.
"Parah, hahaha padahalkan banyak anak IPA merhatiin." Tata menimpali sambil mengunyah kacang tanah kemasan.
Bella pun menyomot kacang tanah yang dipegang Tata dan kemudian mengunyahnya sambil terus melihat Tobi.
"Malu-maluin dia, banyak gaya lagi. Mau ke mana lagi? Ahahahah."
"Lucu tahu, so cute!" Ica memerhatikannya seperti layaknya seorang penggemar yang terpesona.
"Kalau lo suka, kenapa dulu ditolak?" sindir Tata diikuti tawa yang lain.
"Iya, si Ica aneh deh." Bella menatap sinis teman lemot tapi paling penurutnya itu.
Ica masih menatap Tobi berjalan menuju Asih. "Mmm, kan kalian tahu kalau aku enggak boleh pacaran."
"Ah lo polos amat Ca, orang tua lo juga enggak bakal tahu kali." Tata menipiskan mata.
"Aku enggak mau bohong ah, takut dosa. Apalagi sama orang tua," balas Ica sambil menatap ketiganya dengan lugu.
PLETAKKK!!!
Bella menyentil pipi Ica dan seketika Ica langsung cemberut kesakitan.
"Bell! Sakit tahu, lo sirik ya sama pipi gue yang mulus? Enggak kayak pipi lo yang kadang kalau lagi menstruasi suka jerawatan?" Ica tidak sadar dengan kata-kata yang barusan dia ucapkan.
"Apa lo bilang? Lagi-lagi lo bahas semua hal yang bikin gue insecure … gue jambak lo ya! Sini!" Tangan Bella mencoba meraih Ica yang duduknya terhalang oleh Keyla.
Tapi kedua teman mereka yang lainnya mencegah keributan.
"Eh, udah-udah malu diperhatiin." Keyla menghalangi kemarahan Bella.
Tata pun mencegah.
"Ishhh, lo sih Ca nggak disaring tuh mulut."
"Sakit Ta, tuh pipiku pasti merah." Ica langsung mengeluarkan kaca di saku seragamnya.
Setelah Tobi berdri di hadapan Asih, dia menggolep rambutnya ke belakang.
Sontak membuat ketiganya; Hasan, Fira dan Asih pun aneh. Tobi mau peragaan busana di depan mereka atau apa?
Asih risih, karena semua orang memandangi ke arah mereka seperti melihat buronan korupsi. Penuh tudingan!
"Biasa dong mukanya, Asih. Gue enggak akan ngajak kamu main basket, hehe."
Asih menyeringai. "Aku enggak berpikir seperti itu kok, Tobi."