"Kalau kamu memang belum butuh aku, oke … aku pergi. Aku akan selalu ada untuk kamu, Suamiku. Panggil saja aku." Kirani masih membelai kedua bahu suaminya, melepasnya dengan lembut dan juga dengan bisikkan yang dia usahakan bisa terdengar menggoda.
Dalam hatinya, juga sama dengan istri-istri Jajaka Purwa yang lain. Sama-sama senang kalau saingan mereka tumbang.
"Aku pergi ya …." Kirani pun pergi.
Jajaka Purwa masih memegang kepalanya dan memejamkan matanya, seisi kepalanya masih kacau dan pening sekali, yang dibutuhkan olehnya sekarang hanya Asih seorang saja.
***
"Nyonya! Nyonya!" panggil Nenih pada majikkannya dengan terbirit-birit—Monika yang sekarang sedang menikmati jus di pinggir kolam renang.
Dia tidak sedang berenang ataupun sudah berenang, dia hanya sedang menikmati udara luar dan melihat-lihat layar handphonenya.
Mencari-cari baju yang sedang nge-trend sekarang dan mencari-cari background yang cocok untuk pesta nanti.
Anaknya—Hani harus disambut dengan meriah agar dia senang, anak satu-satunya harus diistimewakan, bukan?
"Nyonya!" Nenih sudah ada di hadapannya.
Monika masih anteng memperhatikan catalog harga sewa tanpa menoleh sedikit pun pada Nenih.
"Apa?" tanyanya tidak antusias.
"Nyonya, ada kabar penting." Nenih tersenyum penuh kesenangan.
Senyuman yang mirip dengan majikkannya, penuh rencana dan gairah negatif. Seperti senyuman seorang penyihir yang akan melaksanakan niat jahatnya.
"Kabar apa?" Monika mulai tertarik.
"Sini saya bisikkin Nyonya." Nenih mendekatkan bibirnya ke telinga Monika.
Monika pun juga membuka telinganya lebar-lebar, informasi penting tidak boleh dilewatkan begitu saja bukan? Si mahir Nenih memang tidak banyak mengecewakan Monika perihal info-info up to date.
Mata Monika membelalak, bibirnya pun langsung berseri-seri. Senyuman kemenangan dan rasa puas karena mendapatkan kabar yang menarik hari ini.
"Hahahah," tawa Monika menggelegar, sangat puas, "aduh, ahahaha. Perutku geli sekali Nenih, kamu dari tadi nguping pembicaraan mereka? Kalau saya denger langsung pasti akan lebih puas."
"Iya, Nyonya. Saya ngebuntuti Nyoya Kirani tadi. Pintunya tidak ditutup dengan benar, jadi ya … kedengeran percakapan Nyonya Kirani sama Juragan, Nya." Nenih pun ikut gembira.
Dia sudah dari dulu memihak majikkannya sendiri. Bagaimana tidak begitu? Baik Nenih maupun Sunarti—pembantu khususnya Kirani pasti akan selalu mengirimi majikan-majikan mereka informasi terkini dan bahkan bisa saling menyudutkan satu sama lain karena imbalan dari majikkannya masing-masing tidak main-main.
Semakin banyak informasi dan menuruti perintah majikannya, mereka selalu mendapat uang bonus lebih dan bahkan bisa dua kali lipat gaji, itulah alasan Sunarti dan Nenih selalu giat sekali mengurusi hal-hal di luar pekerjaan dapur dan beres-beres rumah.
Menjadi intel adalah pekerjaan freelance mereka yang bisa menghasilkan uang lebih banyak lagi.
"Mampus si Kirani, cari muka eh dapet ancaman. Kan lucu." Monika mereguk jusnya sambil tersenyum sinis. "Oke, sekarang kamu kembali aja sana. Beresin pekerjaan kamu." Monika mengusir Nenih untuk kembali mengurusi pekerjaannya yang belum terurus.
Nenih tidak menurut, dia masih berdiri dan memperhatikan Monika yang kembali anteng dengan layar handphonenya. Dilihatnya oleh Nenih, Monika sedang membuat status whatsaap.
Diketikanya kata, 'NGAKAK, PUAS LO! CAPER SIH!' ditambah tiga emot tertawa yang hampir terjungkal.
Nenih juga ikut puas. Kalau majikannya puas, tidak salah dong minta komisi? Nenih pun tersenyum-senyum enggak jelas, membuat Monika aneh melihatnya.
"Kamu kenapa? Bukannya segera pergi malah senyum-senyum." Monika menatap Nenih aneh, tapi tak lama dia langsung melihat lagi ke layar handphonenya.
Monika penasaran siapa saja yang sudah melihat statusnya, dan ternyata … yang pertama melihatnya adalah Kirani. Mampus! Monika snagat puas karena target orangnya sudah melihat.
"Kesindir nggak ya, dia?" gumam Monika.
"Nya?" panggil Nenih dan masih menebarkan senyuman yang ingin dibayar itu.
"Ada apalagi, Nenih?" tanya Monika kesal, "sana ah pergi, saya ingin menikmati waktu sendiri." Monika masih tersenyum-senyum melihat layar handphone-nya.
Nenih memainkan jari jemarinya sambil menatap Monika penuh pengharapan tapi sedikit malu.
"Nya, apa untuk informasi kali ini akan ada tambahan untuk saya?" ucap Nenih, "kan hari ini Nyonya seneng banget. Ningkatin mood, kan?" Nenih mengerlingkan matanya. Penuh rayuan.
Monika yang tadinya tersenyum-senyum pun mulai menampakkan muka judesnya, dia melirik Nenih dengan sinis.
"Ngomong apa? Coba ulang!" ucap Monika dengan nada datar, hatinya sebenarnya kesal karena Nenih selalu meminta jatah dengan informasi yang bahkan hanya sedikit.
Pembantu mata duitan ya gituh, segala cara mereka lakukan untuk bisa mendapatkan uang, pikir Monika.
"Bonus buat informasinya Nyonya." Nenih masih bisa tersenyum.
Kemudian, Monika melotot. Dia marah.
"Kamu ya! Duit duit duittt … mulu. Pergi sana! Informasi sedikit juga." Monika memalingkan wajahnya dan kembali ke layar handphone-nya.
"Ya … Nyonya, kan hari ini udah seneng gara-gara informas yang sudah saya berikan. Masa ngasih se –"
Monika berdiri dari duduknya dan memelototi Nenih.
"Pergi ke sana atau tidak?" Tunjuk Monika ke dalam rumah.
Nenih ketakutan, kalau Monika marah bisa-bisa gajihnya diturunin, kan enggak banget kalau gara-gara mood majikannya turun terus gajinya juga ikut turun.
"I-iya Nyonya, saya pergi," balas Nenih terbata-bata.
"Cepat pergi! Sebelum saya pukul kamu," ancam Monika dengan melepas sandalnya.
"Iya Nyo-Nyonya … sa-saya pergi." Nenih ketakutan, dia pun lari terbirit-birit dengan ekspresi ketakutannya yang lucu.
"Hushhh, minta disiksa tuh si Nenih. Ngaco, dikit-dikit diduitin," dengus Monika dan kembali memakai sandalnya sambil masih melihat layar handphone dan kemudian duduk kembali.
***
Teman-teman Miftah sudah berganti baju dan pergi ke kelas. Hanya tinggal dua orang yang setia menanti ketuanya datang.
Rangga dan Adji sedang duduk dan menatap Miftah yang datang sambil tersenyum-senyum.
"Lihat, Bro! Si Miftah lagi kasmaran tuh." Tunjuk Rangga pada Adji sambil menepuk bahunya.
"Gila tuh si Miftah, dia bener mau ngincer si Asih?" Adji juga menatap Miftah heran.
"Eh, kenapa kalian belum ke kelas?" tanya Miftah sambil membuka lokernya.
Rangga dan Adji tersenyum menyindir. Miftah membuka seragam olahraganya dan mulai menggantinya dengan seragam sekolah.
"Yang lagi kasmaran emang beda ya, Ga?" ucap Adji meminta pembenaran dari temannya—Angga.
"Heem, bedalah pokoknya. Banyak gadis yang antre ternyata enggak dipilih Bro! Eh, kecantol sepupu musuhnya sendiri," tambah Angga.
Keduanya cekikikan melihat ekspresi Miftah yang salting. Tak lama dia mengganti baju, dan membenarkan rambutnya dengan tangan.
"Apaan … sih kalian? Ngawur deh," balas Miftah, "hayu ah ke kelas!" ajaknya sambil mengunci loker. Ketiganya kemudian pergi keluar ruangan itu.
Sambil berjalan bertiga, Angga menggelantung di leher kedua temannya, merangkul Miftah dan Adji. Ketiganya mengobrol santai sambil terus berjalan.
"Kebiasaan lo, berat gue," protes Adji pada Angga, "pegel-pegel nih, udah tanding dapat kejuaraan. Hahahaha." Adji kembali membahas pertandingan tadi.
"Huh lo, kan gue sambil ngerangkul si Miftah juga … jadi beban gue kalian berdua yang tanggung. Dirangkul kok berat sih." Angga membela dirinya sendiri.
Iya, ngerangkul teman sendiri emang enggak akan bikin mereka seperti nahan bebean berpuluh-puluh kilo, tapi rangkulan Angga itu sengaja membuat Adji dan Miftah menahan tumpuan badannya sambil berjalan.
"Nggak nyadar body lo!" ejek Miftah.
Angga memang punya kiloan lebih besar di antara mereka, tapi dia tidak gendut … hanya lebih berisi saja.
"Eh ya Mif, lo serius sama si Asih? Emang lo mau saudaraaan sama si Bara?" tanya Adji.