Miftah canggung untuk menjawab video call itu, tapi kalau tidak diangkat kemungkinan Karin juga akan merasa diampakkan olehnya.
Miftah jadi ingat saat Karin bilang kalau dia lebih menyukai dirinya ketimbang Bara.
Miftah dulu memang menyukai Karin juga, tapi seiring berjalannya waktu dan dia juga tidak ingin bersaing dengan Bara –Miftah pun mengalah.
Tapi, saat Karin juga tidak adak komunikasi dengan Bara dan juga Miftah … semuanya perlahan juga berubah, Bara sudah pacaran dua kali sedangkan Miftah belum pacaran sama sekali.
Dia sangat fokus terhadap belajarnya, dia tidak ingin pacaran mengganggu pikirannya. Lagipula menurut Miftah tidak ada guna juga dia pacaran, toh masih anak sekolah.
Namun, saat melihat Asih semuanya terasa beda. Di tengah Miftah pun sudah di penghujung SMA.
Enggak ada salahnya kalau dia sudah mulai mendekati seorang perempuan, Asih terlihat lugu, cantiknya yang Ayu, meskipun titik tolaknya adalah Bara.
Mungkin akan banyak rintangan ke depan, pikirnya. Tapi Miftah percaya kalau Asih tidak seperti Bara.
Miftah masih melihat panggilan video call dari Karin sebelum dia benar-benar mengangkatnya.
Dikliknya icon gambar telepon berwarna hijau, dan langsung terlihat wajah seorang perempuan yang sangat cantik dan kecantikkannya tidak pernah pudar.
Senyum Miftah pun mengambang dengan sempurna, rasanya ia ingin sekali menangis melihat wajah Karin yang juga tersenyum padanya.
Ada keajaiban, Karin tidak sedang berbaring di rumah sakit. Dia juga memakai baju bunga-bunga yang indah, sangat lucu sekali.
Dia juga tampil berbeda, lebih dewasa. Tidak ada poni lucu yang biasanya selalu disisir rapi olehnya.
Jika Miftah merusak poninya, Karin akan menjerit-jerit karena kesal dan kemudian memukul bahu Miftah. Ia jadi kembali bernostalgia.
"Hai, Miftah!" ucap Karin di tempat jauh sana.
Miftah hampir tidak bisa berkata apa pun, seketika air matanya pun turun.
"Miftah, kamu rindu aku enggak?" tanya Karin cengengesan.
Miftah pun semakin tersenyum lebar, perasaan di hatinya pun sekarang juga seakan kembali lagi. Perasaan yang sudah terkubur sangat lama sekali.
Apakah Miftah akan kembali menyuka Karin? Ah, Miftah rasa tidak mungkin. Ini hanya rasa yang timbul karena Miftah sangat merindukannya.
"Pastilah, mana mungkin aku enggak merindukan sahabatku ini?" Miftah kemudian menaruh handphonenya di meja sambil disandarkan ke komputernya.
Tangan Miftah bersidekap dan yang satunya menopang dagu sambil memandangi wajah Karin. Anehnya, rambut perempuan itu sama sekali tidak botak.
Mungkin hanya menipis sedikit, Miftah rasa karena orang tua Karin cepat menangani penyakit anaknya. Jadi, Karin sedikitnya pun tertolong.
Gelontoran dana yang sudah keluar untuk pengobatan Karin pun tidak seberapa, sangatlah banyak sekali.
Beruntungnya, Karin terlahir dari anak orang kaya, jadi masalah uang bukan apa-apa bagi orang tuanya –yang terpenting adalah kesembuhan anak bungsu mereka.
Raut wajah Karin berubah. "Sahabat, ya?" tanyanya.
Miftah bingung. "Kamu emang enggak mau jadi sahabat aku lagi? mentang-mentang udah lama di singapur jadi ogah temenan sama orang Indonesia, gituh?" Miftah tersenyum.
Karin pun tertawa, "hahaha, enggak bukan gituh."
"Iya, enggak usah dibahas. Aku seneng bisa lihat kamu lagi, bener-bener sibuk ya di singapura? Sampe sekarang baru ngontek."
"Hhehe, iya aku sibuk. Sibuk ngurusin kesehatan aku, tahu enggak Mif?"
"Apa?"
"Tiap hari aku mikirin kamu sama Bara, pengen deh ketemu kalian. Kadang aku berpikir, aku mungkin enggak bisa ketemu kalian lagi sampai aku mati di sini." Karin tersenyum getir.
"Susssttt! Jangan ngomong gituh, aku enggak suka." Telunjuk Miftah dia tempelkan ke layar handphone, tepat di bibir Karin, "aku percaya kamu pasti akan sembuh. Jadi kapan pulang ke Indonesia?" tanya Miftah.
"Tebak, kapan?" Karin bertanya balik.
"Ya aku enggak tahulah Karin, kapan pun kamu pulang , awas ya kalau enggak bilang-bilang dulu ke aku."
"Kalau udah bilang emang kamu mau kasih aku kado? Mau nyambut aku pake red karpet gituh?" Karin tertawa di ujungnya.
Miftah menggelengkan kepala, dengan senyumnya yang masih mengembang.
"Enggak, aku enggak akan beri kamu apa-apa."
"Ah, payah …." Karin cemberut.
"Tapi aku ingin menjadi orang yang bisa menjemput kamu di bandara," jawab Miftah tulus.
Karin pun terdiam, senyuman malu pun terpancar dari wajahnya –sampai seorang perempuan yang cukup berumur mengganggu pembicaraan mereka.
"Tante!" panggil Miftah padanya. Miftah terkejut sekali, melihat ibunya Karian yang datang sekonyong-konyong dan menohok ke kamera.
Dia sengaja, karena memang begitulah ibu Karin. Dia selalu menggoda Miftah dengan cara apa pun.
"Hai, Mif! Kamu apa kabar? Siap dikunjungi kami berdua nggak?" katanya sambil memeluk Karin.
"Siap dong Tan, kapan Tante ke sini? Si Mama udah rindu katanya, pengen shopping bareng."
"Hahaha, iya salam untuk keluarga kamu. Ayah sama Mama kamu mana? Coba Tante pingin ngobrol."
"Oh iya, sebentar Tan. Miftah panggilin dulu Mama, soalnya Ayah enggak ada."
"Iya, enggak apa," balas ibunya Karin.
Miftah pun beranjak dari kursi, dan keluar kamar untuk memanggil ibunya.
***
PLAKKK!
Tamparan keras dari Jajaka Purwa yang dilayangkan pada anaknya—Bara. Asih kemudian menahan tangan suaminya itu untuk mendaratkan tamparan yang ke sekiannya.
"Jangan, Tuan!" cegah Asih sambil menangis, dia tidak kuasa melihat Bara ditampar dan bahkan kerah baju seragamnya ditarik oleh Jajaka Purwa.
Asih tahu kalau Bara tidak sengaja melakukan itu.
Tiba-tiba Kirani dan Monika datang setelah mendengar keributan.
"Bara!" teriak Kirani sambil meraba-raba wajah anaknya yang sudah luka lebam akibat pukulan dan tamparan bertubi-tubi dari ayahnya sendiri, "suamiku, ada apa? Kenapa Bara disiksa seperti ini?" tanya Kirani.
"Lihat!" tunjuk Jajaka Purwa pada wajah Asih.
Asih hanya menunduk dan tak berani menatap wajah Kirani yang sekarang tampak begitu cemas pada Bara. Bara pun sedari tadi hanya diam saja tanpa pembelaan terhadap dirinya sendiri atau apa pun itu.
Monika pun tercengang melihat wajah Asih yang bonyok, tapi dalam hatinya dia tertawa puas.
Wajah Asih yang cantik berubah menjadi sedikit buruk rupa karena bengkak dan warna keunguan yang tampak, pikirnya –dan itu pasti juga akan membuat Jajaka Purwa tidak suka memandang Asih, makanya dia semarah itu pada Bara.
"Ajari anakmu itu, berkelahi saja kerjaannya." Jajaka Purwa pun pergi sambil merangkul Asih. "Ayo, Asih!"
Asih menengok ke belakang, Bara pun melihat tatapan penuh rasa iba itu. Bara nampak bersalah sekali, tapi Asih juga tidak tega melihatnya.
Meski tadi keduanya bertengkar seperti kucing dan anjing, tetap saja Asih tidak menyalahkan Bara. Bara tidak berniat sama sekali memukul dirinya.
"Bara, kenapa Sayang? Hem? Ada apa? Ayo cerita ke Mama!" ucap Kirani sambil mengelus-elus puncak kepala Bara dan menyibak rambutnya.
"Bara tadi berkelahi Ma," jawab Bara.
Kirani langsung terkejut sambil menutup mulutnya dengan tangan.
"Terus pukulan Bara melenceng ke si Asih karena dia so jadi pahlawan ngehalang-halangi Bara jadi Bara di skors selama seminggu, dan orang tua disuruh datang ke sana besok," tambah Bara lagi.
Dia bahkan tidak menatap Kirani karena malu. Ingin sekali Kirani juga menampar Bara karena anaknya terlalu ceroboh, tapi dia tidak tega.
Sudah cukup hukuman yang diberikan ayahnya pada Bara tadi.