"Kamu tahu dari mana, Asih?" Fira mengernyitkan dahi, dan dia pun teringat.
Siapa lagi yang akan membocorkan rahasianya kecuali Hasan? Seketika bahu Hasan langsung Fira pukul.
"Kamu yang cerita, ya?" tuding Fira.
Hasan langsung melepas tutup kepala jaketnya.
Matanya membulat.
"Bukan, kapan aku cerita sama Asih? Kita kan selalu berdua ke mana-mana juga, kan?"
Melihat keduanya bertengkar seperti sepasang kekasih, Asih pun tertawa.
"Bukan kok, aku tahu dari Tobi. Bener kata Hasan, kalian kan selalu bersama, jadi kapan aku ngobrol berdua sama Hasan?" Tatapan Asih terlihat jahil penuh godaan dan juga sindiran halus.
Hasan sangat setuju.
"Tuh, betul itu. Eh iya Asih, mana nomor kamu? Kita buat grup whatsaap, mau?" Hasan menawari.
"Boleh," balas Asih.
Hasan langsung meminta nomor telepon Asih dan memberikan handphonenya untuk Asih ketikkan deret nomor berisi sebelas nomor itu.
"Nih, udah." Asih pun memberikan handphonenya pada pemiliknya setelah nomornya disimpan di sana.
"Oh, aku kira," ucap Fira datar, seperti tidak bersemangat.
Asih dan Hasan tidak sadar kalau Fira cemburu melihat kedekatan mereka berdua. Tapi, Fira kemudian menjawab pertanyaan Asih.
"Iya, aku ikut silat, di salah satu perguruan tak jauh dari rumah. Pemilik perguruan itu teman almarhum Ayah, dia sangat baik dan akibat belajar bela diri aku pun jadi berani melawan Bella dan teman-temannya. Walaupun akhirnya tetap sama, menjadi terasing sampai lulus sekolah."
Asih menatap Fira iba, Hasan pun begitu. Meskipun Hasan sudah tahu, tapi tetap saja rasa ibanya juga ada.
Tapi sekarang, rasa iba Hasan juga diselingi dengan kebanggan pada Fira. Dia sudah bukan lagi jadi tukang antar jajan teman-temannya, sudah tidak ada lagi orang yang menunjuk-nunjuk Fira karena takut dipukul oleh tangannya yang setajam pisau itu.
Pukulan tangan Fira bisa sebanding dengan pukulan lelaki yang jago berkelahi. Tapi hal itu sebenarnya tidak mempengaruhi Bara, hanya saja Bara memang tidak ingin mengganggu Fira kalau bukan karena Bella.
Urusan teman-temannya yang memperlakukan Fira semau mereka dulu, itu bukan urusan Bara.
Dia juga tidak memerintah mereka, jadi … Bara tidak lagi menyuruh-nyuruh Fira karena dia sudah putus dengan Bella. Kalau teman-temannya yang lain lebih ke sudah insaf saja.
"Bagus, tingkatkan ya," ucap Asih menyemangati, dia memegang tangan Fira dan tersenyum.
Hasan tiba-tiba punya ide bagus. "Eh, gimana kalau kita kapan-kapan juga lihat Fira ngelatih murid-muridnya?"
"Boleh." Fira bersemangat.
Bukan karena Fira sombong, tapi kapan lagi ada teman sekolah yang berkunjung? Ini itung-itung juga bisa menjadi ajang pamer ke ibunya Fira.
Ibu Fira kadang juga aneh pada anaknya yang tidak pernah membawa temannya ke rumah.
Anak perempuan biasanya kan ajak teman-temannya ke rumah, bikin sbelak, Jajan. Bahkan bisa hanya main-main saja dan lari pagi di hari minggu.
Fira? Sama sekali jarang terdengar siapa teman dekatnya, Fira juga jarang sekali menceritakan teman-temannya terkecuali hanya Hasan seorang yang sudah dicurigai oleh ibunya Fira kalau Hasan adalah pacarnya.
Lelaki yang cukup manis dengan kantong mata hitam karena banyak bergadang itu, kalau dia tenar saja di sekolah, Bara pun kalah saing.
Bisa saja mereka setara, sama-sama pintar, ganteng tapi beda warna kulit karena Bara lebih putih, dan mungkin hanya perbedaan harta saja.
Bara lebih kaya berkali-kali lipat dari Hasan. Tidak ada tandingan. Apalagi perempuan zaman sekarang pastinya malu kalau punya cowok yang hanya punya motor butut.
Sebaik, setampan dan sepintar Hasan, pastinya lebih baik memilih Tobi yang putih, kaya, punya motor besar meskipun tingkahnya nyeleneh dan wajahnya pas-pasan. Kantong tebal lebih dilirik sih.
"Gimana Asih? Hari ini bisa?" Hasan kembali bertanya.
Tapi, reaksi Asih tidak seperti kedua temannya. Asih hanya diam dengan sekelawut pikiran.
Bagaimana Asih bisa berkunjung? Gerak geriknya pun diawasi, Asih sekarang juga menoleh ke lapangan dan pas-pasan mata Bara menyorot sekilas padanya.
Pertandingan di lapangan masih rame, tapi Asih, Hasan dan Fira lebih seru mengobrol dengan topik pembicaraan yang berbeda, ketika topik pembicaraan semua orang hanya tentang siapa yang akan kalah dan siapa yang akan menang dari pertandingan basket antar kelas itu.
"Asih?" tanya Fira, kali ini Fira benar-benar ingin Asih ikut.
Dia sudah tulus menganggap Asih sebagai temannya walaupun adanya Asih, membuat Fira tidak enak karena Fira merasa Hasan menyukainya. Menyukai teman baru mereka.
"Hah?" Asih kaget.
"Gimana? Bisanya kapan?" tanya Fira mewakili Hasan.
"Engga apa, masalah pulang nanti aku antar kamu sampai ke rumah." Hasan terlihat antusias.
Fira pun menoleh, melihat wajah lelaki yang berada di samping kanannya dan menatap Asih yang berada di samping kiri Fira.
Keduanya saling berhadapan, dan Fira seperti jadi orang ketiga di antara keduanya. Tapi Fira tetap husnudzon, dia tidak ingin menduga-duga. Wajarkan kalau Hasan ramah ke teman baru mereka? Tidak ada yang salah.
"Bukan soal diantar pulang, tapi …."
"Tapi apa?" Fira dan Hasan serempak.
Asih pun jadi tertawa. "Haha, kalian serasi deh."
Hasan dan Fira pun jadi malu, keduanya mesem-mesem.
"Habisnya, kamu tapi, tapi. Tapi apa?" Fira kembali bertanya.
"Maaf aku enggak bisa ya, mungkin lain kali." Asih menolak. Seketika raut wajah Hasan tidak tampak senang.
"Ya …." Fira lesu. "Jadi bisanya kapan?"
"Aku enggak tahu, mungkin nanti-nanti aja."
Di tengah pembicaraan mereka, tiba-tiba sorak sorai kembali terdengar. Lebih seru dengan jeritan anak IPA mendominasi.
Asih, Hasan dan Fira terkejut dan kembali melihat ke lapangan. Dilihatnya teman sekelas mereka yang jadi supporter di samping, terlihat kecewa. Jangan-jangan?
Di lapangan pun Miftah dan teman-temannya melakukan selebrasi kemenangan, mereka membuka baju mereka dan memutar-mutar nya ke udara, sebagain yang lainnya hanya saling tos saja.
Miftah juga melirik Asih sambil tersenyum. Bella yang tahu kalau senyuman itu dilayangkan pada Asih, dia langsung menatap Asih.
Pas ketika Asih juga melihat pada Miftah dan membalas senyumnya.
"Kenapa ini? Kenapa si Asih justru terlihat memihak Miftah?" gumam Bella curiga, tapi gumaman kecilnya tidak terdengar oleh temna-temannya yang sedang menjerit-jerit kecewa.
Waktu olahraga juga sebentar lagi selesai, pak Soni menyudahi pelajarannya setelah semua pemain saling bersalaman kembali, sepertinya dia juga menasehati para pemain.
Tapi, kemarahan Bara sangat terlihat. Asih takut kalau Bara kembali bersitegang karena kekalahannya oleh Miftah.
Karena asik mengobrol, Asih, Hasan dan Fira bahkan tidak tahu bagaimana tadi serunya permainan. Kenapa Bara bisa kalah jauh? Terdengar, skor tim Bara sangat jauh tertinggal.
Tidak seperti biasanya, kadang mereka hanya selisih sedikit dan itu pun seringkali tim Bara yang menang. Hasan curiga, apa terjadi sesuatu tadi di lapang?
"Si Bara enggak lagi banyak masalahkan, Asih?" celetuk Hasan.
Asih terkejut. Masalah? Yang ada hanya hukuman mati yang Asih lihat kemarin. Setahu Asih, Bara tidak akan pernah peduli dengan hukuman yang dijatuhkan ayahnya pada selir yang sudah selingkuh itu.
Jadi, Asih kira itu bukan sebuah masalah menurut Bara. Saat ini yang banyak pikiran justru Asih, bukan Bara.
"Aku enggak tahu," balas Asih jujur.
"Mungkin karena Bara dan Alfred digabung, tahu kan? Mereka emang bersiteru terus." Fira menduga-duga saja.
"Bisa jadi," balas Hasan.