Asih memang sudah tahu, penyebab Bara dan Alfred tidak akrab. Alasannya adalah karena konflik pribadi.
Tapi apa karena itu? Kurang solid mungkin? Ah, lagi pula itu bukan urusan Asih.
Asih tidak ingin tahu juga, Asih pastinya kasihan kalau tim Bara yang juga berarti tim kelas mereka kalah.
Tapi bukannya pertandingan memang harus ada pemenangnya ya? Tim yang kalah harus terima dan jangan mendendam.
Namun, yang Asih lihat sekarang … Bara dan teman-temanya sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Ada rasa kecewa dan juga amarah yang terlihat.
Perlahan, satu persatu orang mulai meninggalkan lapangan dan kursi penonton untuk kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran.
"Aku, ke toilet dulu ya." Asih meminta izin pada Fira dan Hasan.
Keduanya pun mengangguk dan mereka memilih jalan yang berbeda karena beda tujuan. Asih belok ke toilet yang lumayan cukup jauh dari lokasinya sekarang.
Asih ingin pipis dulu, dia tidak bisa menahannya sampai pulang sekolah.
Tap!
Tap!
Tap!
Suara derap langkah di belakang Asih terdengar, jalanan yang dilalui Asih cukup sepi sekarang karena orang-orang sudah masuk ke kelas.
Para pemain juga paling berganti baju ke ruang ganti dan mengambil baju di loker mereka. Mungkin seseorang di belakang Asih juga mau ke toilet.
Asih tidak ingin menengok, takutnya orangnya juga malu atau mungkin Asih yang nanti jadi malu.
Tapi, anehnya dia memanggil Asih.
"Asih!"
Asih menoleh jangan ya? Asih takut kalau itu hanya ilusinya saja, karena jalanan sepi dan yang namanya toilet kadang kalau sedang tidak ramai pastinya sedikit horror.
"Asih!" panggil seseorang itu lagi.
Seperti suara laki-laki. Mustahil dia ingin mengikuti Asih ke toilet perempuan, kan?
Asih pun menoleh, lelaki itu berjalan begitu cepat mendekatinya dan terlihat tampak cape dan napasnya terhengos-hengos.
"Miftah?" Asih terkejut. Miftah seperti mengejar-ngejarnya sudah dari tadi.
"Tunggu!" MIftah sekarang berada di depannya, dia masih memakai baju olahraga. "Kamu berjalan cepet banget sih, hehe."
"Maaf, aku tadi nggak terlalu jelas dengar kamu panggil-panggil aku." Asih nampak bersalah, tak enak hati sudah membuat Miftah mengejar-ngejarnya. "Emang ada perlu apa, ya?" Asih bertanya.
Miftah masih tersenyum-senyum padanya. Seperti malu-malu gituh, Miftah dengan napas terhengos-hengosnya masih tersenyum-senyum enggak jelas.
"Apa aku boleh minta nomor handphone kamu?" Miftah memberanikan diri dan menyodorkan handphonenya.
Asih ragu, apakah dia harus memberikan nomor handphonenya pada seorang lelaki? Apakah ini persleingkuhan? Asih sudah punya suami.
Tapi tidak salahkan jika punya teman seorang lelaki? Akhirnya Asih pun memberikan nomor handphonenya pada Miftah.
Dia mengambil handphone Miftah dan menuliskan nomor handphonenya.
"Sudah."
"Terima kasih Asih." Miftah mengambil kembali handphonenya dan tersenyum dengan lebar. Asih saja terhipnotis dengan senyuman manis yang begitu tampan itu.
'Astagfirullah Asih, kamu enggak boleh gituh. Ingat Dandi,' gumam Asih dalam hati.
"Mmm, kalau gituh aku mau ke toilet." Asih menunjuk toilet perempuan di belakangnya.
"O, iya iya. Sekali lagi makasih ya."
Asih pun mengangguk dan pamit pergi ke toilet.
Miftah masih memperhatikannya sampai Asih benar-benar masuk ke dalam toilet.
Miftah kembali melihat nomor yang sudah tersimpan di kontak teleponnya. Dengan ekspresi bahagia, merasa sukses akan keberhasilan double-nya –Miftah tersenyum dan pergi dari sana untuk kemudian berniat mengganti bajunya di loker.
Teman-temannya mungkin sudah kembali memakai seragam sekolah dan pergi menuju kelas.
***
Jajaka Purwa sedang duduk di ruangannya, melamun sambil merokok dan sudah meminum beberapa minuman yang memabukkan.
Dia menunggu Asih pulang dari sekolah, rasanya dia sangat merindukan Asih yang berwajah lugu dan bisa dia perlakukan seenaknya.
Asih selalu menurut meskipun wajahnya yang ketakutan sangat bisa dilihat jelas oleh Jajaka Purwa. Tapi jajaka Purwa tak peduli, bagaimanapun juga dia sudah membeli Asih.
Fasilitias dan apa pun juga sudah dia berikan termasuk pendidikan gratis yang masih dijalani Asih, kurang apalagi? Jajaka Purwa berharap kalau Asih tidak akan menyusul pengkhianatan Famella.
Senyum Famella masih terngiang-ngiang, kadang suaranya seperti terdengar jelas di luar ruangan bahkan di samping telinga Jajaka Purwa.
Jajaka Purwa tersenyum sendiri, kemudian disusul tawa gilanya. Ya. Dia telah gila. Gila memikirkan Famella.
Tidak ada sama sekali rasa dosa atau takut karena telah membunuh orang, karena tidak akan ada yang berani melaporkan setiap kasus-kasusnya. Tidak ada.
TOK! TOK! TOK!
Suara ketukan pintu terdengar.
"Siapa lagi? Mengganggu saja." Jajaka Purwa tidak menggubris suara itu.
Tapi, seseorang di luar sana tidak ingin menyerah dan mengetuk kembali pintu.
TOK! TOK! TOK!
"Kurang ajar! Apa dia tidak tahu kalau aku sedang ingin sendirian?" Jajaka Purwa tersulut emosi.
Tapi karena dia penasaran siapa yang mengetuk pintu, akhirnya Jajaka Purwa memperbolehkan dia untuk masuk. "Masuk!"
Dalam hitungan 5 detik, seseorang itu membuka pintunya dan … betapa terkejutnya Jajaka Purwa karena orang yang dilihatnya sekarang itu adalah Asih.
Jajaka Purwa kemudian langsung berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati perempuan yang masih berdiri di ambang pintu.
"Asih," panggilnya dengan langkah cepat dan kemudian memegang kedua pundak Asih, "Cantikku!" Jajaka Purwa juga kemudian langsung memeluk Asih, kali ini tanpa ada perlawanan ataupun ketegangan.
Begitu nyaman dia memeluknya. Tapi, Asih kemudian berucap padanya.
Ucapan yang dapat membangunkan Jajaka Purwa dari ketidaksadarannya.
"Suamiku, ini aku Kirani. Bukan Asih. Asih belum pulang," ucap Kirani.
Jajaka Purwa kemudian melepas pelukannya dengan cukup kasar. Kirani pun tersentak karena Jajaka Purwa memelototinya.
"Ngapain kamu ke sini, Kirani? Kamu ganggu saya saja." Dia ketus dan kemudian pergi kembali ke kursinya.
Kirani memberanikan diri menguntit suaminya dari belakang.
"Suamiku, aku ke sini untuk menenangkan kamu. Apa ada yang harus kubantu? Atau mungkin kamu mau menghabiskan waktu denganku di kamar? Atau –"
"Aku ingin sendirian," sergahnya.
"Yakin?" Kirani masih mencoba.
Dia kemudian memegang kedua bahu suaminya dan menjalankan jurus pijitan lembut dan bisikkan merdu.
"Kamu bisa nikah lagi kok, agar istrimu masih tetap utuh berjumlah dua belas Sayang. Aku izinin kamu kok, daripada lihat kamu begini … aku jadi sedih. Aku tahu pastinya sakit kalau ada salah satu dari istrimu membangkang apalagi selingkuh," ucap Kirani menghasut.
Dia hanya ingin membuat suaminya lebih memihak pada dirinya. Seorang lelaki memang seringkali butuh dukungan, agar mereka merasa diistimewakan.
Jajaka Purwa masih mencerna ucapan Kirani. Ada persetujuan dari istri keduanya itu boleh juga, iya kan?
Tapi, dia masih berpikir berkali-kali untuk menikah karena Asih masih dikaguminya. Baru saja dia menikah belum sampai seminggu, sudah mau nikah lagi.
Kalau Asih tidak memuaskan mungkin bisa saja, tapi Asih masih bisa membuatnya ketagihan dan Jajaka Purwa pun belum menemukan incerannya yang baru.
Masih belum ada, mungkin nanti kalau ada juga pastinya bisa disegerakan.
"Pergilah! Sebelum aku juga menghabisimu," ucap Jajaka Purwa pada Kirani.
Kirani langsung tercengang, mana mungkin dia mau dibunuh seperti Famella? Membayangkannya saja sudah membuat kaki Kirani tidak bisa berjalan. Mengerikan sekali.