Asih kemudian menatapnya, membuat kecanggungan Bara memuncak.
Tatapan Asih kali ini berbeda, seperti orang yang kerasukan roh jahat dan tak ingin berbicara.
Dia diam sebelum menjawabnya.
Mobil mereka sudah masuk ke sekolah, akan menuju parkiran luas yang terhampar di samping dan di belakang sekolah.
Sekolah ini sangat elite dan bahkan ada basemant tempat parkir khusus kendaraan yang tidak ingin kepanasan.
Tapi, karena Bara masih ingin pamer, jadi dia memarkirkannya di luar.
"Ayah kamu, dia adalah Fir'aun zaman modern sekarang," ucap Asih serius dan kembali menatap ke depan.
CEKITTTTTTTTTTTTTTTTTTTT!
Mobil Bara mengerem mendadak.
Asih terkejut sampai tak bisa berkata-kata. Tapi lelaki di sampingnya--Bara lebih terkejut dan tawa besar pun terdengar.
Perut Bara geli sekali.
"Lo parah! Hahahah, lo bilang apa? Fir'aun modern? Wah wah, lo gila abis Asih. tapi gue suka."
Mobil mereka pun kembali melaju menuju tempat parkirnya.
Tapi Asih tidak bercanda, dia justru snagat serius dan lebih serius dengan keterkejutannya tadi karena Bara mengerem mendadak.
Asih kira dia menabrak sesuatu, tapi tidak ada yang dia tabrak. Bara hanya refleks.
Asih cemberut. "Aku tidak bercanda, aku serius."
"Jangan terlalu serius lo! Bisa-bisa lo gila hidup di rumah. Kakak gue Adrian juga hampir gila," cerocos Bara keceplosan.
"Apa?" Asih semakin terkejut mendengarnya.
"Enggak, lupain aja." Bara syok, tidak seharusnya dia membocorkan tentang kakaknya Adrian, hampir saja.
Kalau Adrian tahu pasti dia mengamuk. Kegugupan Bara itu disadari oleh Asih.
Asih masih melihatnya dengan banyak tuduhan, mata Asih seperti mendakwa Bara.
Sampai mereka keluar dari mobil pun, Asih masih memandangi Bara.
"Lo kenapa sih? Enggak ada apa-apa." Bara kesal, dia pun mempercepat langkahnya duluan.
"Yakin?" tanya Asih di belakang. Dia tidak mengikuti langkah Bara.
"Yakin, ayo cepet ke kelas!" jawab Bara sambil menengok ke belakang dan terus berjalan.
Asih pun membuntutinya dengan lemas. Di pikiran Asih beraneka praduga, bisa jadi Adrian juga pernah hampir dibunuh oleh ayahnya?
Atau juga beberapa yang lain tapi terselamatkan? Atau Adrian juga bisa saja mencoba bunuh diri? Asih mengingat kembali setiap perdebatan di meja makan.
Semua orang makan tampak tidak memperhatikan di sekelilingnya, berbeda dengan keluarga Asih yang di setiap makan selalu ada tawa.
Ini? Datar semua … dan sesekali Adrian dan Bara terlibat adu mulut dengan Monika. Adu mulut yang begitu tajam.
***
Hari ini, Adrian tidak ke kampus karena tidak ada jadwal kuliah. Toh memang dia sudah beres skripsi, tinggal wisuda saja.
Ada beberapa teman Adrian yang memang masih sibuk di perkuliahan, hanya beberapa saja.
Mempunyai otak cemerlang dan banyak uang, menjadikan Adrian seharusnya hidup senang dan lancar-lancar saja.
Jika masalah datang pun itu hanya pemanis kehidupan. Tapi tidak baginya, menjadi anak seorang Tuan tanah--Jajaka Purwa tidaklah membuat Adrian bahagia.
Hari ini juga entah mengapa dia tidak mood untuk sekadar bermain game, nonton televisi, youtube apalagi.
Adrian sedang berputar-putar di kursinya dengan lamunan yang sangat sudah jauh, disusul teriakan pun sepertinya tidak akan terdengarnya
Sedari tadi bayangan perempuan yang tidur semalam dengan dirinya masih terbayang. Perempuan lugu, yang Adrian kira dia terpaksa menjadi seorang pelacur.
Terlihat dari pelayanan yang dia berikan pada Adrian. Mahir, tapi ada keraguan yang terpancar dari matanya.
Adrian rasa dia baru saja lolos dari pelatihan menggaet pelanggan. Adrian tidak tahu pasti, tapi dia memang berhasil membuat Adrian mabuk kepayang untuk pertama kalinya.
Namun, seolah perempuan itu sedang dirundung banyak pikiran. Sesudah mereka bercumbu, perempuan itu terlihat melamun dan memakai bajunya perlahan.
Terlihat seperti hidup segan mati tak mau, penuh kebimbangan. Saat Adrian tanya, dia terlihat terkejut. Jelas berarti dia sedang melamun sembari dibaju.
"Andara? Apakah ada Sesuatu?" tanya Adrian saat itu.
Adrian bukan orang yang peduli dengan masalah orang lain, tapi kemarin malam sangatlah berbeda. Adrian sangat penasaran dengan perempuan itu.
Bahkan hari ini, Adrian sangat ingin bertemu dengannya. Namanya juga hampir serupa dengan Adrian. Adrian dan Andara.
Apakah ini kebetulan atau memang mereka sudah ditakdirkan untuk bersama? Adrian sampai berpikiran seperti itu.
Jatuh cinta pada pelacur? Di saat pertama kali bermalam dan juga pertama kali bertemu? Adrian bahkan tidak ingin kalau Andara melayani orang lain, ya … dia harus mencegah Andara melayani lelaki lain. Tidak boleh.
Adrian pun berinisiatif menghubunginya. Mengajak ketemuan? Bisa saja, apakah ini rindu? Adrian tidak tahu rasanya, tapi perasaan ini sungguh berbeda.
Adrian memang pernah dekat dengan seorang perempuan, tapi tidak semenggebu ini. Apakah alasannya karena Adrian sudah menyentuhnya? Bukan! Rasanya bukan itu alasannya.
Apakah karena Andara cantik? Ya, itu bisa termasuk ke dalam point alasan. Tapi, perasaan di dada Adrian lebih dari memandang fisik perempuan itu.
Kecantikan Andara mirip dengan Asih, polos dan murni. Bibir Andara sedikit tebal, dan jika tersenyum gigi kelincinya sangat manis.
Matanya buat, hidungnya mancung tapi bulat di ujung. Kalau dipakaikan kerudung, dia mirip anak-anak kecil keturunan Turkey.
Begitulah wajahnya. Sebelumnya, Adrian tidak pernah berhubungan dengan orang lain selain Andara.
Adrian tidak berpengalaman soal itu, tapi yang anehnya kemarin malam Andara seperti kesakitan dan bahkan ada bercak darah setelahnya.
Kecurigaan Adrian semakin besar, bisa jadi kemarin malam adalah hari pertamanya Andara menjerumuskan diri.
Bukan begitu? Katanya, orang yang masih perawan akan mengeluarkan darah keperawanannya saat berhubungan karena ada bagian yang robek Adrian tahu itu dari teman-teman lelakinya, termasuk dari Fiki—teman kampusnya yang sudah mengajak Adrian semalam.
Adrian pun segera menghubungi Andara. Dia menelponnya. Tak butuh waktu lama, perempuan itu mengangkat telepon dari Adrian –terdengar suara lembutnya keluar, begitu menentramkan hati Adrian.
Adrian juga jadi salah tingkah, hatinya berdetak kencang tak terkontrol. Hanya mendengar suara perempuan itu saja, Adrian sudah senang dan tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.
"Ka-kamu sedang apa, Andara?" tanya Adrian pelan.
"Apa, apa Tuan?" Andara tidak cukup bisa mendengarnya. "Maaf, saya lagi di sisi jalan jadi suaranya tidak terdengar jelas."
Adrian pun menelan salivanya lebih dulu, agar dia tidak gerogi. Dia pun membuang serak batuknya ke samping dan siap kembali berkomunikasi dengan Andara.
"Tuan?" Andara kembali bertanya.
"Kutanya kamu sedang apa? Kenapa di sisi jalan? Mau ke mana?" Adrian sangat penasaran. Jangan-jangan Andara akan menemui kliennya. Itu gawat sekali, Adrian tidak menginginkan itu.
"Saya …." Terdengar suara Andara sedikit ragu.
"Andara? Kamu tidak sedang ingin bertransaksi kan?" tanya Adrian jujur sekali.
Terdengar Andara tertawa kecil.
"Tidak Tuan Adrian, saya hanya ingin ke rumah sakit. Tuan ada perlu apa?"
Rumah sakit? Siapa yang sakit? Apa Andara mau periksa kandungan bekas hubungannya dengan Adrian semalam? Ahhh, Adrian tidak tahu apa-apa soal itu.
"Kamu hamil?" tanya Adrian polos. Andara di ujung sana kembali tertawa lagi.
"Kalau saya hamil, saya tidak akan melayani Tuan semalam."
"Lalu?" Adrian resah dan gelisah, duduknya pun gilir sana gilir sini. Dia tak tenang.
"Saya hanya mengunjungi ibu saya yang sedang dirawat di rumah sakit, Tuan."
"Sakit apa?" Adrian khawatir.