Alice mulai mengompres pipi Avery. Membersihkan sisa darah yang berada di sudut bibir Avery.
Avery selalu diam saja jika lukanya sedang dibersihkan. Bagi Avery, luka-luka yang ada pada tubuhnya tidak sebanding dengan sakitnya hidup setiap hari. Bahkan lelaki itu tidak meringis kesakitan sama sekali ketika Alice menekankan kain basah tersebut.
Alice bertanya, "Apakah tidak sakit, pangeran?"
"Tidak. Luka yang ada di tubuhku tidak sebanding dengan semua hal yang terjadi setiap hari. Pukulan Raja Eden sudah menjadi makanan malamku."
Alice ingin menangis mendengar perkataan Avery tersebut. Karena ia hampir setiap hari membantu Avery menyembuhkan luka. Dan ketika luka Avery sudah sembuh, Raja Eden menyuruh Avery untuk menemui Ariadne lagi. Hal itu sangat dibenci oleh Avery. Apa sebaiknya Avery jujur saja pada Ariadne? Tapi apa Ariadne akan menolongnya? Yang ada hal tersebut akan memicu adanya perang antar kerajaan.
"Aku memang hanya bertugas untuk membersihkan dan mengompres lukamu, pangeran. Namun, rasanya aku juga ikut merasakan perih." Ucap Alice yang merasa sedih.
Avery tersenyum tipis. "Wajar kalau kau seperti itu. Kau perempuan, hatimu mudah terbawa perasaan. Tapi aku berterima kasih, kau sangat sabar membantuku. Apalagi kau harus terbangun tengah malam seperti ini hanya untuk mengompres lukaku."
"Tidak apa-apa, pangeran. Ini sudah tugasku. Ibuku juga sudah menyetujui permintaan Ratu Berenice mengenai ini. Karena hanya aku yang tahu jalan aman menuju ke sini."
"Memangnya kau lewat jalan mana?" Tanya Avery yang merasa penasaran. Karena penjagaan sangat ketat, akan sulit melewati para penjaga. Apalagi kamar Alice yang berbaur dengan kamar-kamar para pelayan kerajaan yang lainnya. Di mana pintu menuju kamar-kamar pelayan itu pasti ada prajurit.
"Kamar para pelayan berada di dekat dapur kerajaan. Aku selalu menuju ke ujung lorong kamar para pelayan. Di sana ada pintu kecil. Kalau pintu tersebut dibuka, akan tertuju pada tempat sempit dibalik lemari makanan yang berada di dapur. Celah sempit itu tidak pernah ada yang mengawasi. Jadi, aku berjalan kemari melewati jalanan kecil seperti celah di antara gedung kerajaan." Ucap Alice menjelaskan.
Avery mengangguk paham. "Mengapa kau tidak pernah memakai alas kaki?"
"Karena akan menimbulkan bunyi. Telinga para pengawal sangat tajam. Jika aku tertangkap, aku tidak akan bisa bertemu ibuku di kamar lagi."
"Maafkan aku, sudah merepotkanmu seperti ini."
Alice terkekeh kecil. "Sudah kubilang tidak apa-apa, pangeran. Ini sudah menjadi tugasku."
"Mintalah sesuatu, akan aku kabulkan untukmu. Sebagai bentuk rasa terima kasihku padamu."
"Ah, tidak usah seperti itu. Aku hanya anak dari seorang pelayan kerajaan. Pangeran tidak perlu membalas sesuatu padaku."
Avery menggelengkan kepalanya. Menolak pernyataan Alice. "Ijinkan aku, apapun permintaan itu akan aku kabulkan. Kecuali menjadi seorang ratu di kerajaan ini." Ucapnya dengan tertawa geli.
Alice mau tak mau juga tertawa. Ia sudah sering melihat tawa Avery yang tidak pernah membosankan. Senyum Avery saja sangat manis bagi Alice, apalagi tawanya. "Kau cukup baik dalam bercanda, pangeran."
"Tentu saja."
"Bagimana dengan puteri Ariadne? Apakah kau akan menikahinya dalam waktu dekat ini? Maaf aku bertanya seperti ini."
"Tidak. Aku tidak akan menikahi Ariadne. Aku juga tidak akan merenggut kehormatan gadis itu. Rencana ayahku sangat jahat."
Alice menatap lurus kedua mata Avery. "Bagaimana jika Raja Eden sangat marah?"
"Aku tidak tahu. Namun aku yakin akan ada cara lain."
"Maafkan aku sudah bertanya seperti itu."
"Tidak usah meminta maaf. Kamu sudah seperti seorang sahabat yang baik bagiku."
Alice tersenyum senang. "Istirahatlah ketika aku sudah selesai mengompres lukamu, pangeran."
"Baiklah.."
Kemudian keduanya tidak lagi saling berbicara. Alice dengan cekatan segera menyelesaikan kegiatannya sampai air hangat di dalam wadah itu dingin.
Ada sekitar tiga puluh menit Alice baru bisa menyelesaikan kegiatan mengompres luka Avery. Luka-luka yang ada di kedua pipi dan sudut bibir Avery sudah lebih baik.
"Sudah selesai?" Tanya Avery pada Alice.
Alice mengangguk dengan sopan. Gadis itu membereskan kain lembut dan wadah berisi air untuk ia bawa bersamanya.
"Kau benar-benar tidak menginginkan sesuatu dariku?" Tanya Avery sekali lagi. Untuk memastikan tawarannya benar-benar diterima oleh Alice.
"Tidak. Aku tidak akan meminta sesuatu darimu, pangeran."
"Baiklah. Kalau begitu ijinkan aku mengantarkanmu."
Alice terkejut. "Mengantarkanku ke mana?"
"Kembali ke kamar ibumu. Bukannya kau akan kembali ke sana?"
"Iya. Tapi kau tidak perlu mengantarkanku, pangeran."
"Tidak. Kali ini aku memaksamu. Jika kau tidak mau, kita akan tetap seperti ini sampai pagi." Avery mengancam.
Mau tidak mau Alice akhirnya menganggukkan kepalanya. "Baiklah kalau itu kemauan pangeran. Tapi, kau hanya bisa mengantarkanku sampai di belakang gedung dapur kerajaan saja."
Avery langsung mengangguk. "Baiklah. Kau berjalan saja dulu, tunjukan jalannya padaku."
"Pangeran Avery yakin? Aku sangat takut jika pangeran nanti tidak bisa kembali."
Avery terkekeh geli. "Memangnya aku siapa hah? Aku seorang putra dari Raja Eden. Jika ada pengawal yang melihatku, mereka tidak akan berani menyentuhku."
Mendengar itu Alice jadi paham. Gadis itu mengangguk setuju dan akhirnya mulai berjalan lebih dulu.
Di depan ruangan kosong itu tidak ada pengawal sama sekali. Karena memang tidak ada yang tahu kekasaran Raja Eden terhadap putranya sendiri.
Malam itu sangat sepi. Avery mengikuti langkah kecil Alice yang berjalan mengendap-endap setiap kali melewati area yang ada pengawalnya. Avery mengikuti pergerakan Alice dengan sabar, bahkan lelaki itu juga tidak memakai alas kaki.
Mereka berdua melewati celah antar gedung. Jalanannya sedikit berlumpur akibat hujan. Avery jadi tahu alasan mengapa kaki Alice selalu kotor. Ternyara gadis itu melewati jalanan sempit ini.
Dan akhirnya, mereka berdua sudah sampai di belakang gedung dapur kerajaan. Alice membalikkan badannya menghadap pada Avery. Gadis itu membungkuk dengan hormat.
"Terima kasih banyak, pangeran. Sudah mengantarkanku sampai di sini. Apa kakimu tidak apa-apa? Tidak luka kan?"
Avery terkekeh kecil. "Aku seorang laki-laki. Tubuhku kuat. Jika kakiku luka ataupun kotor, pagi nanti akan ada para pelayan yang membersihkan seluruh tubuhku. Kau tenang saja."
"Baiklah. Sekali lagi aku berterima kasih."
"Iya. Sama-sama Alice. Masuklah."
"Tidak. Pangeran saja yang kembali lebih dulu. Aku akan berdiri di sini sampai Pangeran tidak terlihat lagi dari celah gedung."
Avery menggelengkan kepalanya. Menolak apa yang diinginkan Alice. "Jika aku meminta hal, maka turutilah saja. Sana masuk ke dalam dapur. Ini sudah pukul dua dini hari. Dua jam lagi para pelayan akan bangun."
"Ah, baiklah. Aku masuk." Ucap Alice dengan menundukkan kepalanya lagi.
Avery mengangguk dan tersenyum. Lelaki itu dengan sabar melihat Alice berjalan pelan sampai masuk ke dalam dapur melalui pintu belakang. Dan setelah pintu belakang tersebut tertutup, Avery langsung bergegas untuk kembali ke wilayah dalam istana.
***