Setelah semua makanan habis, Ariadne pamit kepada Charlotte. Perut mereka sama-sama kenyang karena menghabiskan ubi bakar. Ariadne dengan cepat langsung membawa pedang samurainya lagi.
"Waktu begitu cepat berlalu setiap kita bertemu, Ariadne. Kapan kau memintaku melatihmu lagi?" Charlotte bertanya.
"Mungkin dua minggu lagi. Sebenarnya aku ingin dilatih setiap hari, Charlotte. Namun tentu saja badanku tidak akan kuat terbangun tengah malam setiap hari."
Charlotte menggelengkan kepalanya. "Jangan lakukan hal itu. Setidaknya kesehatanmu lebih penting dari pada latihan ini. Apa kita harus mengubah jam latihan?"
"Itu tidak akan bisa. Banyak orang yang akan mengetahui ke mana diriku pergi."
Charlotte terlihat berpikir sejenak. Gadis itu berusaha membantu jalan keluar lain untuk Ariadne. Dan hanya dalam wakti beberapa menit, Charlotte menemukan sebuah ide. Gadis itu menjentikkan jemarinya dan berkata, "Bagaimana jika kita latihan di satu hari yang sudah ditentukan?"
Ariadne mengernyitkan dahinya. Ia belum paham apa yang dikatakan Charlotte. "Maksudmu apa Charlotte?"
"Mintalah satu hari saja di setiap minggu. Satu hari khusus di mana kau bisa bebas pergi ke mana saja tanpa pengawal."
Awalnya kedua mata Ariadne tampak melebar karena senang. Namun di detik berikutnya kedua matanya kembali sendu. "Elie tidak akan mungkin mengijinkanku." Ucapnya dengan mencemberutkan bibir.
Charlotte memegang kedua tangan Ariadne. "Setidaknya berusahalah meminta ijin dari kepercayaan Elie dan Darian. Mintalah satu kuda khusus untuk kau tunggangi ke sini. Jangan berjalan kaki lagi."
"Tapi Charlotte, Elie tidak akan memperbolehkanku pergi tanpa pengawal."
"Kumohon cobalah meminta ijin dulu, Ariadne. Ini semua demi kebaikanmu. Latihan saat tengah malam sampai dini hari hanya mampu beberapa jam saja. Dan aku tidak bisa melatihmu secara maksimal. Cahaya tidak terang."
Ariadne terdiam. Ia menatap Charlotte yang terlihat memohon kepadanya. Perkataan Charlotte memang benar, Ariadne tidak akan bisa berlatih dengan cara seperti ini terus-menerus. Latihan bela diri memang cocok dilakukan saat langit terang, bukan saat malam.
Tubuh Ariadne juga gampang merasa lelah setelah latihan malam. Saat pagi tubuhnya pasti akan merasa sangat pegal, apalagi harus dimandikan para pelayan yang memastikan kondisi seluruh kulitnya harus baik-baik saja.
Ariadne menghembuskan napasnya pelan. Kemudian memandangi Charlotte yang masih menatapnya lurus. "Baiklah Charlotte. Akan aku beritahu dua hari lagi. Setidaknya dua hari kubutuhkan untuk membujuk Elie. Setelah dua hari, suruh burung merpatimu menuju padaku."
Mendengar itu Charlotte langsung tersenyum lebar. Gadis itu langsung memeluk tubuh Ariadne dengan erat. "Kau memang yang terbaik, Ariadne. Aku yakin Elie akan mengijinkanmu."
"Hmm, kau begitu terlalu yakin Charlotte."
"Percayalah padaku, kita akan bebas latihan dalam satu hari setiap minggu."
Ariadne mengangguk. "Baiklah, saatnya aku kembali ke istanaku."
"Perlu kuantar?"
"Tidak perlu, Charlotte. Segeralah pulang untuk menemui ibu dan adikmu. Aku yakin mereka menunggumu pulang. Sampaikan salamku pada mereka ya."
"Baik, Ariadne. Berhati-hatilah di jalan pulang."
"Iya. Kau juga."
Setelah itu Ariadne mulai keluar dari tempat persembunyian mereka. Gadis itu kembali menyusuri lorong yang mirip seperti goa. Yang panjangnya sekitar sepuluh meter. Kemudian kembali menyibak tumbuhan menjalar yang seperti tirai. Dan langsung terpampang air terjun yang suara jatuhnya sangat deras.
Ariadne berhasil keluar dari sana. Ia sedikit mengawasi kondisi sekitar. Seperti berjaga-jaga kalau ada sesuatu yang mengagetkan atau membahayakannya.
Tanpa sepengetahuan Ariadne, Charlotte sudah berada di atas tebing atas air terjun. Gadis itu mengawasi Ariadne untuk memastikan bahwa Ariadne aman dan tidak ada yang mencelakai.
Ariadne berjalan dengan langkah kaki yang agak dipercepat. Hingga akhirnya ia sampai di rerumputan di depan istana. Gadis itu berjalan pelan dibalik rerumputan tinggi. Hingga akhirnya sampai di sisi istana yang dekat dengan pembuangan makanan dari dapur.
Ariadne langsung menaiki dinding bebatuan istananya. Gadis itu masih sangat lincah pergerakannya. Namun, sebenarnya kedua mata Ariadne sangat mengantuk. Ia merasa bahkan badannta mulai terasa pegal.
Suasana istana masih sangat sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik dan burung yang berkeliaran saat malam hari. Ariadne memanjat dinding bebatuan yang menuju ke dalam kamarnya di lantai atas.
BRUK!!!
Ariadne rasanya ingin mengumpat saja. Ia menjatuhkan tubuhnya dengan menimbulkan suara yang keras dari lantai balkon kamar. Padahal ia bermaksud melompat saja, namun ternyata suara dentuman kakinya lumayan terdengar keras.
Dengan pergerakan secepat kilat, Ariadne langsung mengganti pakaiannya dengan gaun tidur putihnya. Ariadne terburu-buru karena mendengar suara langkah kaki yang menuju ke kamarnya. Siapa yang menuju ke kamarnya di jam empat dini hari? Bukankah para pelayan akan memandikannya sekitar pukul lima pagi atau setengah enam pagi?
Baju serba hitam dan sepatu milik Ariadne langsung dimasukan sementara ke bawah kolong ranjang. Sprei ranjang Ariadne modelnya menjuntai sampai bawah, jadi bagian kolong ranjang tidak terlihat.
Klek!! Pintu kamar Ariadne dibuka oleh seseorang.
Ariadne langsung memposisikan tubuhnya berada di lantai dengan memegangi kepalanya. Seperti orang yang terjatuh dari tempat tidur.
"Puteri!!!" Darian sedikit berteriak. Lelaki itu agak panik melihat Ariadne yang meringis kesakitan dan terduduk di lantai. Lelaki itu segara membantu Ariadne berdiri dan Ariadne didudukkan di pinggir ranjang.
Darian bertanya. "Apakah kau baik-baik saja, puteri?"
Ariadne memijat kepalanya. Bagian pelipis kanan memerah seperti terkena benturan. Ya, tadi sebelum Darian masuk ke dalam kamar, Ariadne sengaja membenturkan pelipisnya sendiri pada pinggiran ranjang yang keras.
"Ah, tidak apa. Aku hanya terjatuh. Mengapa kau kemari?" Ariadne bertanya.
"Aku mendengar suara keras dari kamarmu. Kukira ada orang yang melompat dan berbuat jahat."
"Tidak. Tidak ada orang lain, Darian."
"Apakah bunyi tadi karena tubuhmu terjatuh dari ranjang? Apakah kau bermimpi buruk hingga bisa terjatuh dari ranjang, puteri?"
"Ah iya, diriku terjatuh dari ranjang. Aku tidak ingat aku sedang bermimpi apa. Kurasa aku seperti sedang berlari."
"Tapi tubuhmu ringan. Badanmu tidak terlalu berat. Tidak mungkin kau menciptakan suara keras seperti tadi hanya karena terjatuh dari ranjang." Ucap Darian menyangkal kebenaran.
"Ah, lupakan saja. Buktinya aku hanya terjatuh dari ranjang dan tidak ada siapapun yang melompat atau apapun itu yang ada di pikiranmu. Bantu aku mengobati lukaku." Ucap Ariadne dengan sengaja mengalihkan pembicaraan.
Darian mengangguk. Lelaki itu dengan sigap langsung membersihkan luka di pelipis kiri Ariadne. Luka itu tidak mengeluarkan darah, hanya sedikit memar saja. Darian hanya sedikit mengompres dengan air dingin.
"Apa kau tidak tidur, puteri? Kantung matamu sangat jelas dan agak menghitam."
"Benarkah?"
Darian mengangguk, lelaki itu sudah selesai mengompres sebentar luka di pelipis kiri Ariadne. "Tidurlah kembali, puteri."
"Aku sulit tidur. Tengah malam aku baru bisa tertidur dan bermimpi seperti sedang berlari kemudian aku terjatuh. Tidurku tidak berkualitas." Ucap Ariadne berbohong.
Darian tersenyum lembut. "Maka dari itu tidurlah kembali. Bangunlah lebih siang jika memang butuh tidur lebih lama. Aku akan memberitahu ibuku tentang hal ini."
"Kau yakin?"
"Iya. Tidurlah."
"Terima kasih Darian."
"Sama-sama puteri."
Dan setelah Darian pergi dari kamar Ariadne, Ariadne langsung bernapas lega. Gadis itu langsung menutup pintu balkon kamar dengan erat. Untung saja tadi Darian tidak melihat bahwa pintu balkon terbuka.
Ariadne menghembuskan napasnya dengan sangat lega sekali lagi. Ia langsung berbaring dan menyelimuti dirinya dari suhu yang terasa dingin. Kemudian ia langsung terlelap, memasuki alam mimpi yang tidak tahu apa isinya.
***