Darian yang masih berdiri di depan pintu kamar Ariadne itu menoleh pada Meghan yang berjalan mendekatinya. Meghan membawakan sebuah nampan lebar berisi tiga porsi makanan pagi yang baru saja matang. Perempuan itu terlihat keberatan membawa nampan, Darian membantu Meghan dengan mengambil alih nampan itu.
"Ah, kau baik sekali." Kata Meghan.
Darian tersenyum. "Apakah tiga porsi makanan ini untukku, untuk Jason, dan untuk Marlyn?"
Meghan mengangguk. "Ya, tentu saja. Mangkukmu yang berwarna hitam. Porsi nasinya kutambah sesuai permintaanmu."
"Wah, kau baik sekali Meghan. Terima kasih."
"Sama-sama. Selamat menikmati sarapanmu."
Meghan tersenyum pada Darian sebelum ia membalikkan badannya. Perempuan itu kembali lagi ke area dapur. Meghan memerintahkan semua pelayan dapur untuk segera membereskan semua peralatan makan yang kotor, dan membuang makanan sisa yang rasanya tidak enak.
Dengan cekatan, semua pelayan mengerjakannya dengan patuh. Hingga Meghan kembali menginterupsi agar semua pelayan langsung menyiapkan bahan masakan untuk menu makan siang.
"Makanlah tanpa nasi." Kata Elie sambil mencegah Darian menyuapkan nasi ke mulutnya sendiri.
Darian masih mengangakan mulutnya dan menatap Ibunya dengan keheranan. "Ada apa Bu?"
"Nasi akan membuat perutmu tidak nyaman. Makanlah beberapa roti dengan susu. Ibu akan mengambilkanmu buah-buahan." Ucap Elie dengan tegas.
Darian mendengus sebal melihat mangkuk hitam berisi nasi yang lembut itu dibawa pergi oleh Elie.
"Astaga sebenarnya ibuku mempunyai masalah apa? Padahal nasi itu terlihat enak." Ujar Darian dengan merengek seperti anak kecil.
Jason tertawa. "Sudahlah. Kau harus menuruti apa kata ibumu. Kau lelaki yang masih berusia muda. Jangan terlalu banyak makan nasi."
Marlyn juga ikutan tertawa. Mereka memang makan bertiga setiap hari. "Benar itu. Besok kau tidak usah makan nasi lagi, Darian." Kata Marlyn sambil tertawa geli.
Darian hanya mendengus saja mendengar ejekan Jason dan Marlyn. Usia Jason dan Marlyn memang lebih tua dari Darian. Bahkan Jason dan Marlyn sudah memiliki keluarga kecil. Darian memang tidak memiliki teman dekat seusianya di dalam kerajaan. Keseharian Darian hanya berbincang dengan Jason dan Marlyn saja di aula kerajaan.
***
"Hai, Elie.." Ariadne menyapa Elie dengan sangat riang. Gadis yang memakai mahkota berlian itu nampak begitu segar wajahnya. Warna gaun Ariadne hari ini adalah kuning keemasan.
Elie tersenyum melihat Ariadne yang sudah rapi. "Apakah pelipismu sudah membaik? Perlu kupanggilkan seorang tabib?"
"Tidak perlu, Elie." Kata Ariadne sambil mengikuti langkah Elie yang berada di ruang penyimpanan buah-buah segar.
"Ada apa kau mengikutiku sampai ke dapur?"
Ariadne langsung menunjukkan cengirannya. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bertemu denganmu."
"Oh begitu. Bagaimana tidurmu semalam? Kata Darian kau terbangun dan terjatuh dari tempat tidur sehingga pelipismu seperti itu."
"Iya, itu benar. Aku hanya bermimpi buruk. Tidak ingat bermimpi apa."
"Nanti akan kubuatkan minuman sari apel. Minumlah sebelum tidur."
"Minuman sari apel? Untuk apa?"
Elie menoleh pada Ariadne. "Supaya tidurmu mudah dan nyenyak."
"Baiklah. Itu terserah kau, Elie."
"Beritahu aku, sebenarnya kau mau meminta hal apa, Puteri? Aku sudah sangat hafal gelagatmu jika sedang ingin meminta sesuatu dariku."
Ariadne tersenyum malu-malu. Elie memang sangat mengerti sifat dalam dirinya. "Sebenarnya aku ingin meminta sesuatu hal."
"Apa itu?" Elie bertanya sambil memetik buah anggur dari batangnya.
"Aku ingin meminta satu hari setiap minggu. Aku ingin dalam satu hari itu aku diberi kebebasan, ke mana pun aku pergi diperbolehkan. Berikan aku seekor kuda putih yang pernah kutunggangi bersama Darian. Dan, aku ingin dalam satu hari itu tidak ada pengawal yang mengikutiku, termasuk Darian."
Elie yang mendengar permintaan Ariadne itu mengernyit keheranan. "Tidak akan kuijinkan." Tegasnya.
Ariadne mendenguskan napasnya sebal. "Elie, kumohon. Aku sudah berusia tujuh belas tahun. Bebaskan aku. Lagi pula aku hanya meminta satu hari saja dalam satu minggu."
Selesai menyiapkan buah-buahan untuk Darian ke dalam piring, Elie membalikkan badannya menghadap Ariadne. "Untuk apa? Justru itu puteri, kau sudah berusia tujuh belas tahun harus dijaga oleh banyak pengawal. Kau masih gadis dan---"
"Aku tidak akan berbuat hal aneh atau berbahaya, Elie. Aku tahu aku harus menjaga kehormatanku sebagai seorang perempuan."
"Tidak. Tidak akan kuijinkan. Itu sangat berbahaya untukmu meskipun hanya satu hari." Ucap Elie dengan tegas dan keluar dari ruangan penyimpanan buah-buah segar.
Ariadne tetap mengikuti langkah kaki Elie yang cepat. "Elie, kumohon."
Langkah kaki Elie berhenti dan perempuan itu menoleh ke belakang. Wajah Ariadne tampak sedih dan seperti putus asa dalam meminta satu hal itu.
Sebelum berkata, Elie menarik napasnya pelan. Piring berisi buah-buahan untuk Darian diletakkannya ke meja. Kedua tangan Elie memegang kedua lengan Ariadne. Perempuan itu berkata, "Katakan padaku dulu, hal itu untuk apa? Setidaknya aku tahu kau pergi ke mana dan bertemu siapa."
Ariadne menatap lurus kedua mata Elie. "Elie, kau percaya kepadaku kan? Aku meminta satu hari khusus itu untuk diriku sendiri. Untuk waktu penuh untuk diriku. Aku ingin sekali saja melepas mahkota ini dalam satu hari setiap minggu. Hari apa saja boleh jika kau mengijinkanku."
"Puteri, aku hanya tidak ingin kau terluka. Mintalah satu pengawal maka akan aku ijinkan kau berpetualang di luar kerajaan setiap satu kali seminggu."
Mendengar itu Ariadne tetap menggelengkan kepalanya. "Ini penting bagiku, Elie. Aku belum bisa memberitahumu. Dan aku tidak mau Darian mendengar tentang ini. Aku hanya bisa meminta ijin darimu. Kau sudah seperti ibuku sendiri. Kumohon, ijinkan aku melakukan kemauanku yang satu ini."
Elie memilih pasrah. Ia tahu kalau Ariadne sudah memiliki keinginan, akan sulit dibantah. "Baiklah, tapi aku mempunyai syarat untukmu."
Ariadne langsung tersenyum senang. Ia menatap Elie dengan kedua mata berbinar. "Apa syarat itu?"
"Jika kau berangkat dari kerajaan dalam keadaan lengkap dan tidak terluka, maka kau harus pulang dalam keadaan itu juga. Jika sampai kau terluka, maka kupastikan aku akan mencari siapa yang melukai tubuhmu." Kata Elie dengan sangat tegas.
Mendengar itu kedua mata Ariadne berkaca-kaca. Elie memang sangat mengkhawatir Ariadne seperti seorang ibu. Gadis itu memeluk tubuh Elie dengan sangat erat.
"Terima kasih banyak, Elie. Kau begitu baik padaku." Kata Ariadne.
Elie tersenyum dan mengelus rambut Ariadne yang halus. "Sama-sama, puteri. Apa aku benar-benar bisa mempercayaimu?"
Ariadne mengangguk. "Tentu saja. Kau mengijinkanku keluar dalam satu hari, dan itu hari apa?"
"Kau boleh keluar di hari Kamis, saat itu penjagaan istana mulai longgar."
"Baiklah. Apa aku bisa meminta kudaku sekarang juga?"
Elie terkekeh geli. "Pergilah bersama Darian saat putraku selesai sarapan. Mintalah seekor kuda sesuai pilihanmu. Akan kuberitahu dia."
"Terima kasih banyak, Elie."
***