Sudah sekitar 2 bulan Ardan meninggalkan Arini, pemuda itu tengah sibuk dengan pekerjaannya sebagai CEO baru pengganti ayahnya. Sebenarnya dia tidak terlalu menginginkan posisi itu, karena permintaan dari sang nenek lah dia mau menggantikan posisi itu.
"Ardan, kamu sudah mau berangkat?" tanya wanita tua yang biasa di panggil Oma oleh Ardan.
"Iya, Oma, hari ini aku ada jadwal rapat pagi," jawab Ardan seraya memakai jasnya.
"Sarapan dulu, nanti kamu tidak konsentrasi rapatnya." sambil mengoleskan selai ke atas roti.
"Aku akan sarapan di kantor saja, Oma, sedang buru-buru." Ardan kemudian mencium kening Oma–nya, setelah itu ia pergi.
Seorang pemuda dengan gaya sok kerennya baru saja keluar dari pintu kamarnya dengan hanya menggunakan celana pendek. "Good morning, everybody!"
"Ya ampun, Sean pakai baju kamu! Di sini banyak pelayan perempuan. Kamu tidak malu?" ucap Oma Ardan.
"Malu? Tidak mungkin aku malu, tubuh seksiku ini sudah dilihat oleh orang-orang belahan dunia sana," jawab laki-laki bernama Sean itu dengan bangga.
"Kebiasaan, selalu saja menjawab kalau dikasih tau." sambil mencubit lengan pemuda itu.
"Aww ... sakit Oma, tega sekali memukul cucu tampanmu ini," balas Sean seraya menaik turunkan alisnya.
Maria pun hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah cucunya yang satu ini. Dimitri Sean Daviez, memang memiliki sifat yang jauh berbeda dari kakaknya, ya ... mungkin dikarenakan mereka lahir dari rahim yang berbeda.
***
Di rumah Arini.
Arini tengah sibuk menyiapkan bubur untuk ibunya yang baru seminggu ada di rumah. Dengan cekatan dia mempersiapkan bahan-bahan yang akan dia masak, ketika ia tengah sibuk dengan kegiatannya, suara ponsel Arini berbunyi. Ia pun segera mengambil ponselnya yang berada di atas meja makan.
"Selamat pagi Arini!" tanya suara di seberang sana.
"Selamat pagi juga," jawab Arini dengan bahagia, karena yang ditunggu-tunggu akhirnya menghubunginya juga.
"Bagaimana keadaan ibumu, sudah baik 'kan?"
"Sudah, Kak, sudah mulai membaik kok. Apa Kakak sedang tidak sibuk?" tanya Arini sambil mengaduk bubur yang ia masak.
"Tidak juga, aku sedang ada di perjalanan untuk menghadiri rapat. Jadi aku sempatkan untuk menghubungimu."
"Kalau Kakak sedang sibuk mengapa menghubungiku? Apa tidak mengganggu pekerjaan Kakak?"
"Aku hanya ingin mendengar suara lembutmu, aku sangat merindukannya."
Arini yang mendengarnya hanya tersipu malu. Hubungan antara mereka kini semakin dekat walaupun hanya lewat telepon. Niat awal Ardan yang hanya iseng menggoda Arini pun kini berubah menjadi butiran-butiran asmara yang muncul di hatinya.
"Arini, Arini apa kau masih di sana?" tanyanya memastikan, karena tidak mendapat jawaban.
Arini yang masih melamun pun tersadar ketika namanya dipanggil dari balik ponsel. "I-iya Kak, maaf aku tidak dengar," ucapnya bohong.
"Kau sedang sibuk ya?"
"Iya, aku sedang memasak untuk ibuku."
"Baiklah kalau begitu, lanjutkan aktivitasmu! Aku juga sudah hampir sampai."
"Iya, Kak."
Sambungan telepon mereka pun terputus, dan Arini mulai melanjutkan memasaknya.
Selang beberapa menit bubur ayam yang ia buat sudah jadi dan dia menyiapkan untuk dibawa ke kamar ibunya yang mungkin sudah menunggu dari tadi.
"Buk, makan dulu yuk! Ini buburnya sudah jadi," ajak Arini sambil meletakkan nampan berisi bubur dan segelas air putih itu.
"Iya, Nduk," jawab Rahmi lembut.
"Ayo Arini bantu duduk Buk!"
"Ndak usah Nduk, ibu sudah bisa sendiri."
"Aku suapin ya buk?"
"Iya."
Rahmi tersenyum melihat putri bungsunya itu sedikit berubah dari sebelumnya, lebih terlihat bahagia.
"Rupanya hati kamu sedang bahagia, Nduk? Seperti orang yang sedang jatuh cinta." goda ibunya.
Arini yang mendapat pertanyaan itu sedikit kaget. "Hah ... jatuh cinta? Enggak kok, Buk."
"Hemm jatuh cinta, kamu tidak pernah merasakan jatuh cinta, Nduk? tanya Rahmi sedikit menggoda.
Gadis polos itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Nduk, setiap manusia itu pasti pernah jatuh cinta. Ngomong-ngomong sepertinya hubungan kamu dengan Tuan Ardan semakin dekat saja?"
"Tidak Buk, aku dan Kak Ardan hanya teman," jawab Arini, ia berusaha untuk tidak terlihat gugup.
Untuk saat ini dia tidak mungkin mengatakan kepada ibunya bahwa dia sudah menikah secara siri dengan majikannya, itu akan menambah beban pikiran untuk ibunya yang baru saja pulih.
"Pastikan kamu tidak mempunyai perasaan yang lebih kepada dia, Nduk, karena status kita berbeda dengannya. Ibu tahu dia pemuda yang baik dan sopan, tapi apa kata orang jika kamu jatuh cinta dengan Tuan Ardan?" tutur Rahmi.
Dada Arini terasa sesak mendengar ucapan yang dikatakan ibunya, wajah yang tadi ceria kini berubah menjadi muram. Benarkah dia jatuh cinta dengan pemuda itu? Kalau iya, dia lebih baik menyimpan rapat-rapat perasaan itu.
"Iya, Buk, aku tahu diri kok. Itu tidak akan terjadi. Ya sudah ibu mau tambah lagi? akan aku ambilkan," tanya Arini mengalihkan pembicaraan.
"Tidak, ibu sudah kenyang. Apa ponsel dan biaya rumah sakit Ibu dari Tuan Ardan?"
Arini yang tengah meletakkan mangkuk ke nampan berhenti mendengar pertanyaan dari ibunya.
"Iya, Buk, tapi aku sudah berjanji untuk membayarnya kalau aku sudah bekerja. Untuk sementara waktu aku hanya perlu menjaga dan membersihkan villanya saja," ucap Arini pelan.
"Syukurlah kalau begitu, kamu yang rajin ya, Nduk membersihkan villa Tuan Ardan!"
"Iya Buk, Arini ke dapur dulu."
Rahmi menatap punggung anaknya yang perlahan hilang dari balik pintu, ia tahu Arini menyukai anak dari mantan calon suaminya itu. Dia sengaja mengatakan itu agar Arini tidak terlalu jauh menaruh perasaan untuk pemuda kaya itu. Sebenarnya ia tidak tega, namun ia tidak mau Arini menjalani hidup bersama cucu dari orang yang telah mengakibatkan suami dan anaknya meninggal. Gadis itu pasti akan tersiksa oleh Maria yang masih menaruh dendam padanya. Sudah cukup hidup putrinya itu menderita karena keegoisan dirinya.
"Maafkan ibu Arini, ibu tahu kamu menyukainya tapi ibu tidak mau kamu kecewa. Ibu tahu persis bagaimana keluarga Daviez, mereka yang berhubungan dengan ibu akan mengalami kehancuran," ucap Rahmi di dalam hati seraya meneteskan air mata.