"Buk, aku ke villa dulu!"
"Untuk apa kamu ke sana lagi, Nduk?"
"Aku ingin mengambil barangku di sana, setelah itu aku tidak akan ke sana lagi. Aku ingin mencari pekerjaan lain," jawab Arini.
"Maafkan ibu, Nduk. Bukannya ibu melarangmu–"
"Aku mengerti, Buk. Aku pergi!"
Arini pergi dengan hati yang tidak menentu, mengingat perkataan yang dikatakan ibunya tempo hari membuat gadis itu berpikir, apa yang dikatakan ibunya memang benar. Dia tidak pantas untuk menyukai pria seperti Ardan, dia sempurna, sedangkan dirinya jauh dari kata sempurna.
Arini akhirnya dia telah sampai di villa milik Ardan, membuka gerbang dan mulai memasukinya. Dikeluarkannya kunci villa tersebut dari saku celananya dan mulai memasuki. Sudah seminggu dia tidak mengunjungi villa ini, pasti keadaannya sangat kotor. Tapi tujuan awalnya ke tempat ini bukan untuk itu, melainkan untuk mengambil barangnya. Perlahan kakinya berjalan menuju kolam renang yang berada di dekat ruang keluarga, membuka pintu kaca, matanya menelisik setiap pemandangan yang berada di depannya. Menghirup udara sekitar yang sangat menyejukkan, setelah itu dia kembali ke dalam untuk pergi ke lantai dua. Dia ingat bahwa buku miliknya berada di kamar milik Ardan.
Memasuki kamar, Arini merasa ada yang aneh. Dia mencium aroma parfum milik Ardan di kamar itu, mungkinkah pria itu sudah kembali? Tapi mengapa dia tidak menghubungi dirinya terlebih dahulu?
Arini pun mengacuhkan keraguannya, mendekati tempat tidur, langkahnya terhenti saat melihat tempat tidur itu berantakan, seperti habis di tiduri oleh seseorang. Lamunannya tersadar saat gadis itu mendengar suara gemericik air dari kamar mandi.
Siapa yang menggunakan kamar ini? Apa Kak Ardan? Jika iya itu Kak Ardan, aku tidak melihat mobilnya di halaman. Jangan-jangan...? batin Arini.
Mata Arini pun melotot dan langsung mencari sesuatu yang ada di kamar tersebut, matanya berhenti pada buku tebal yang berjejer rapi di rak buku. Dengan berjinjit dan hati-hati, Arini mengambil buku yang ukurannya memang sangat tebal tersebut. Dia berniat untuk menggunakan buku itu sebagai tameng jika yang keluar adalah seseorang yang dia maksud. Menuju kamar mandi, Arini menghadang seseorang yang akan keluar dari kamar mandi tersebut.
Handle pintu kamar mandi perlahan terbuka, memperlihatkan sesosok pemuda tinggi dengan tubuh atletisnya yang hanya menggunakan handuk di tubuhnya. Arini yang dengan mata terpejam langsung melayangkan buku tebal tersebut ke arah pemuda itu, tepat mengenai kepalanya.
"Awww...!" pekik pemuda itu seraya memegangi kepalanya yang terasa sakit.
Arini yang familiar dengan suara itu pelan-pelan membuka matanya, betapa terkejutnya gadis itu setelah melihat seseorang yang berada di depannya tersebut bukan orang asing, melainkan pemilik villa ini.
"K–ak Ardan?"
"Arini? Kenapa kamu memukulku?" tanya Ardan heran.
Arini pun melongo dengan mulut yang terbuka. "Ma–maaf, a–aku tidak bermaksud memukul, Kakak. Aku kira Kakak orang asing yang masuk tanpa izin ke villa ini," jelasnya dengan terbata-bata.
Ardan yang mendengar penjelasan dari gadis berparas ayu tersebut terkekeh.
"Apa kepala Kakak tidak apa-apa?" tanya Arini seraya berjinjit untuk melihat puncak kepala pemuda di depannya yang dikiranya sakit. Tinggi Arini yang hanya sedada Ardan, membuat dia harus berjinjit mencapainya. Sedangkan Ardan hanya diam dengan senyum merekah di bibirnya menyaksikan tingkah Arini yang menurutnya lucu.
Sepasang netra keduanya bertemu, saling menatap satu sama lain. Ada rasa rindu di antara mereka berdua, walaupun hanya pernikahan siri namun chemistry di antara mereka tidak terpungkiri. Mereka sangat cocok menjadi pasangan suami istri. Tangan besar Ardan perlahan berjalan ke arah pinggang ramping istri sirinya seraya menyunggingkan senyum. Arini sontak terkesiap dengan perlakuan Ardan, ditambah lagi pemuda itu hanya menggunakan handuk di bagian tubuh bawahnya. Jantung gadis itu berdegup kencang, gugup? tentu saja, karena kali pertama tubuhnya dipeluk oleh seorang pria. Walaupun mereka sudah menikah, tapi itu hanya perjanjian saja. Setelahnya, mereka akan berpisah.
Ardan makin mempererat pelukannya, sedangkan Arini langsung menundukkan kepalanya ke dada bidang pemuda itu.
"Aku merindukanmu, Arini. Apa boleh aku memelukmu?"
Arini yang mendengar itu, wajahnya langsung memerah karena malu. Dia tidak tahu harus menjawab apa, hanya diam sambil menahan rasa gugup sekaligus malu. Tanpa menunggu jawaban dari Arini, Ardan memeluknya.
Ada rasa nyaman saat tubuh mungil itu berada di pelukannya, rasa yang selama ini tidak pernah dia dapatkan semenjak orangtuanya tiada, menenangkan hatinya.
Beberapa menit mereka berpelukkan, Arini pun berusaha untuk melepaskan dirinya. Ardan pun sadar akan hal itu dan melepaskan pelukannya dari tubuh gadis itu.
"Arini, apa kau–" belum selesai dia berbicara, Arini langsung pergi meninggalkan dirinya.
Dengan sedikit berlari, gadis itu menuruni anak tangga dan menuju dapur. Di dapur dia langsung mengambil air minum, diteguknya air minum tersebut dengan tidak sabaran. Setelah itu dia terduduk di kursi pantry. Jantungnya tidak berhenti berdegup kencang, menarik napas dengan pelan seraya memegang dadanya lalu ia hembuskan kembali. Kegiatan itu ia lakukan beberapa kali berharap jantungnya akan kembali normal.
Ardan yang baru saja turun, melihat Arini yang duduk di kursi sambil memukul-mukul dadanya. Ia pun menghampiri dan menepuk pundak gadis yang tengah melamun tersebut, gadis itu sontak kaget. "Hei, Arini. Kamu melamun?" tanyanya.
"Ti–tidak," jawab Arini terbata.
Pemuda itu pun berjalan ke arah lemari pendingin, mengambil botol air mineral dan kembali berjalan mendekati Arini yang masih tetap duduk di tempatnya. Dituangnya air mineral itu ke gelas yang tadi digunakan Arini dan meminumnya.
"Kak, itu gelas yang baru saja aku pakai. Kenapa Kakak pakai lagi?"
"Memangnya kenapa? Kamu punya penyakit menular?" Tidak 'kan?" Ardan menjawab dengan santai.
"Tidak," seraya menggelengkan kepalanya, "Tapi kan itu bekas bibirku?" lirih Arini.
"Gak masalah kalo itu bekas dari bibirmu, secara tidak langsung kita sudah berciuman," goda Ardan.
Arini yang mendengar kata berciuman, wajahnya langsung bersemu merah karena malu. Tidak menyangka pemuda di depannya ini ternyata suka menggoda. Ardan yang melihat wajah Arini merah pun tersenyum, menggemaskan sekali gadis di depannya ini.
"Arini, ikut aku!" memegang lengan Arini.
"Ke mana, Kak?"
"Sudah, ikutlah saja"
"Tapi, Kak. Aku ke sini hanya untuk—"
"Sstt..., nurut aja kenapa sih? Kamu harus ganti rugi karena sudah memukul kepalaku tadi, kamu tau 'kan buku itu sangat tebal? Dan kamu memukulkannya ke kepalaku. Dan itu masih terasa sakit sampai sekarang, hah.. untung saja aku memiliki kepala kuat , kalau tidak aku akan pingsan dan bisa-bisa lupa ingatan," celetuk Ardan panjang lebar.
Arini yang membayangkan itu menarik napas panjang, lebih baik ia mengikuti kemauan pemuda ini. Sebagai permintaan maafnya. "Baiklah kalau begitu," pasrahnya.
Senyum Ardan pun mengembang seketika mendengarnya. "Okey, pergilah ke depan dulu! Aku akan menyusul."