"Selamat pagi, Nyonya besarku!" sapa seorang wanita dengan lipstik merah terang di bibirnya.
"Kau ... untuk apa kau ke sini? Bukankah aku menugaskan mu mengawasi wanita penghianat itu?" jawab wanita paruh baya itu. Dia begitu terkejut atas kehadiran wanita berlipstik merah itu.
"Nyonya, janganlah kau bersikap kasar terhadapku! Bukankah aku sudah banyak membantumu?" kata wanita bernama Mayang itu sambil duduk di meja makan tanpa disuruh.
"Beraninya dia tidak sopan terhadapku. Kalau saja kau bukan orang yang telah mengetahui semua perbuatanku, akan ku bunuh kau wanita sialan!" gumam wanita bernama lengkap Maria Oza itu dalam hati.
Wanita paruh baya itu berusaha tetap tenang. "Apa maumu? Apa uang yang kuberikan kurang?" tanyanya.
"Ahaha …, tidak Nyonya. Uang yang kau berikan sudah dari cukup," jawab Mayang dengan tawanya.
"Lalu?"
"Aku kemari ingin memberitahukan informasi yang sangat penting untukmu, aku rasa kau akan tertarik."
"Informasi apa?" tanya Maria. Dia yang awalnya kesal pada Mayang kini berubah menjadi penasaran.
"Aku akan memberitahukannya tapi dengan satu syarat," ucap Mayang sambil memainkan rambutnya.
"Syarat? Apa syaratnya?" Maria mendadak perasaannya tidak enak.
"Syaratnya, kau harus mengizinkan aku untuk tinggal bersamamu di sini. Mudah 'kan?" jawab Mayang seraya mengambil makanan yang berada di piring wanita paruh baya itu dan memasukkannya ke dalam mulut.
Brakkk …
Wanita paruh baya itu menggebrak meja makan dengan sangat keras, dia sudah muak dengan ancaman dan permintaan aneh yang diminta wanita sialan itu.
"Wanita sialan! Apa maumu sebenarnya, heh?" bentak Maria seraya menatap tajam Mayang penuh amarah.
Wanita berbaju hitam itu tidak merasa takut sedikitpun, bahkan ia tersenyum penuh penghinaan pada Maria. Sejurus kemudian ia berdiri dan tangannya mengambil pisau yang berada di atas meja dan langsung mengarahkan ke leher wanita Maria. Semua pelayan yang ada di rumah itu pun berhamburan keluar setelah mendengar keributan di ruang makan, betapa terkejutnya mereka bahwa majikannya sedang ditodong oleh seorang wanita yang tidak mereka kenal. Mereka hendak mendekat, namun Mayang mengancam.
"Hey, kalian semua. Berani mendekat, pisau ini akan menancap di leher majikan kalian, mengerti! Dan lagi jangan coba-coba menghubungi polisi! Pergi kalian semua!" ucap Mayang penuh pengancaman.
Akhirnya, semua pelayan pun dengan berat hati pergi. Karena mereka tidak mau terjadi apa-apa dengan majikannya. Sedangkan wanita paruh baya itu hanya terdiam dengan wajah yang pucat juga tubuh yang gemetar karena takut pisau tajam yang dipegang Mayang akan mengenai lehernya. "Ba–baiklah, aku akan menuruti kemauanmu. Ayo ikuti aku!" ucapnya terbata-bata.
"Nenek yang pintar," ujar Mayang.
Dengan masih tetap menodong leher Maria, Mayang berjalan ke sebuah ruangan dengan instruksi Maria.
"Wanita kurang ajar! Awas kau akan kubalas!"
**
Di depan teras, Arini dengan ragu memasuki rumahnya. Ia takut, ibunya akan marah padanya karena ia berbohong. Menghembuskan napas panjang Arini pun perlahan masuk ke rumah dengan hati yang berdebar-debar karena takut.
"Buk, Arini pulang!" ucap Arini sambil celingak-celinguk.
Gadis itu tidak melihat adanya orang di dalam rumah. Arini pum mencari ibunya dan keponakannya ke bagian ruang kamar, dapur maupun halaman belakang.
"Pada ke mana mereka?" gumam Arini. "Ibu! Rizky!" panggil Arini, namun tetap tidak ada sahutan. Arini berniat ingin mencari ibu dan keponakannya itu keluar rumah. Saat ingin keluar rumah, saat itu juga ibu dan keponakannya ada di depan pintu. Arini menatap mereka berdua bergantian, ia merasa ada yang aneh pada ibunya. Ia pun bertanya, "Ibu dari mana aja? Aku nyariin Ibu?"
"Duduklah sebentar!" pinta Rahmi dengan dingin. Bukannya mendapat jawaban, Arini malah disuruh duduk. Ia pun menurut dan duduk di ruang tamu.
"Ada apa, Buk?" tanya Arini penasaran.
"Ibuk ingin tanya sesuatu ke kamu,?" ujar Rahmi, kini dengan ekspresi yang berbeda dari yang biasanya hangat berubah menjadi dingin.
"Tanya apa, Buk?"
"Apa benar kamu sudah menikah siri dengan pemilik villa di atas sana?" tanya Rahmi.
Arini yang mendapat pertanyaan itu terkejut, lalu ia menundukkan kepalanya. "I–ibuk, ibuk tau dari mana?"
"Kamu tidak perlu tahu itu, jadi benar kamu sudah menikah siri, Arini? Jawab Ibu, Arini!" bentak Rahmi ia sudah tidak kuat menahan amarahnya.
Arini tersentak kaget, ia pun menjawab dengan terbata-bata. "I–iya, Buk. Maafin Arini. Arini tidak bermaksud membohongi Ibu, Arini ingin mengatakannya tapi menunggu waktu yang tepat. Karena Arini tahu kondisi Ibu belum terlalu sehat."
Rahmi akhirnya meneteskan air mata yang sedari tadi ia tahan, selama ini dia tidak pernah membentak Arini, ini adalah kali pertama. Karena dia tahu anak terakhirnya itu anak yang baik dan jujur. Tapi untuk saat ini, Rahmi kehilangan kendali. Ia tidak percaya anaknya membelakangi dirinya dan berbohong padanya hanya karena pria. Rahmi pun terduduk di lantai sambil berlinangan air mata.
Gadis itu menghampiri Ibunya dan memeluknya. "Buk, maafin Arini. Ini semua bukan keinginan Arini. Arini tidak melakukan apa-apa dengan Kak Ardan, mereka semua hanya salah paham," jelas Arini sambil berlinang air mata. "Arini sudah menjelaskan pada mereka, tapi mereka tidak mempercayai Arini," jelasnya lagi.
"DIAM ...!" teriak Rahmi. "Kamu tidak tahu siapa sebenarnya keluarga pria itu, Ibu sudah peringatkan kamu untuk tidak jatuh cinta pada pria itu, tapi kamu tetap membangkang," sambung Rahmi.
"Aku tidak mengerti maksud Ibu? Tapi jika itu terbaik buat ibu, Arini akan menjauh dari—" ucapan Arini terhenti saat melihat sosok pemuda yang dimaksud ada di depan pintu.
Ardan mendekati anak dan ibu yang duduk di lantai sambil menangis.
"Kak Ardan?" ucap Arini.
"Arini, ada apa? Kamu baik-baik saja?" tanya Ardan dengan khawatir.
Rahmi melepaskan pelukkan Arini dan menghampiri Ardan. "Kamu? Cepat pergi dari rumahku! Sudah cukup keluargamu membuat hidupku menderita," teriak Rahmi seraya mendorong dada Ardan.
"Maksud, Bu Rahmi? Aku ... tidak mengerti?" tanya Ardan keheranan.
Arini pun menghampiri ibunya dan berusaha untuk menenangkan amarah sang ibu. Rahmi berteriak histeris seraya memukul-mukul Ardan. Ardan yang tidak mengerti apa-apa hanya diam dan berusaha untuk tidak emosi.
"Kak Ardan, lebih baik Kakak pulang. Aku tidak ingin ibuku semakin histeris melihat Kak Ardan di sini," pinta Arini pada Ardan.
"Tapi, Arini. Aku tidak mengerti yang ibumu katakan," jawab Ardan.
"Aku sendiri juga tidak mengerti, Kak. Sekarang pergilah!" Arini berusaha mengusir Ardan, tapi pemuda itu tetap bersikukuh tidak mau.
"Arini, aku mengkhawatirkan kondisi ibumu. Biarkan aku di sini membantu," ujar Ardan.
"Tidak apa, Kak. Aku bisa mengatasinya," kata Arini.
Ditengah mereka sedang berdebat, tubuh Rahmi lemas dan wanita itu pun terjatuh tak sadarkan diri. Arini yang melihatnya langsung panik seketika.
"Buk! Bangun, Buk. Ibuk!" panggil Arini beberapa kali sambil menepuk-nepuk pipi sang ibu, namun tak direspon oleh Rahmi .
"Kita bawa ke rumah sakit sekarang, Arini," ujar Ardan seraya menggendong Rahmi untuk menuju mobilnya.
"Iya, Kak."
Mereka berdua pun pergi menuju rumah sakit. Kejadian itu tidak luput oleh para tetangga Arini yang penasaran ingin melihat apa yang terjadi.
"Ki, kamu di rumah aja ya!" ucap Arini pada Rizky yang saat itu melihat.
"Iya, Mbak."
Ardan mengendarai mobilnya dengan kencang, sedangkan Arini yang berada di jok belakang tengah sibuk berusaha membangunkan ibunya sambil menangis tersedu-sedu.