Chereads / Penjara Masalalu / Chapter 19 - Pinggiran danau

Chapter 19 - Pinggiran danau

"Terimakasih, Kak Ardan udah nganterin aku," kata Mirae.

"Sama-sama Mirae," balas Ardan.

"Kalo Kak Ardan ingin bertemu Arini, nanti sore aku akan antarkan Kakak. Biasanya dia menenangkan diri di danau kalau sore," jelas Mirae.

"Apa dia mau menemuiku? Aku sedikit ragu," ujar Ardan. Merasa tidak yakin untuk menemui Arini, karena tadi saja dia sudah dicuekin.

"Aku sendiri juga tidak tahu, Kak. Tapi apa salahnya Kakak coba dulu," ujar Mirae.

Ardan mengangguk, benar juga kata Mirae batin pemuda itu.

Mirae pun akhirnya turun dari mobil milik Ardan seraya melambaikan tangan. Ardan hanya tersenyum, lalu ia melesatkan mobilnya meninggalkan kediaman Mirae.

Di lain tempat, tepatnya di rumah Maria, wanita itu tengah berada di dalam ruang kerjanya bersama Mayang sambil ditemani dua botol minuman alkohol

"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Maria dingin sambil memutar-mutar gelas berisi wine ditangan kirinya.

"Tidak ada, sementara ini kita tidak perlu merencanakan apapun dulu. Biarkan gadis itu merasakan kesendiriannya karena di tinggal oleh Rahmi," jelas Mayang seraya menghisap kuat sepatang rokok di tangannya.

"Maksudmu? Aku tidak akan membiarkannya lepas begitu saja," ujar Maria yang tidak sabaran.

Wanita itu menanggapinya santai sambil menyeringai. "Heh, kau ini. Sampai kapan kau mau balas dendam terhadap keluarga Rahmi? Sedangkan Rahmi sendiri sudah ada di alam baka," ucap Mayang.

"Aku tidak akan biarkan keturunan Rahmi hidup dengan bahagia, karena dia aku kehilangan suami, anak dan hartaku." Bagi Maria tidak ada kata memaafkan bagi orang yang menghancurkan dirinya.

"Hahaha ... kau lupa aku siapa, heh? Aku juga bagian dari keluarga Rahmi," kata Mayang. Lalu wanita itu menghampiri Maria yang duduk di kursi kebesarannya. "Kau tidak takut aku berkhianat, Maria?"

Maria sedikit takut ketika Mayang mulai berjalan mendekatinya, wanita gila itu bisa saja melakukan hal yang dapat menghilangkan nyawanya, pikirnya. "Silahkan kalau kau berani mengkhianatiku! Aku jamin nasibmu akan sama seperti Rahmi dan keluargamu yang lain," ancam Maria berusaha terlihat berani.

"Huuu ... takut ..." ejek Mayang seraya mematikan rokoknya. "Heh, tua bangka, berani kau mengusik kehidupanku. Aku akan membocorkan semua kejahatanmu pada cucu kesayanganmu. Kau lupa, kalau aku memilki bukti atas semua kejahatanmu." ujar Mayang seraya mencengkram dagu Maria dengan kasar.

Tubuh Maria bergetar karena takut, tapi mencoba menahannya agar tidak terlihat lemah. "Bedebah kau Mayang! Aku akan segera menyingkirkanmu agar kau tidak mengacaukan rencanaku, sementara ini akan aku biarkan kau menyiksaku karena aku masih butuh otakmu," gumamnya dalam hati.

"Lepaskan, wanita gila! Aku sudah menuruti kemauanmu untuk tinggal di rumahku. Kenapa kau malah menyiksaku?" kata Maria sambil menahan sakit di dagunya yang terasa sakit karena cengkraman Mayang.

"Itu karena mulut berancunmu yang membuat aku ingin menyiksamu," kata Mayang. Setelah itu ia melepaskan tangannya dari dagu wanita tua itu dengan kasar. Dan ia pun berlalu pergi begitu saja tanpa rasa bersalah meninggalkan Maria yang ketakutan.

"SIALAN! Kau wanita gila!" teriak Maria dengan tangannya yang memporak-porandakan benda-benda di atas meja.

**

"Mbak, ayo pulang! Udah mau hujan." ajak Rizky sambil menengadah ke atas melihat langit yang sudah mulai menggugurkan airnya.

"Kamu duluan aja, Ki! Mbak nanti nyusul," jawab Arini dengan masih menatap danau di depannya.

"Beneran ya Mbak Arini nyusul?"

"Iya, Ki."

Bocah berusia 10 tahun itu pun berjalan meninggalkan Arini. Setelah Rizky kembali pulang, Arini sendirian di tepi danau dengan pikiran-pikiran yang bergelayut di otaknya. Rasa sepi selalu menghantui hatinya, belum hilang trauma masalalunya, kini dia harus menerima traumanya lagi yaitu kehilangan orang yang paling berarti dalam hidupnya.

Buliran bening mulai keluar dari sudut mata sayu gadis itu, diam tidak selalu membuatnya kuat. Bahkan, diam hanya salah satu sikap yang dipilihnya untuk menutupi segala rasa luka dan masalah dihidupnya. Tipu daya seseorang yang lemah adalah selalu tersenyum di depan semua orang. Perlahan rintik hujan mulai turun membasahi tubuh gadis malang itu, ia terduduk lemah di tepi danau sambil kedua tangan menutupi wajahnya, membiarkan hujan membasuh luka hatinya

"Ibu, Bapak, Kak Alda ..." teriak Arini. Menangis lah gadis itu dengan keras, teriakan dan tangisan gadis itu menggema di sekitar tempatnya menghempaskan tubuh. Dia bukanlah makhluk Tuhan yang tidak bisa merasakan sakit dan putus asa, dia hanyalah manusia biasa yang juga punya rasa sakit.

"Aku merindukan kalian. Apa salahku terhadap kalian? Aku sudah berusaha jadi anak dan adik yang baik, aku juga sudah bisa menerima kondisi keluarga kita yang seadanya. Aku tidak pernah minta barang-barang yang mahal," lirih gadis berlesung pipi itu sambil tersedu-sedu.

"Tuhan, Kau pernah bilang, "Sabar adalah cara terbaik untuk menghadapi masalah." Tapi ... aku sudah sangat bersabar dengan segala cobaan yang Kau beri," tambahnya lagi. "Apa kau tidak kasihan dengan gadis malang sepertiku? Apa aku berbuat kesalahan besar sampai membuatMu marah dan memberikan aku rasa sakit ini?" cecar Arini mencoba mengadu pada penguasa jagat raya.

Arini pun menundukkan kepalanya sambil terus menangis tanpa henti dengan tangan yang menjadi penopangnya, ia tidak tahu lagi dengan cara apa agar rasa sakit di hatinya segera menghilang. Semua yang dia pendam selama ini sudah ia curahkan bersama hujan. Berharap hujan akan membawa serta rasa sakit hatinya.

Suara ketukan sepatu perlahan mendekati Arini yang terduduk di rerumputan. Pemuda itu membawa payung berwarna putih transparan di tangannya, namun Arini masih tidak sadar akan kehadiran pemuda jangkung itu. Ia melindungi tubuh Arini dari guyuran air hujan yang cukup deras dengan payung yang ia bawa. Memanggalkan kedua kakinya di dekat Arini yang masih sibuk menangisi nasib buruknya.

"Kau seperti anak kecil saja hujan-hujanan," kata pemuda yang ternyata Ardan itu. Yang saat itu langsung mengagetkan Arini.

Sontak dengan cepat Arini menjauhkan diri dari Ardan. "Kau?" Arini seketika berdiri. "A–apa yang kau lakukan di sini?" tanya Arini sedikit gelagapan.

Tak ada jawaban dari Ardan, pemuda itu melangkahkan kakinya dan langsung membawa gadis itu dalam pelukannya. "Kau sepenuhnya tidak sendirian, Honey!Aku akan selalu berusaha untuk menemanimu," bisik Ardan di telinga Arini.

"Lepaskan!" perintah Arini seraya memberontak. Namun berontakan Arini tidak berpengaruh pada Ardan yang tubuhnya lebih besar dan tinggi darinya.

"Aku tidak akan melepaskanmu, aku mengerti dengan keadaanmu sekarang," ucap Ardan semakin mempererat pelukannya.

"Keluargamu lah penyebab dari kesendirianku, keluargamu telah mengambil kebahagianku," kata Arini dengan murka. Ia ingat kata-kata terakhir yang diucapkan Rahmi padanya, namun dia tidak tahu persis seperti apa? Ia ingin mendapat penjelasan dari ibunya tapi sebelum menjelaskan Rahmi sudah tiada.

"Aku tahu, keluargaku memang salah. Aku minta maaf, aku juga tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi? Kita akan mendapatkan jawabannya bersama, maka dari itu tetap lah ada di dekatku, Arini," jelas Ardan. Berharap gadis itu akan luluh dengan kata-katanya dan mengerti bahwa dirinya juga tidak tahu menau masalah keluarga mereka.

Arini terdiam dengan kata-kata Ardan. Benarkah pemuda itu juga tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga mereka? Arini merasa bingung, namun ia harus mendapat sebuah kepastian atas perkataan dari almarhumah ibunya.

Ardan perlahan melepaskan pelukannya pada Arini, menatap lekat kedua bola mata sayu Arini yang sembab. Tangannya memegang pipi gadis itu, mengelusnya dengan lembut. "Percayalah, Honey, aku akan menemanimu menemukan jawabannya," ucap Ardan. Lalu yang terjadi berikutnya, Ardan menautkan bibirnya pada bibir tipis Arini yang membuat gadis itu terkejut dan langsung mendorong tubuh Ardan yang membuat payung di tangan Ardan terlepas. Kini tubuh pemuda itu juga basah karena hujan.

"Ayo kita pulang! Kau akan sakit jika terus-terusan di sini dengan kondisi hujan yang bertambah deras," ujar pemuda itu.

"Aku tidak akan pulang. Pergilah kau sendiri!" tukas Arini.

"Kalau begitu aku juga tidak akan pulang, aku akan menemanimu di sini," sahut Ardan.

"Menyebalkan, pergilah!" usir Arini.

"Tidak, aku tidak mau," jawab Ardan santai.

"Baiklah, kalau begitu biar aku saja yang pergi. Kau tetap di sini!" kata Arini dengan kesal dan seraya ingin pergi namun tangannya di tahan oleh Ardan. Pemuda itu menariknya ke dalam pelukannya lagi dan langsung mencium paksa Arini. Ia juga tidak memperdulikan lagi berontakan Arini.

"Mmpphh ..." pekik Arini. Matanya melotot sempurna dan tangannya memukul-mukul dada Ardan. Tapi sedikit demi sedikit tubuh Arini yang memberontak tadi perlahan melemah, mungkin gadis itu lelah, karena perlawanannya tidak berespon apa-apa bagi Ardan. Arini pun hanya diam, membiarkan Ardan melumat, menyesap dan memainkan lidahnya di dalam mulut Arini. Di rasa sudah cukup dengan ciuman paksaannya, Ardan pun melepaskannya. Ia pun tersenyum tipis pada Arini dan memeluk tubuh kecil Arini untuk kesekian kalinya. Sedangkan Arini mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya karean ciuman paksa Ardan. Mereka berdua tidak menghiraukan derasnya hujan saat itu.

"Sudah selesai marahnya, Honey?" bisik Ardan di telinga Arini, yang membuat gadis itu merasakan gelanjar aneh di tubuhnya. Antara geli dan juga ... entahlah? Ia sendiri juga bingung bagaimana ia menyebutnya.

Haacimm ...

Tiba-tiba suara bersin Ardan menyadarkannya dari rasa aneh yang ia rasakan, gadis itupun buru-buru menjauhi Ardan dan pergi mengambil payung yang terjatuh tidak jauh dari mereka . Segera ia memayungkan ke arah Ardan. Ardan tersenyum mendapatkan perlakuan yang menurutnya manis dari Arini. "Gadis datar ini memang susah di tebak," ujar Ardan dalam hati.

"Terimakasih, My Honey!" kata Ardan seraya berdiri.

"Diam! Aku bukan madu! Cepat kau pulang! Aku tidak ingin kau sakit karena kalau kau sakit aku juga yang akan repot," kata Arini dengan nada ketus.

"Kehujanan begini aja sudah flu, dasar orang kaya." gerutu Arini. Yang mana saat itu didengar oleh Ardan.

"Kau rupanya bisa mengomel juga," kata Ardan. Pemuda itupun mengambil alih payung yang di bawa Arini, karena rupanya gadis itu kesusahan untuk memayungi dirinya yang lebih tinggi dari Arini.

"Kapan kau akan tumbuh tinggi? Dari kemaren-kemaren tetap saja pendek," ledek Ardan seraya menggandeng bahu Arini.

"Apa kau bisa diam!" jawab Arini sambil mencubit perut Ardan.

"Aww ... sakit Honey!?" kata Ardan cengengesan yang berpura-pura sakit, namun tidak diperdulikan Arini.

Arini tersenyum tipis dengan tingkah Ardan. Tidak dipungkiri, kehadiran Ardan membuat ia sedikit melupakan rasa sakit dihatinya. Arini dan Ardan pun pergi meninggalkan danau kecil itu.