Pancaran warna jingga senja perlahan mulai memasuki cerahnya langit sore kala itu, menghentikan sejenak tugas sang bagaskara di ujung cakrawala.
Seorang pemuda berdiri tegak di balik dinding kaca, ia tengah memandangi indahnya senja di sore itu. Namun otaknya melayang ke segala penjuru. Indah, memang indah setiap ciptaan yang Tuhan berikan kepada makhluknya, namun Tuhan belum memberikan keindahan hidup untuk pemuda bernama Ardan Daviez. Dengan umur yang masih dibilang sangat muda, pemuda itu sudah menjadi ahli waris dari keluarganya. Di dalam benaknya, dia sama sekali tidak menginginkan posisi itu, ia ingin memiliki kehidupan normal seperti pemuda yang lainnya. Berpacaran, bersenang-senang bersama teman terdekatnya, menekuni hobi-nya, tapi semua itu tidak bisa terwujud. Sejak kedua orangtuanya meninggal dunia, kehidupannya selalu dikekang oleh sang nenek. Perintah sang nenek harus selalu dilaksanakan dengan baik, tanpa ada bantahan. Ardan yang hanya memiliki sang nenek, hanya bisa menurutinya. Walaupun sang ayah memiliki istri dan seorang anak lagi, tapi Ardan tidak pernah menganggap mereka berdua ada. Ardan berpikir bahwa, karena mereka berdua lah sang ibu–Rose meninggal dunia. Sebaik apapun ibu tiri padanya, ia tetap mengacuhkan wanita itu. Sekarang ibu tiri Ardan telah menikah lagi, namun dia tidak pernah lupa untuk mengunjungi Ardan sesekali, walaupun ia tahu pada akhirnya anak tirinya itu selalu mengacuhkannya.
Ardan kembali duduk di kursi kebesarannya, mengambil sebuah minuman alkohol di mejanya yang sudah disiapkan oleh Mr.Park tadi. Tegukan demi tegukan air beralkohol tinggi itu memasuki kerongkongannya. Suara Mr.Park yang berada tidak jauh dari mejanya, sedikit menyadarkan pikiran kalutnya.
"Tuan, Ardan. Anda sudah terlalu banyak minum, lebih baik Anda segera pulang! Saya akan mengantarkan ke apartemen Anda," kata laki-laki bertubuh besar itu.
"Aku tidak mau ke apartemen," bantah Ardan yang sedikit tengah mabuk. Pemuda itu sebenarnya tidak menyukai minuman beralkohol tinggi, tapi entah mengapa sedari tadi ia sangat ingin minum bir. Mungkin pikirannya yang sedang kalut, membuat dia ingin melupakan sejenak dengan cara mabuk.
"Kalau pulang ke rumah Oma Anda, takutnya Oma Anda akan mengamuk. Beliau pasti akan memarahi saya karena membiarkan Anda mabuk," jelas Mr.Park.
"Aku juga tidak mau pulang ke rumah Oma," bantah Ardan lagi.
"Lalu, Anda mau ke mana?" tanya Mr.Park bingung.
"Antarkan aku ke rumah Arini!" jawab Ardan.
"Arini? Siapa Arini, Tuan?" tanya Mr.Park seraya menyercitkan dahinya tidak paham.
"Arini? Dia adalah istriku," kata Ardan meracau.
"Tuan, sudahlah Anda sedang mabuk. Lebih baik kita pulang sekarang," kata Mr.Park. Laki-laki keturunan Korea itu pun menghampiri Ardan berniat ingin memapah tubuh tinggi Ardan, namun pemuda itu melayangkan tangannya di udara.
"Aku tidak mabuk! Cepat antarkan aku menemui istriku! CEPAT!?" teriak Ardan.
"Ta–tapi, Tuan Anda sedang—" ucapan Mr.Park terhenti tatkala Ardan menyelanya.
"Kau mau aku pecat, hah?" ancam Ardan dengan menatap tajam ke arah asisten pribadinya itu. Ardan memang pemuda yang ramah dan mudah bergaul, namun dia akan berubah dingin ketika suasana hati dalam kondisi tidak baik, seperti sekarang ini.
"Ba–baik, Tuan," angguk Mr.Park.
**
Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, Ardan kini tengah tertidur sambil mulutnya meracau di dalam mobil bersama Mr.Park yang berada di jok depan dengan Danu. Sebelumnya Ardan meminta Mr.Park untuk menghubungi Danu agar menjemputnya di bandara bersama Mr.Park.
1 jam yang lalu, mereka berdua telah sampai di Bandara Surabaya dengan menaiki jet pribadi milik keluarga Daviez. Tidak heran, perjalanannya berlangsung dengan cepat.
Di tengah perjalanan Danu membuka suara, karena beliau penasaran apa yang sebenarnya terjadi, sampai malam-malam begini dia dihubungi. "Mr.Park, sebenarnya apa yang terjadi pada Tuan muda Ardan?"
"Dia masih dalam keadaan mabuk, Pak Danu," jawab Mr.Park. "Apa Anda tahu siapa Arini? Dia bilang Arini itu adalah istrinya, apakah benar?" tanya Mr.Park.
"Jadi karena Aribi Tuan kemari? Memang benar Arini itu adalah istrinya, lebih tepatnya istri siri Tuan Muda," jelas Danu yang membuat Mr.Park tidak percaya.
"Apa? Istri siri?" kata Mr.Park terkejut, "Tapi, Tuan Ardan tidak pernah menceritakannya kepada saya, Pak!"
"Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali saya dan para warga kampung. Karena pernikahan siri itu dilakukan sebab kesalahfahaman saja," jelas Pak Danu sambil terus fokus menyetir.
"Lalu?" tanya Mr.Park.
"Tapi Tuan Muda mau menikahi gadis itu, walaupun sebenarnya mereka tidak melakukan apa-apa. Tapi saya kira, Tuan Muda telah jatuh cinta pada Arini," jelas Danu panjang lebar.
Obrolan Pak Danu dan Mr.Park terhenti saat mereka sudah memasuki kawasan villa milik Ardan. Menghentikan mobilnya, lalu Danu memberikan kunci villa kepada Mr.Park. Mr.Park pun membangunkan Ardan yang masih tertidur pulas, Ardan hanya bergeming. Lalu Mr.Ardan dengan bersusah payah memapah Ardan memasuki villa di bantu oleh Pak Danu. Sampai di depan pintu, Mr.Park membukakan pintunya.
"Pak Danu, terimakasih banyak sudah membantu. Dan maaf sudah merepotkan Anda malam-malam begini," kata Mr.Park dengan bahasa khasnya.
"Sama-sama, sudah tugas saya Mr.Park. Baiklah saya akan kembali ke rumah, hubungi saya jika butuh sesuatu," ucap Danu.
"Baik, Pak Danu."
Danu pun berjalan memasuki mobilnya dan meninggalkan Mr.Park yang kesusahan dengan Ardan yang masih dalam kondisi mabuk.
Pagi hari di villa, Ardan membuka matanya perlahan. Pusing di kepalanya masih terasa akibat terlalu banyak minum kemarin malam. Ia pun melihat sekitar, ia tahu ia sedang berada di mana. ternyata Mr.Park benar-benar membawanya ke villa yang ada di Malang. Matanya beralih pada sosok laki-laki bertubuh besar yang tertidur pulas di sofa. Ia merasa sangat bersalah pada Mr.Park.
Ardan pun bangkit dari tidurnya yang hanya menggunakan celana panjangnya. Ia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri agar sisa bau minuman beralkohol sisa semalam hilang.
Di lain tempat, gadis itu tengah duduk bersama Mirae di dapur. Dengan sarapan lengkap yang ada di atas meja. Beberapa hari semenjak Rahmi meninggal, Mirae-lah yang selalu menemai Arini dan Rizky. Bahkan ia menginap di rumah Arini, untuk memastikan tidak akan terjadi apa-apa pada sahabatnya itu.
"Ki, ayo sarapan dulu! Mbak udah bikinkan nasi goreng spesial buat kamu" kata Mirae sedikit berteriak karena Rizky yang masih berada di dalam kamarnya.
"Iya, Mbak" jawab Rizky, ia pun keluar kamar menuju dapur lengkap dengan seragam sekolahnya.
"Udah ganteng rupanya kamu,Ki," puji Mirae.
"Iya dong, tentunya." Rizky pun duduk di dekat Arini, di pandanya kakak keponakannya tersebut. "Selamat pagi Mbak Arini yang cantik."
Arini pun melemparkan senyum pada Rizky, kehadiran Mirae dan Rizky membuat dia sedikit terhibur. Hanya Rizky yang ia punya sekarang.
Mereka bertiga pun makan, selasai makan Rizky pun berangkat sekolah dengan sepeda miliknya. Sedangkan Mirae dan Arini membersihkan piring kotor bekas mereka sarapan tadi dan mencucinya. Di tengah kegiatan mereka mencuci piring suara ketukan terdengar dari luar, Arini pun berinisiatif membukakannya, namun Mirae menahan lengannya.
"Biar aku aja, Ar," kata Mirae. Dibalas anggukan oleh Arini.
Mirae pun membukakan pintu, dirinya sedikit terkejut karena yang datang adalah Ardan. "Kak Ardan?" Mirae pun langsung menarik tangan Ardan menjauh dari pintu. Ardan hanya menurut saja.
"Ada apa? Apa Arini baik-baik saja?" tanya Ardan dengan sedikit bingung dengan tingkah Mirae.
"Kak Ardan, ngapain ke sini?" Mirae balik bertanya.
"Memangnya kenapa? Dia istriku." jawab Ardan santai.
"Udah tahu, tapi untuk sekarang jangan temui Arini dulu. Kondisi Arini baru saja stabil, Kak. Aku takut dia akan kembali seperti kemarin-kemarin," kata Mirae dengan mata berkaca-kaca.
"Tida perlu takut, aku akan coba bicara baik-baik dengan dia. Aku sangat mengkhawatirkannya," ujar Ardan.
"Aku tahu, Kak. Tapi kondisi—" belum selesai dengan ucapannya, Arini sudah muncul di depan mereka berdua. Mirae pun gelagapan dengan kedatangan Arini. Sedangkan Arini tetap diam dengan menatap tajam ke arah Mirae dan Ardan, setelah itu ia meninggalkan mereka tapi tangannya dihentikan oleh Ardan.
"Arini, tunggu dulu! Aku ingin bicara," pinta Ardan.
Arini tanpa menoleh ke arah Ardan segera melepaskan cengkraman Ardan di pergelangan tangannya, lalu ia masuk ke dalam rumah dan menguncinya. Ardan tidak banyak berbuat, ia hanya pasrah dengan sikap Arini.
"Kak Ardan, lebih baik kita pulang. Nanti aku akan coba bicara dengan Arini," kata Mirae dan dibalas anggukan oleh Ardan.
Pada akhirnya Mirae dan Ardan pergi meninggalkan rumah Arini.