Di dalam mobil milik Ardan, Arini hanya diam sambil melihat ke arah jalanan. Begitu juga dengan Ardan, sesekali dia melirik gadis yang ada di sampingnya tersebut. Sekitar tiga puluh menit, mobil itu telah sampai di pusat perbelanjaan. Memarkirkan mobilnya, setelah itu Ardan melepas sabuk pengaman. Namun sejenak ia melirik Arini yang diam dengan wajah kebingungan.
"Kamu tidak turun?" tanya Ardan.
"Untuk apa kita ke sini? Bukannya Kak Ardan tadi ingin ke dokter?"tanya Arini dengan polos.
"Hehe ... aku hanya menggodamu Arini. Maaf ...!" kata Ardan sambil tersenyum.
Arini yang mengetahui dirinya hanya dibohongi pun merapatkan kedua alisnya. Ardan yang melihat itu tersenyum dan langsung melepaskan sabuk pengaman Arini. "Sorry girl, ayolah!"
Mau tidak mau Arini pun keluar mengikuti Ardan. Memasuki pusat perbelanjaan tersebut, mata para pengunjung lain sibuk memperhatikan pasangan tersebut. Terutama pada Ardan, ya ... pria itu selalu jadi pusat perhatian dimanapun dia berada karena wajah tampan serta tubuh proporsionalnya. Ardan yang menjadi pusat perhatian hanya bersikap biasa saja, dia malah tidak menghiraukan. Berbeda dengan Arini yang hanya menunduk sambil berjalan, ia merasa sangat malu berjalan bersama Ardan. Lihat saja penampilannya, ia hanya menggunakan kaos dan celana seadanya. Sedangkan Ardan, ia sangat tampan dengan hanya memakai kaos berwarna hitam dan celana berwarna senada. Saat tengah sibuk dengan pikirannya sendiri, Arini yang berjalan sambil menunduk hampir saja menabrak seorang pengunjung yang tengah melintas. Ardan yang melihat itu dengan sigap merangkul pundak Arini agar terhindar. "Hei ... kalau jalan jangan sambil melamun!" seraya mencubit hidung kecil Arini.
Arini hanya mengusap hidungnya yang terlihat merah sambil menarik bibirnya ke samping.
"Makanya kalo jalan jangan ada di belakangku!" tutur Ardan.
"Kak Ardan aja yang jalannya terlalu cepat," jawab Arini sedikit kesal.
"Benarkah? Haha ... maaf-maaf!" kekeh Ardan lagi.
Tak terasa mereka berdua telah sampai di depan sebuah butik. Ardan pun mengajak Arini untuk masuk, awalnya gadis itu menolak. Tapi akhirnya ia menuruti permintaan Ardan dengan ancaman-ancaman khas Ardan.
"Selamat datang di butik kami, ada yang bisa saya bantu?" kata seorang pegawai butik.
"Bisa kamu bantu istriku mencari pakaian yang cocok untuknya?" tanya Ardan kepada pegawai tersebut.
"Tentu saja bisa, Tuan. Mari Nona iku saya!"
"Ti–tidak perlu, aku tidak ingin membeli bajuku—" Belum selesai berucap tubuh Arini didorong pelan oleh Ardan, mengisyaratkan untuk menurut.
"Aishh ... ayolah, Honey! Tidak perlu malu-malu," kata Ardan seraya mengelus pipi cabi Arini. Arini pun terkejut mendengar Ardan yang memanggilnya 'Honey', ditambah lagi perlakuan Ardan terhadapnya yang seperti suami istri yang romantis. Apa pria ini hanya berpura-pura saja? pikir Arini, wajahnya seketika langsung memerah karena malu. Bagaimana tidak malu? Ardan menggodanya yang di mana di butik itu banyak pengunjung yang memperhatikan. Arini pun berjalan meninggalkan Ardan yang tersenyum sambil mengedipkan mata kirinya.
Sambil menunggu, Ardan duduk di kursi sambil memainkan ponselnya. Lama menunggu Ardan merasa bosan, ia pun beranjak dari duduknya untuk melihat-lihat beberapa pakaian. Dan saat ada yang memanggil ia pun menoleh ke arah sumber suara. Dan betapa terkejutnya Ardan saat melihat penampilan Arini yang sangat berbeda dari biasanya.
Cantik ...
Itulah yang diucapkan Ardan saat melihat Arini yang menggunakan dress selutut tanpa lengan berwarna krem dengan motif bunga-bunga kecil, di tambah dengan rambut Arini yang terurai. Membuat Ardan tidak mengedipkan matanya beberapa saat.
"Kak? Kak Ardan?" panggil Arini.
"So beautifully?"
Arini yang mendengar tidak mengerti apa yang diucapkan Ardan. Setelah membeli beberapa pakaian, mereka pun melanjutkan berbelanja kebutuhan dapur. Dirasa cukup. mereka memutuskan untuk pulang ke villa.
Sampai di villa, Arini segera menuju dapur untuk memasak bahan yang ia beli tadi sebagai makan siang. Sedangkan Ardan pergi ke lantai atas untuk membersihkan dirinya. Sungguh hari yang sangat bahagia bagi Arini. Inikah yang namanya jatuh cinta? Sungguh indah, rasanya jantung selalu berdegup kencang saat berada didekat orang yang kita sukai. Sejenak Arini melupakan yang diucapkan ibunya tempo hari.
Arini yang sedang memasak sambil tersenyum sendiri membayangkan kegiatan yang mereka lakukan tadi. Tanpa sadar, Ardan yang baru saja turun tengah memperhatikan Arini yang tersenyum sendiri.
"Gadis ini cantik kalau tersenyum, tapi sayang dia jarang tersenyum," gumam Ardan dalam hati. Ardan pun menghampiri Arini yang tengah sibuk memasak. Tanpa sepengetahuan Arini, Ardan tiba-tiba memeluknya dari belakang. Membuat Arini terperanjat karena kaget sekaligus tidak percaya.
"Ka–kak Ardan? Tolong lepasin!" pinta Arini dengan gugup.
"Tidak, aku tidak mau," jawab Ardan dengan santainya seraya mempererat pelukannya di perut Arini.
"Lepaskan!" kata Arini sedikit membentak.
"Aku ingin memelukmu sebentar saya, Honey," jawab Ardan seraya tangannya mematikan kompor yang masih menyala. Ia pun dengan cepat membalikkan tubuh Arini agar menghadap ke arahnya. Tatapan mereka berdua bertemu, perlahan tangan Ardan mengelus lembut bibir Arini yang terlihat seksi di matanya. Ardan perlahan memiringkan wajahnya, berniat ingin mengecup bibir itu, tanpa ragu ia pun mendaratkan bibirnya di bibir Arini. Sontak Arini terkejut bukan main, mata gadis itu melotot dengan sempurna saat menerima kecupan singkat itu, ini kali pertamanya ia dicium dan dia tidak menyangka Ardan-lah yang merenggutnya pertama kali. Dengan cepat Arini mendorong tubuh Ardan agar menjauh darinya, tapi langsung ditahan oleh Ardan.
Ardan dengan sedikit memaksa memulai kembali mencium bibir Arini, tapi dengan sangat lembut. Ia tahu bahwa ini kali pertama Arini berciuman. Sangat beruntung bukan Ardan dapat berciuman gadis yang polos ini, walaupun sedikit memaksa. Arini berusaha melepaskan bibirnya dari dari Ardan, namun tangan Ardan menahan tekuk Arini. Perlahan berontakan Arini melemah, ia mencoba memejamkan matanya, berusaha menikmati setiap kecupan di bibirnya. Arini dengan tubuh yang kaku memutuskan diam saja. Ada gelanjar aneh yang dia rasakan di tubuhnya. Entah apa? Sulit untuk dijelaskan. "Ternyata seperti ini rasanya berciuman?" gumamnya dalam hati.
Setelah beberapa saat, Ardan melepaskan ciumannya, menatap penuh cinta pada Arini. Tangannya mengusap bibir Arini yang basah dengan lembut, lalu dia memeluk erat tubuh mungil istri sirinya.
"Aku sangat merindukanmu, Arini. Rasanya aku tidak ingin jauh darimu, ingin selalu berada disisimu. Menjagamu, menemani hari-hari sulitmu. Kau tahu, Arini? Kau mirip sekali dengan ibuku. Tubuh hangatmu sangat menenangkan," ungkap Ardan jujur.
Mendengar ungkapan dari Ardan, Arini membalas pelukkan Ardan dengan ragu. Ia tahu, Ardan dan dirinya sama-sama pernah kehilangan orang yang ia sayang. Melepas pelukannya, Ardan pun memegang kedua tangan milik Arini, menatapnya kembali.
"Arini, aku ingin menikahimu secara resmi. Apa kau mau?" tanya Ardan dengan nada serius. Awalnya, Ardan hanya berniat menggoda gadis itu. Tapi lama kelamaan ia merasa nyaman dekat dengan Arini, tingkah polos gadis itu membuat ia jatuh cinta.
Arini yang mendengar merasa bahagia, namun sekejap ia teringat apa yang dikatakan ibunya tempo hari. Seketika kebahagian itu sirna, wajahnya kembali tertunduk, menahan rasa sesak di dadanya. Arini pun membalikkan tubuhnya, berusaha mengalihkan perhatian Ardan. "Kak Ardan, jangan selalu menggodaku. Tunggulah! Setelah ini masakannya akan matang."
"Arini, aku sedang tidak menggodamu. Aku serius, percayalah!" Ardan berusaha meyakinkan.
"Sudahlah, Kak Ardan," kata Arini mencoba tidak menghiraukan.
"Arini, lihat aku!" seraya membalikkan tubuh Arini kembali. "Apa wajahku terlihat seperti berbohong? Aku benar-benar ingin menikahimu secara resmi. Aku menyukaimu, Arini. Memang awalnya aku hanya menggodamu saja tapi lama-lama aku terjebak sendiri dengan rasaku."
"Itu tidak mungkin. Aku tidak menyukai Kak Ardan," ujar Arini berusaha menutupi rasanya.
"Aku tidak peduli kau menyukaiku atau tidak, tapi aku akan membuatmu menyukaiku," ucap Ardan yakin.
Arini dengan berusaha menahan rasa sesak di dadanya berusaha berbicara. "Walaupun aku menyukaimu, itu tidak mungkin. Sebenarnya, waktu pagi aku kemari dan mustahil. Aku kemari hanya ingin mengambil barang-barangku, dan aku tidak akan kembali ke villa ini lagi. Aku ingin mencari pekerjaan lain."
"Ada apa sebenarnya, Arini? Kenapa tiba-tiba mendadak?" tanya Ardan bingung.
"Aku bukan orang yang pantas untuk berada di sini." Arini mengatakan dengan suara yang bergetar, mencoba menahan air matanya yang ingin jatuh.
"Kata siapa? Kamu memiliki sesuatu yang berbeda dari perempuan yang lain. Aku menyukaimu apa adanya. Jika memang orang tuamu tidak merestui hubungan kita, aku akan berusaha meyakinkan mereka," jelas Ardan.