Axton menekan keningnya, sembari terduduk lesu di atas kursi besar kebanggaannya di mansion itu. Matanya terpejam, jakun di lehernya bergerak naik dan turun. Ia memikirkan kebersamaannya dengan Ameera tadi malam, masih merasa tidak habis pikir dengan Ameera yang belum juga mampu menerima kenyataan.
Di sisi lain, Axton masih harus mengawasi gerak-gerik Bertran Purnama yang masih saja bersembunyi di dalam istana dengan para prajurit. Belum lagi, Bertran juga memiliki koneksi dengan para petinggi, dan kemungkinan sebuah organisasi hitam. Jujur saja, baru kali ini Axton merasa kesulitan dalam menghadapi cecunguk serendah Bertran Purnama.
"Tuan Axton." Justin menyebut nama Axton sesaat setelah dirinya memasuki ruangan itu, sementara Axton tampak tidak menyadari keberadaannya. "Apakah Tuan baik-baik saja?" selidiknya setelah itu.
Axton berangsur membuka matanya. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah langit-langit ruangan. Detik berikutnya, ia menghela napas dan memutuskan untuk segera menatap sang kaki tangan.
"Kau? Mm, ya, aku baik-baik saja, Justin," jawab Axton untuk pertanyaan Justin yang sempat ia abaikan.
Justin menaruh curiga. Pria pemilik netra biru tersebut tidak memercayai pengakuan Axton yang seolah baik-baik saja. "Sebuah berita menyatakan bahwa Bertran Purnama memberikan keterangan palsu. Para reporter yang sempat hadir di gedung tua tadi malam, kali ini cukup menguntungkan pihak kita, Tuan."
"Benarkah?" sahut Axton.
Justin mengangguk tanpa ragu. "Para anggota organisasi kita yang berada di lokasi memberikan ancaman pada para reporter dengan mengatasnamakan Bertran Purnama. Hal tersebut cukup membuat orang-orang televisi itu terkejut dan beralih menyerang Bertran Purnama."
"Mereka ... cukup bodoh rupanya." Maksud Axton kali ini mengenai para reporter tersebut. Lalu, seringai sinis lantas terlukis di bibirnya yang manis. "Tapi, ... juga pintar."
Dahi Justin mengernyit. "Mm? Bodoh dan pintar?"
"Pemberitaan mengenai Bertran Purnama pasti bisa menggegerkan seluruh negeri. Hal itu tentu saja memberikan keuntungan tersendiri bagi pihak televisi. Anggota organisasi kita yang berada di lokasi juga sangat cerdas, ah, mungkin juga nakal. Mereka memiliki ide untuk mengancam atas nama Bertran Purnama. Reporter itu pasti merasa sangat kecewa karena mengira bahwa Bertran tidak hanya berbohong, tapi nyaris membuat mereka celaka. Meskipun begitu para reporter tetap diuntungkan karena mendapatkan topik begitu menakjubkan, bukan?"
Justin mulai paham. Sementara Axton berangsur puas dan sedikit lega. Setidaknya, ketika Bertran sedang menjadi pembicaraan, namanya sebagai tersangka kasus penambangan ilegal akan terpendam dalam beberapa waktu.
"Siapkan mobil untukku, Justin. Ada hal yang ingin aku lakukan," titah Axton pada tangan kanan kepercayaannya itu.
Justin kembali mengernyitkan dahi. "Mm, baik, Tuan." Namun, ia memilih untuk setuju saja daripada banyak bertanya.
"Katakan pada Ameera, dia juga harus bersiap-siap untuk pergi denganku hari ini."
Tunggu! Pikir Justin detik itu juga. Lalu, ia menatap Axton penuh tanda tanya. Kali ini, sepertinya ia sudah tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Apakah Anda akan mengajak Nona Ameera untuk kencan pada siang hari ini, Tuan Axton?"
"Kencan?" Axton tersenyum tajam. "Entah. Aku hanya ingin mengajaknya keluar dari mansion ini, supaya dia tidak banyak merengek lagi."
"Siang hari bukan waktu yang tepat untuk Anda, jika Anda keluar dari tempat ini, Tuan Axton."
"Aku hanya ingin ... ke rumah mendiang orang tuaku. Bukan ke pusat perbelanjaan atau tempat umum yang banyak pengunjungnya. Jadi, kau tenang saja, Justin," kata Axton mencoba menenangkan hati Justin yang dirundung rasa khawatir. "Lagi pula tidak ada yang tahu wajah asli seorang Axton Axelcen."
"Tapi, Tuan ...? Mm, saya akan mendampingi Anda sa—"
"Tidak, Justin," tolak Axton cepat. "Aku hanya ingin bersama Ameera."
Justin menghela napas dan menatap Axton dengan kelopak matanya yang bergetar. Jika membicarakan soal Ameera, Axton memang sering tidak mau menerima usul dari siapa pun. Sejujurnya, Justin menilai bahwa keberadaan Ameera sangat mengganggu. Namun, apa boleh buat, keputusan atasannya yang memiliki kekuasaan besar atas organisasi Black Wings tidak bisa diganggu gugat lagi.
Justin akhirnya benar-benar menyanggupi perintah dari sang tuan. Selepas keluar dari ruangan itu, Justin lantas menuju kamar Ameera. Melalui Surti, ia memberi tahu bahwa Axton memberikan titah agar Ameera segera bersiap-siap untuk keluar dari mansion siang hari ini. Lalu, Justin mempersiapkan mobil yang lagi-lagi di bawah nama Herman, untuk memenuhi permintaan dari tuannya itu.
***
Ameera tidak tahu Axton akan membawa dirinya ke mana. Setelah diperintah agar dirinya segera bersiap-siap karena Axton akan mengajaknya keluar, muncul sebuah harapan di benak Ameera. Harapan yang masih mengacu pada sebuah kebebasan. Siapa tahu di tengah perjalanan, ia memiliki kesempatan untuk melarikan diri atau meminta bantuan pada beberapa warga sipil.
Axton menghela napas, lalu berdeham. Tepatnya saat mobilnya terhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah menyala, ia menoleh dan menatap Ameera. Istrinya itu masih saja terdiam dengan wajah berekspresi datar. Saat ini, Ameera terbilang cukup tenang. Namun alih-alih lega atau bersyukur, Axton justru merasa risau. Kegemingan Ameera cukup membuatnya curiga.
"Apa kau tidak ingin tahu aku akan membawa dirimu ke mana, Ameera?" selidik Axton sembari melaju mobil itu lagi. "Kau tidak penasaran sama sekali, Ameera?"
Mata Ameera mengerjap hingga tiga kali. Ia menelan saliva, menghela napas, kemudian berkata, "Untuk apa bertanya jika tidak ada harapan kebebasan di dalamnya?"
"Kau ... masih saja membahas soal itu?" sahut Axton tidak suka.
"Kenapa? Kau sudah muak mendengar semua keluhanku dan harapanku ingin bebas darimu?"
"Tidak. Aku lebih muak jika harus kehilanganmu yang sudah susah payah aku miliki, Ameera. Hanya ... sedikit heran saja. Kau cukup keras kepala untuk ukuran wanita yang naif dan bodoh."
"Aku tidak bodoh, Sialan!" tukas Ameera lalu menatap Axton dengan nanar.
Gigi Ameera pun turut menggertak, saat kekesalan mendadak membuncah di dalam hatinya. Namun, ketika teringat betapa berbahayanya Axton, Ameera langsung menyudahi sikapnya tersebut.
Lebih baik mengambil sikap tenang, daripada menentang yang berpotensi membuat Axton semakin tidak senang. Apalagi kesempatan untuk keluar dari mansion mungkin akan jarang terjadi setelah ini. Artinya, saat inilah kesempatan satu-satunya yang dimiliki Ameera untuk benar-benar melarikan diri.
Ameera menghela napas, lalu mengembuskan napasnya secara perlahan. Matanya kembali menatap ke arah depan, memeriksa setiap tempat yang cukup bagus untuk ia jadikan alasan menepi sebentar.
"Kau terlalu naif, Ameera," celetuk Axton kembali membahas perbincangan yang menurutnya belum terselesaikan. "Jika aku jadi kau, aku akan pergi sejak dulu, daripada menjadi budak ibumu sendiri. Kudengar Ameera bayi juga sempat ingin dibunuh oleh Catarina, bukan?"
Ameera merasa dadanya seperti ditusuk, ketika Axton membahas soal tindakan ibunya di masa silam. Perkataan Axton yang bukan lagi rahasia pribadi dan beberapa warga yang tahu soal tindakan itu, membuat Ameera memilih membisu.
"Tapi, aku tidak akan membunuhmu, Ameera. Aku akan merawatmu dengan baik, jika kau menurut dan segera menerima kenyataan ini," lanjut Axton.
Bagaimana bisa aku menurut pada sosok yang kejam dan kerap menyiksa orang lain? Bukankah pembunuhan juga sesuatu yang biasa kau lakukan, Axton? Pikir Ameera bertanya-tanya.
"Axton?" Ameera menatap Axton lalu tersenyum secara terpaksa. "Bolehkah aku meminta sesuatu?"
"Akan aku berikan," jawab Axton tanpa ragu.
"Bisakah kau memberiku waktu untuk membuang air kecil sebentar. Di depan ada pom bensin, bisakah kau turunkan aku di sana?" pinta Ameera. "Aku benar-benar sudah tidak tahan ...."
Axton tersenyum lalu memperlambat laju mobilnya. Benar-benar gadis yang naif, begitu pikirnya.
***