Dalam keadaan masih setengah sadar, Ameera menatap langit-langit ruangan yang masih buram. Ia tidak tahu ada di mana sekarang dan sudah berapa lama dirinya tidak sadar. Kepalanya hanya merasa pusing, tubuhnya berat dan pegal-pegal. Seingatnya, ia masih berlari untuk kabur dari sosok Axton Axelcen, suaminya sendiri. Entah mengapa, saat ini ia justru sudah terbaring di suatu tempat yang asing.
Ameera kembali mengerjap-ngerjapkan matanya, sampai pandangannya menjadi lebih normal dan jelas. Saat itulah, ia baru tahu bahwa ruangan itu bukanlah kamar pribadi yang diberikan oleh Axton untuknya. Kamar di mana dirinya berada benar-benar berbeda. Seperti salah satu ruangan dari bangunan klasik kuno.
"Uh ... aku ada di mana?" gumam Ameera sembari membangunkan diri, sekaligus menekan keningnya. "Axton ...? Dia membawaku ke tempat apa?"
Mata Ameera menelisik menatap setiap penjuru ruang kamar. Sepertinya rumah itu berdiri hanya dengan kekokohan kayu. Bisa dibilang sebagai rumah tradisional, benar-benar klasik dan minim material bangunan modern.
Hati Ameera tentu saja dilanda rasa heran. Mana mungkin seorang mafia dari Amerika memiliki rumah unik yang bisa jadi hanya ada di Indonesia? Secara kasat mata saja, kamar itu jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan kamar Ameera yang berada di mansion megah milik Axton yang diwakilkan atas nama Herman.
"Aku ada di mana? Apakah seseorang menolongku?" ucap Ameera berharap. Namun, ia langsung tertawa kecut. Tidak mungkin seseorang mampu menolongnya terlepas dari jerat cinta sang mafia.
Jika menelisik ke dalam ingatannya dengan lebih jelas, Ameera juga ingat bahwa ia sempat dibantu oleh tiga warga saat dirinya terjatuh. Namun, tiba-tiba saja Axton datang dan berlagak layaknya pahlawan. Lalu Ameera diselimuti ketakutan. Rasa lelah dan mental yang dibuat syok membuatnya langsung tumbang.
Suara pintu kayu dibuka, membuat Ameera cukup terkejut. Tak lama kemudian, muncul seorang Axton dengan beberapa barang bawaan. Ameera menelan saliva sembari menatap pria itu dengan mata bergetar. Nyatanya harapannya untuk dibebaskan masih tetap menjadi angan-angan. Entah tempat siapa yang Axton singgahi saat ini, yang pasti pria itu tak bisa membiarkan Ameera pergi.
"Bagaimana keadaanmu? Masih pusing? Mual?" Tanpa ekspresi berlebihan, Axton bertanya. Wajahnya yang tampan mengerikan sama sekali tidak menunjukkan raut kekhawatiran.
"Makanlah. Sudah terlalu siang," ucap Axton lagi ketika Ameera tidak kunjung memberikan jawaban.
"Kenapa kau mengejarku?" Alih-alih berterima kasih atau menyambut makanan yang dibawakan oleh sang suami, Ameera justru mempertanyakan hal yang sebenarnya sudah tidak perlu.
Axton menghela napas, lalu menatap Ameera. "Aku tidak mengejarmu, kaulah yang tidak bisa kabur dariku, Ameera. Tepati kesepakatan kita, kau ... sudah kalah! Maka dari itu terimalah kenyataan ini dan lekaslah mencintai suamimu sendiri."
"Aku tidak sudi. Ribuan kali pun aku tidak akan keberatan untuk mengatakan soal ini, aku tidak sudi hidup bersama, Axton. Lebih baik aku mati saja. Aku ... benar-benar akan mati jika seandainya aku benar-benar tidak bisa terlepas dari dirimu, Penjahat!"
Axton mendesah, lelah. Ameera lagi-lagi membahas hal, jawaban, serta keinginan yang sama. Jujur saja, ia sudah muak. Rasanya, ia harus segera mencicipi tubuh Ameera, agar istrinya itu tidak lagi memiliki alasan untuk melarikan diri.
Selama ini, sepertinya Axton sudah terlalu baik sebagai seorang suami. Ia rela menahan diri hanya untuk menjamah tubuh istrinya sendiri. Ia masih berbaik hati dengan memberikan kesempatan agar Ameera merelakan tubuhnya tanpa dipaksa. Namun, wanita itu justru masih saja keras kepala.
"Kau masih dalam keadaan lemah, Ameera. Aku bisa saja melucuti pakaianmu sekarang. Kau ... tidak memiliki daya untuk melawanku," ucap Axton serius.
Napas Ameera mendadak tersendat ketika Axton berbicara seperti itu. Tentu tidak mungkin ia merelakan tubuhnya dijamah oleh penjahat kelas kakap. Apalagi Axton telah melukai orang-orang tak berdosa dan saat ini tengah menjadi buronan para aparat dunia.
Ameera memejamkan mata dan menghela napas dalam-dalam. Ia harus tenang, tidak boleh memprovokasi Axton. Dirinya harus tetap baik-baik saja, sekalipun nantinya akan memilih mati. Tanda daranya tak boleh digores sedikit pun oleh suaminya sendiri.
"Makanlah." Axton menyerahkan salah satu box dari makanan itu untuk Ameera.
"Aku tidak lapar," tolak Ameera sembari memalingkan wajah.
"Kau baru sadar, dan aku yakin kau pingsan karena kelaparan."
Ameera tetap menggeleng. "Aku tidak mau. Jangan memaksaku untuk menuruti semua keinginanmu, Axton. Aku ... beri aku satu kesempatan untuk membuat keputusan. Tolong ...."
Axton menghela napas. "Baiklah kalau begitu."
"Dan ... tolong tinggalkan aku sendiri dulu. Aku masih pusing, aku ingin kembali tidur. Katakan pada pemilik tempat ini, aku masih ingin menggunakan kamarnya lagi."
"Tempat ini juga milikku, yang artinya juga milikmu. Kau bebas menggunakannya, Ameera."
Axton lantas berlalu setelah mengungkapkan kepemilikan atas rumah itu. Membuat Ameera cukup terkesiap. Ternyata sang mafia memiliki rumah klasik, setelah mansion yang besar. Namun, Axton memanglah berasal dari Indonesia. Entah bagaimana bisa dirinya menjadi salah satu mafia dari Amerika. Yang pasti, Axton memiliki segudang kemampuan untuk menyelinap dan memiliki beberapa aset di tanah kelahiran.
Selepas Axton keluar dari kamar, Ameera menghela napas dalam. Sayangnya, kelegaan hati belum sanggup ia dapatkan. Apalagi sekarang, sepertinya stok air matanya sudah penuh lagi. Yang ia lakukan hanyalah terisak dalam balutan kesedihan.
Aksi kabur yang kembali gagal membuat Ameera semakin pesimis. Dapat dipastikan ia tidak akan pernah bisa terlepas dari jerat sang mafia yang kejam. Ameera menangis, sakit rasanya. Ia benar-benar tidak bisa menerima kenyataan. Harapan untuk mati kembali hadir dan kini jauh lebih besar.
"Aku tidak mau, aku tidak bisa. Aku tidak mauuu!" keluh Ameera terus mengatakan penolakannya terhadap kehidupannya saat ini. "Paman ... tolong aku, Tuhan bantu aku ...."
Tangis yang selalu ia tahan belakangan ini akhirnya menjadi bom waktu. Histeris, jeritan, dan kepiluan itu mengisi ruang kamar yang sepertinya tidak kedap suara. Namun, Ameera tidak peduli. Biar saja, Axton mendengar.
"Aku memang harus tiada, agar bisa kabur darinya." Ameera bergumam saat tangisannya mulai mereda. Matanya menatap nanar lurus ke depan. Rencana itu kembali datang.
Ameera sudah tidak sanggup! Tekanan yang Axton berikan sudah terlalu besar. Mulai dari pemaksaan mengenai cinta yang dituntut oleh Axton, kekejaman Axton pada orang lain saat Ameera tidak menurut, keputusan Axton untuk mengurung Ameera di sangkar emas serta memberikan banyak batasan, sampai pada kabar bahwa Axton merupakan penyebab bencana di area pertambangan. Apalagi kali ini diiringi ancaman tentang keinginan Axton untuk menjamah tubuh Ameera. Bukankah tekanan-tekanan itu termasuk kejam untuk gadis senaif dan selemah Ameera?
Ya, nyatanya hati Ameera sudah lelah, kakinya pun lelah, dirinya juga semakin lemah. Dengan kenyataan mental dan fisik yang sudah serusak itu, sudah seharusnya Ameera beristirahat dalam kedamaian, bukan? Benar, seharusnya memang begitu.
Kini tinggal menentukan hari yang tepat baginya untuk melarikan diri secara sebenar-benarnya. Hari yang cukup indah untuk menyusul sang paman di atas sana.
***