Bertran Purnama yakin bahwa Axton Axelcen memang ada di Indonesia. Dan rencana yang ia buat untuk menjebak Axton gagal karena ulah dari pria itu. Namun, sampai saat ini ia tidak memiliki bukti apa pun untuk melaporkan keberadaan Axton pada pihak yang berwenang. Apalagi para reporter yang marah dan kecewa membuatnya di ambang bahaya besar. Namanya sedang menjadi perbincangan karena dinilai telah menipu stasiun televisi dan fatalnya nyaris mencelakai para reporter yang bertugas.
Bertran menghela napas, lalu berangsur bangkit dari duduknya. Ia berjalan ke sana kemari seolah hendak memperhalus lantai kantornya sendiri. Menghadapi pimpinan mafia yang terkenal berbahaya, tetapi juga ramah memang sangat menyulitkan. Ia sendiri bahkan belum pernah melihat wajah Axton.
Kalau saja pada saat itu Bertran tidak terlalu gegabah untuk membuat rumor bahwa Axton Axelcen-lah yang masuk dan mencari koneksi dalam melakukan pertambangan ilegal, mungkin nama Bertran sekaligus keamanannya tidak terlalu seserius saat ini. Hanya berbekal informasi mengenai latar belakang sang mafia, Bertran membuat keputusan gila. Menurutnya orang-orang akan percaya jika pelaku di balik insiden penambangan itu adalah sang pimpinan mafia Sayap Hitam yang memiliki darah murni dari Indonesia, sebelum diadopsi. Sayangnya, keputusan itu lantas membuat Bertran berada di dalam bahaya besar.
"Apa pihak Red Rabbit belum juga memberikan kabar, Sekretaris Jito?" tanya Bertran pada sekretaris pribadinya yang bernama Jito.
Jito menelan saliva dan menggeleng pelan. "Belum ada sama sekali, Tuan Besar. Sepertinya mereka belum ingin turun tangan atas keluhan Tuan Besar," jawabnya penuh kehati-hatian.
"Sial!" umpat Bertran sembari memukul papan meja kerjanya yang sudah ia dekati. "Geng hitam sialan itulah pelaku sebenarnya. Mereka menjanjikan keuntungan besar untukku, tapi bukan keuntungan yang aku dapatkan saat ini, melainkan kesialan yang seolah tidak berujung. Belum lagi Axton, bocah kecil itu terus-terusan mengirim ancaman bagiku."
"Bukankah lebih baik Anda mengubah rumor tersebut, Tuan Besar? Beranggapan bahwa Axton bukanlah dalang sebenarnya, melainkan Red Rabbit. Untuk saat ini, yang perlu kita lakukan hanyalah mencari aman."
"Kau sudah gila?!" Bertran menyahut tegas, matanya pun menatap nanar ke arah sekretaris. "Tidak bisa, Jito! Kau pikir masalah ini hanyalah sebuah permainan ular tangga? Kita sudah terjebak di antara kedua mafia. Saat ini Red Rabbit yang memiliki kekuasaan besar atas diri kita. Mereka mengetahui di mana pun markas pribadi kita, mereka memiliki bukti bahwa perusahaan kita terlibat pada penambangan ilegal itu. Sementara Axton? Tidak, dia tidak memiliki bukti apa pun. Dia tidak tahu apa-apa. Dia hanyalah cecunguk bodoh yang bisanya hanya main kekerasan saja!"
Jito menghela napas, untuk membuang rasa sesak yang langsung mencengkeram dadanya. Ucapan tuannya tidak salah, yang memegang kendali atas perusahaan bukanlah Axton, melainkan geng hitam bernama Red Rabbit. Pihak Red Rabbit bisa memberikan ancaman jauh lebih besar untuk Bertran dan perusahaannya. Pun pada Axton. Jika beralih membela Axton, belum tentu pimpinan Sayap Hitam alias Black Wings tersebut menerima kehadiran Bertran. Apalagi Sayap Hitam terkenal atas kekejamannya, sebagai organisasi hitam yang sering mengirimkan pembunuh bayaran, penjualan data dan senjata, hingga beberapa barang lain yang terlarang.
Menurut informan pribadi Bertran yang sudah tidak asing dengan nama Sayap Hitam dan tentu saja Axton, Sayap Hitam bisa membunuh siapa pun tanpa banyak pikir. Jadi, mendadak membelot untuk membela Sayap Hitam pun pasti akan beresiko. Lebih baik bertahan dan menunggu kabar dari Red Rabbit, meski kecemasan yang Bertran rasakan pasti akan berlangsung cukup lama.
"Setidaknya ...," kata Jito. "Rumor yang beredar bahwa Axton Axelcen merupakan mafia yang melakukan pertambangan itu, masih membuat Tuan Besar dan perusahaan baik-baik saja dalam beberapa bulan ke depan. Kita hanya perlu membesarkan rumor itu dengan mengatakan jika Axton Axelcen dan pasukannya berada di negara ini, negara yang seharusnya dia hindari. Pergerakan dia pasti akan semakin sulit, lalu kita hanya perlu menunggu keputusan dari Red Rabbit saja, Tuan."
Bertran menghela napas. "Aku pikir juga begitu, hanya saja para reporter sudah sulit untuk memercayai kita, Jito. Anak buah Axton yang hadir di gedung tua itu mengaku sebagai anak buah kita dan nyaris mencelakai para reporter itu."
"Saya akan meyakinkan salah satu reporter dari stasiun televisi yang pada saat itu tidak Tuan undang untuk datang. Lagi pula, berita ini juga akan sangat menguntungkan untuknya."
Bertran menatap Jito dengan pandangan mata yang dalam. Ia tidak memberikan jawaban, melainkan hanya manggut-manggut. Meski begitu, Jito tetap tahu bahwa atasannya tersebut menyetujui ide yang ia berikan. Lantas, Jito merundukkan badannya lalu pamit untuk mengerjakan tugas yang ia buat sendiri sebagai saran.
Lama terdiam setelah Jito berlalu, tiba-tiba saja Bertran melebarkan matanya. Seringai tajam pun terlukis di bibirnya. Pria paruh baya yang sedang di ambang bahaya tersebut akhirnya mendapatkan cara sendiri.
"Ya, bukankah seharusnya aku membuat kedua organisasi hitam itu saling berperang?" Bertran menyeringai lagi. "Jika kedua kubu berperang dan mati, akulah yang akan aman. Setelah itu, salah satu dari mereka tetap akan menjadi tersangka. Hahaha ... mengapa tidak dari dulu aku berpikir seperti ini?"
***
Ameera telah dibawa kembali ke mansion megah milik Axton. Sementara Axton masih saja murung dan tidak mengatakan apa pun di sepanjang perjalanan sampai saat ini ketika dirinya membantu Ameera berbaring di tempat tidur. Kecewa, perasaan itulah yang Axton rasakan. Rencana ingin mengajak Ameera mencari udara segar di luar sana berakhir gagal total. Wanita itu bahkan sampai histeris bagai kesetanan. Salah Axton juga, telah membuat Ameera mencoba kabur lalu ia gagalkan.
Mata Axton terpaku pada Ameera yang sudah terbaring. Dengan sengaja, Ameera membuang muka, tak ingin sekalipun kembali bertatap muka dengan dirinya. Istrinya itu benar-benar keras kepala, penakut, tetapi memiliki tekad yang besar. Unik tak hanya dalam segi fisik, tetapi juga sifat.
"Tidurlah," ucap Axton lalu memberikan kecupan di dahi Ameera, tidak peduli respons apa yang hendak Ameera berikan. Paling tidak sebuah tangisan dan pertentangan yang menyebalkan. Biar saja!"
Detik berikutnya, Axton memutuskan untuk undur diri. Masih banyak pekerjaan yang perlu ia urus. Ia tidak boleh hanya terpaku pada Ameera, di saat tujuannya datang ke kampung halaman belum juga terealisasikan.
Selepas Axton pergi, Ameera membangunkan dirinya lagi. Kondisinya semakin lemah, bak mayat hidup. Wajahnya yang ayu tampak pucat dan sayu. Wanita itu sudah benar-benar putus asa dan kehilangan semangat hidup. Rencana untuk melarikan diri yang ia lakukan tak pernah sekalipun berhasil. Tubuhnya terus dinodai oleh ludah Axton dan baginya sangat menjijikkan.
Ameera sudah benar-benar tidak mampu membendung semuanya. Ia harus pergi dalam keadaan yang belum sepenuhnya rusak. Ia ingin bertemu dengan pamannya, sebelum dijadikan wanita yang hina.
"Bi ...! Bibi Surti ...!" ucap Ameera, tetapi suaranya cukup pelan untuk bisa didengar oleh Surti di luar sana.
Alhasil, Ameera tidak punya pilihan. Ia harus turun dari ranjang itu. Ia membutuhkan Surti untuk melancarkan aksinya.
Lalu, entah beruntung atau bencana, mendadak Surti membuka pintu kamar Ameera. Wanita itu datang dengan paras yang cemas dan tidak sabar untuk berjumpa dengan majikannya.
"Nona Ameera? Ya ampun, Nona, Nona tidak sadarkan diri lagi?" Surti bertanya dengan panik sembari memegangi tubuh Ameera. "Mari istirahat dulu."
"Bi," ucap Ameera sembari menahan lengan Surti. "Boleh Ameera meminta bantuan?"
"Ya, ya, tentu saja, Nona."
"Begini ... Ameera ingin tidur, tapi sulit sekali. Bibi bisa mencarikan obat tidur untuk Ameera?"
"Eh? Obat tidur? Bukankah itu tidak boleh ya, Nona? Saya tanya Tuan Axton dulu, ya?"
"Tidak, tidak," tukas Ameera. "Dia yang membuat saya sakit, saya semakin akan sakit jika bertemu dengannya lagi. Tolong, Bi, kali ini saja Ameera meminta tolong dan ... mungkin yang terakhir. Ameera tidak akan melibatkan Bibi dengan sesuatu hal lagi. Dan tolong jangan katakan pada siapa pun! Tolong, Bi, Ameera hanya ingin terlelap. Mereka akan membuat Ameera tertekan terus-menerus, kalau sampai tahu."
Surti yang tidak tega sekaligus tidak peka akhirnya memberikan anggukan persetujuan. Sebelum melakukan tugasnya untuk memenuhi permohonan Ameera, Surti membantu tuannya itu untuk berbaring di atas tempat ranjang. Tak berselang lama, ia bergegas. Ia tidak mengatakan apa pun pada Axton, Justin, maupun Herman atau siapa pun yang ada di mansion itu.
Sementara itu, Ameera menatap langit-langit kamar yang dihias dengan motif batik. Batik dan rumah tradisional, sepertinya Axton menyukai sesuatu yang bergaya klasik. Sosok yang menyukai seni, tetapi jiwanya seperti monster yang kejam pada siapa saja. Sangat disayangkan.
"Setelah ini aku benar-benar akan terlepas dari jeratnya. Axton kau akan merasakan penyesalan terdalam karena telah melihat wanita yang kau cintai menderita sampai mati," gumam Ameera. Matanya berkaca-kaca, bibirnya gemetaran. "Daisy, terima kasih karena kau telah menjadi sahabat terbaik sebelum mengkhianatiku, dan Ibu, aku harap Ibu menangis setelah aku tiada di dunia ini. Aku ... akan berjumpa dengan Paman Joseph yang jelas-jelas sangat menyayangiku."
***