Inilah yang disebut sebagai neraka di dunia. Ketika orang-orang yang disayang mulai meregang nyawa. Traumatik mendalam setelah kehilangan orang tua kandung saja belum sanggup Axton atasi. Setiap malam kericuhan waktu itu terus membayangi dan merangkap menjadi mimpi terburuk. Ia tidak bisa melupakan suara bising dari peluru yang terus ditembakkan, mengerikannya nyala api yang berkobar, darah kental yang mengalir bagai lautan, hingga jasad-jasad yang menggelepar. Di depan matanya sang ayah tertembak dan ibunya mati terinjak-injak.
Belum cukup melewati tragedi yang begitu menyakitkan, Axton kembali dibuat ketakutan. Ia yang selalu garang dan kerap berbahaya berubah menjadi pria rapuh serta gemetaran. Bayangan masa lalu soal kehilangan kini hampir terulang. Istri tercintanya sedang mempertaruhkan nyawa untuk bisa terbebas dari racun yang disebabkan oleh overdosis obat tidur.
Semua salah Axton. Ya, siapa lagi kalau bukan Axton. Ameera hanya menginginkan kebebasan, Ameera ingin terbang layaknya kupu-kupu indah di luar sana. Ameera seharusnya bisa mendapatkan masa depan terbaik. Namun, apa daya, Axton sudah terlalu serakah dan memikirkan dirinya sendiri.
Coba pikirkan kembali. Axton tidak pernah sekalipun membuat Ameera merasa dihargai. Cinta yang ia rasakan jatuhnya malah seperti obsesi. Ia tergila-gila pada wanita itu sampai menjadi lebih gila. Seharusnya ia melepaskan Ameera saja setelah berhasil mengeluarkan Ameera dari rumah Catarina. Namun, Axton justru berpikir bahwa Ameera jauh lebih bahagia jika bersamanya. Sayangnya tidak, Ameera justru tertekan dan depresi. Kini, Ameera memutuskan untuk mati.
"Tuan Axton," ucap Justin yang baru saja kembali dari luar area rumah sakit. Ia menghela napas dan merasa agak tidak enak. Namun, ada sesuatu hal yang perlu ia atasi saat ini. "Tidak seharusnya Anda berada di tempat ini, Tuan Axton. Terlalu berbahaya. Dan belum lama ini, Bertran Purnama kembali memberikan pernyataan bahwa dirinya benar-benar melihat Anda di Indonesia. Anda harus kembali. Saya bisa menjaga—"
"Kau ...!" Axton mendongak, menatap Justin dengan wajah yang sudah bersimbah keringat dan air mata. Monster ini benar-benar berubah. "Bagaimana mungkin aku masih memikirkan diriku sendiri, Justin? Ameera membutuhkanku. Dia sedang mempertaruhkan nyawanya, mempertaruhkan hidup dan matinya. Lalu, aku harus sembunyi? Kau ingin membuat diriku kembali bersikap egois?! Ameera seperti ini karena selama ini aku terlalu egois, Justin!"
"Tapi, Tuan. Kondisinya sedang tidak bagus untuk Anda. Anda bisa ditangkap kapan saja. Anggota BIN bisa saja sedang memata-matai Anda, Tuan Axton. Nona Ameera bisa kami jaga, masih banyak orang yang bisa menggantikan Anda. Tapi, diri Anda, Anda harus pergi dari tempat ini. Kami akan—"
"Diamlah dan kau saja yang pergi dari tempat ini, Justin. Aku tidak peduli soal penangkapanku. Aku bukan pelaku yang membuat bencana itu terjadi! Pergilah, sebelum aku benar-benar marah!"
Justin menghela napas. Jujur saja, ia sangat gentar jika Axton sudah berada di mode marah. Alhasil, Justin tidak memiliki pilihan lain. Sudah seharusnya ia pergi dan tidak berbuat lebih lancang seperti barusan. Tugasnya masih banyak, terutama untuk terus mengawasi pergerakan Bertran Purnama yang kembali memberikan penyataan.
Sepeninggalan Justin, seorang dokter keluar dari ICU yang merupakan ruangan di mana Ameera dirawat. Tanpa memedulikan keamanannya sendiri, Axton menghampiri dokter itu.
"Bagaimana, Dok? Apa istri saya baik-baik saja?" tanya Axton tanpa basa-basi. Ia berharap besar perihal keselamatan sang istri.
Dokter itu menghela napas, lalu menatap Axton. "Istri Anda selamat, Tuan Arkasena. Tapi, kami tidak dapat memastikan kapan beliau bangun. Obat tidur yang beliau tenggak melebihi jumlah yang dianjurkan. Penyelamatan beliau cukup terlambat, masih beruntung karena belum sampai benar-benar terlambat. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin dan juga berharap besar beliau bisa segera membuka mata. Umm ... saya permisi dulu, Tuan Arkasena."
Tuan Arkasena alias Axton sendiri yang memakai nama palsu itu langsung terduduk lesu, tepatnya ketika sang dokter berlalu darinya. Rencana untuk menghajar dokter sampai babak belur mendadak hilang, karena dayanya terlalu lemah. Memang benar, Ameera dapat diselamatkan, tetapi Ameera masih koma dan belum tahu kapan membuka mata.
Herman yang muncul dan melihat Axton lunglai, langsung menghampiri tuannya itu. Ia turut melipat kaki membentuk posisi jongkok.
"Tuan Axton? Ada apa? Apa yang terjadi? Apa ada mata-mata di sini?" tanya Herman bertubi-tubi karena cemas. Sungguh, ia akan menyelamatkan Axton dan membantu pria yang juga pernah menyelamatkan hidupnya tersebut, jika bahaya datang dan mengancam. Bahkan meski dirinya harus merelakan nyawanya atau mengaku bahwa dirinya merupakan Axton Axelcen jika polisi, anggota BIN, maupun FBI datang untuk meringkus Axton yang asli.
"Ameera ... koma, Herman. Bagaimana jika dia mati? Bagaimana jika dia tidak bangun lagi? Apa yang harus aku lakukan, Herman? Haruskah aku membunuh dokter itu? Haruskah aku membakar habis rumah sakit ini?" sahut Axton dengan bibir yang bergetar dan suaranya terdengar sangat parau. "Jika dia mati, aku akan sangat hancur, Herman. Kematiannya akan memberikan penyesalan terdalam yang tidak akan pernah bisa aku atasi. Aku ... benar-benar mencintainya, Herman. Dia satu-satunya wanita yang aku inginkan."
Terjawab sudah pertanyaan yang selama ini membelenggu benak Herman. Mengenai Axton yang tiba-tiba saja memutuskan untuk menikahi Ameera Larasati. Antara nafsu atau cinta. Dan nyatanya cinta, perasaan itulah yang ada di dalam hati Axton teruntuk Ameera. Pada dasarnya, Axton masih manusia. Axton masih memiliki perasaan untuk mencintai, terlepas dari image kejam dan berbahaya yang selalu melekat pada dirinya.
"Nona Ameera pasti akan bangun, Tuan Axton. Beliau tidak akan pergi sebelum membalas dendam pada Anda," ucap Herman tanpa basa-basi. Bahkan ia tidak peduli jika ucapannya terlalu kasar untuk didengar.
"Sayangnya, inilah bentuk balas dendam yang dia inginkan, Herman. Dia ingin lari dengan meninggalkan rasa sakit terdalam bagi diriku. Dia tahu bahwa aku sangat mencintainya. Dia hanya muak pada diriku yang seorang mafia. Aku monster, aku memberikan banyak tekanan dan kekejaman untuk dirinya. Dia hanya ingin bebas dan terbang jauh layaknya kupu-kupu. Tapi, tak pernah aku kabulkan karena cintaku berubah menjadi obsesi, dan aku egois sekali," jelas Axton.
Herman menghela napas, lalu berangsur menepuk punggung Axton dengan halus. Mau bagaimanapun tuannya memang jauh lebih muda dan mungkin membutuhkan satu ketenangan dari sosok yang lebih tua. "Yakinlah, Tuan Axton, Nona Ameera akan bangun."
"Aku berjanji akan benar-benar melepaskannya jika dia membuka mata, Herman. Sungguh! Aku sadari bahwa kebahagiaannya jauh lebih penting sekarang. Dunia kami memang berbeda, aku benar-benar menyadarinya sekarang, Herman."
Setidaknya itulah janji yang bisa Axton katakan saat ini. Namun, ia pastikan janji tersebut ia tepati ketika Ameera membuka mata. Mungkin terlambat bagi Axton untuk menyadari kesalahannya. Keserakahan dan obsesinya pada Ameera membuat keadaan Ameera menjadi semakin tidak baik-baik saja. Axton tidak akan membiarkan hal itu terulang jika Ameera benar-benar terbangun nantinya.
***