Melupakan persoalan tentang Bertran Purnama dan Red Rabbit. Kembali pada kondisi Axton dan Ameera dalam beberapa hari ini. Ameera yang masih saja belum sadarkan diri, juga Axton yang semakin kacau. Hari-hari Axton terasa lebih berat daripada biasanya. Kekejaman yang selalu ia kobarkan hilang entah ke mana. Waktunya habis hanya untuk menunggui Ameera. Ia bahkan sering lupa makan atau bahkan minum. Tubuhnya melemah dan lebih kurus, meskipun belum terlalu parah.
Kondisi Axton tersebut membuat hati Daisy terenyuh, dan membuat perasaan Herman dilanda kecemasan. Rasa bersalah juga merangkap menjadi penderitaan besar bagi diri Surti. Namun, Ameera seolah tidak peduli. Entah apa yang diimpikan oleh Ameera, sampai-sampai tak kunjung membuka mata. Padahal semua orang mengkhawatirkannya.
"Maaf, Tuan Herman. Apakah Tuan Axton sudah makan? Maaf bukan ingin lancang, hati saya hanya tidak tega melihatnya serapuh sekarang," ucap Daisy polos.
Herman menghela napas, lalu melirik ke arah Daisy dengan tajam. Tampanya yang garang cukup membuat gadis bertubuh berisi itu terpaksa menelan saliva. "Tuan Axton belum mengisi perut sejak dua hari yang lalu, selain hanya minuman mineral saja. Kau tidak perlu merasa kasihan padanya, justru kau yang harus memikirkan dirimu sendiri. Kau tahu, bukan, Axton itu siapa? Dan jika kau mencoba membocorkan keberadaannya, kami bisa menghabisimu tanpa pikir panjang," ucapnya setelah itu.
"Ya ampun," lirih Daisy. "Tuan Axton memang mafia, tapi dia tetap manusia. Saya hanya merasa prihatin saja, dan saya masih sayang nyawa. Ti-tidak mungkin saja ikut campur urusan kalian semua, Tuan-tuan Mafia." Masih dengan kepolosan dan sedikit kepintarannya, Daisy memberikan pernyataan untuk melawan ucapan kejam dari Herman.
"Kau ...." Herman menatap Daisy. "Bisa memasak makanan yang Tuan Axton sukai?" Pada akhirnya, ia tetap membutuhkan pertolongan dari gadis berisi itu.
"A-anda tinggal mengatakan apa saja menu kesukaan Tuan Axton, Tuan Besar Herman. Pasti saya bisa memasakkannya, saya sudah bekerja di rumah Nyonya Catarina cukup lama. Setiap hari kami harus ganti menu, bahkan makanan-makanan dari beberapa negara harus kami pelajari, dan meskipun bukan orang berpendidikan tinggi, memasak merupakan keahlian saya. Saya bisa langsung menyerap teknik dalam membuat makanan."
"Hanya sekadar masakan nusantara, tidak ada yang spesial. Kembalilah ke mansion bersama Surti dan rundingkan masakan nusantara yang kalian rasa cukup berhasil untuk menggugah selera Tuan Axton. Dua orang bawahanku akan menyertai kalian, jadi, kalian tidak memiliki kesempatan untuk kabur atau berbuat hal yang mencurigakan. Nyawa kalian akan menjadi taruhan jika membuat sedikit masalah yang merugikan."
"Ba-baik, Tuan Besar," sahut Daisy dan Surti secara kompak, bahkan intonasi terbata-bata mereka pun sama.
Daisy bisa mengerti mengapa Herman yang sudah tua begitu garang. Karena Herman merupakan bawahan dari seorang mafia. Namun, Surti tidak terlalu mengerti. Ia yang sudah sama tuanya dan merupakan orang desa jarang mendengar ungkapan mafia. Yang ia tahu Axton dan pasukan hanyalah komplotan preman. Kalau bukan demi uang untuk anaknya, mungkin Surti menolak pekerjaan yang Jutsin tawarkan sebelumnya. Apalagi nominal gaji yang ditawarkan memang luar biasa besar dan membuatnya tidak membutuhkan alasan untuk tidak menerima.
Herman menghela napas setelah kedua pelayan itu berlalu. Ia kembali mengamati Axton dari balik dinding transparan yang terpasang di ruangan VIP itu. Daisy benar, Axton masih manusia biasa yang membutuhkan makan. Lihat saja, setelah dua hari tidak menyantap apa pun, tubuh Axton tampak lemah dan tidak berdaya. Sekian tahun mengenal Axton, baru kali ini Herman mendapati Axton serapuh itu.
Selama ini, Axton memang terbilang jarang sakit. Hanya sekadar sakit kepala ketika mimpi buruk menghantuinya. Lalu, kesibukan Axton di Amerika membuat pria itu lupa soal arti kelemahan. Namun, hanya karena seonggok raga bernama wanita, Axton nyaris kehilangan semangat hidupnya. Herman benar-benar tidak mengerti.
"Bangunlah, Nona. Keberadaanmu memang cukup mengganggu, tapi kepergianmu akan membuat keadaan tuanku menjadi kian berantakan. Jadi bangunlah dan balaskan dendammu, daripada mati dengan menyisakan banyak masalah bagi kami," gumam Herman, matanya menatap Ameera menandakan bahwa dirinya sedang berbicara pada wanita yang sedang koma tersebut.
Sementara itu, Axton kembali terisak. Ia tidak pernah memiliki niat untuk menangis. Air mata merupakan hal paling menjijikkan dan tidak pernah akan ia keluarkan. Namun, sayang mendadak janjinya ia langgar sendiri. Air mata itu justru berlinang ketika Ameera masih saja tak sadarkan diri.
"Ameera, bangunlah. Aku berjanji akan membebaskanmu, berhentilah menyiksaku. Balas dendammu sudah berhasil. Kau harus bangun dan mencercaku dengan lebih parah lagi," lirih Axton, lemah.
Jemari Axton masih mencengkeram jemari Ameera. Entah sudah berapa lama, ia mendekam di ruangan itu bersama Ameera. Ia hanya keluar ketika hajat alam memaksanya bangkit, atau sang dokter dan beberapa pelayan memintanya untuk keluar. Jam tunggu pasien masih harus Axton tepati. Kalau dokter tidak mengatakan bahwa kesehatan Ameera jauh lebih penting daripada keegoisannya, mungkin Axton akan bersikeras untuk di dalam ruangan itu tanpa keluar sama sekali. Pasalnya ruang rawat Ameera harus tetap terjaga kebersihannya, baik udara maupun benda-benda yang ada di sana.
"Tuan Axton sudah waktunya Anda keluar dan membersihkan diri. Sesuai kata dokter, Anda harus menaati peraturan rumah sakit demi Nona Ameera," ucap Herman memberanikan diri.
"Baiklah," jawab Axton untuk Herman. Lalu ia menatap Ameera. "Aku keluar agar kau bisa bernapas lebih lega. Tapi, jangan khawatir aku akan menjagamu sampai kau terbangun dari mimpimu. Jangan lama-lama tergiur dunia alam bawah sadar, Ameera. Karena aku juga menjanjikan keindahan untukmu. Kebebasan. Ya, kebebasan yang kau impikan akan aku kabulkan jika kau lekas membuka mata, Sayang."
Axton menghela napas, berusaha mengusir rasa sesak di dadanya. Lantas ia bangkit. Namun matanya belum juga rela meninggalkan Ameera. Ia masih memandangi wajah cantik yang memucat milik istrinya itu. "Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Aku memang monster yang tak boleh terlibat di dalam kehidupanmu, tapi aku masih memiliki sisi manusia yang sangat mengagumi akan dirimu. Bangunlah, Sayang, dan depaklah monster sepertiku dari dirimu secara tegas."
Ketika merasa sudah cukup dalam memberikan dukungan, Axton memutuskan untuk berlalu dari ruangan itu. Namun, beberapa kali ia masih menoleh dan menatap wajah Ameera yang masih saja memucat. Rasanya sangat perih, menyadari bahwa raga Ameera seolah tidak bernyawa. Entah kapan efek overdosis itu akan berakhir, lalu Ameera membuka matanya.
Setibanya di luar ruangan, Axton menjumpai Justin yang tampaknya sudah menunggunya.
"Justin?" ucap Axton.
"Tuan, ada sesuatu yang tampaknya Bertran rencanakan lagi. Ini mengenai dugaan Anda tentang dukungan dari organisasi besar yang melindungi Bertran sepertinya benar. Barusan saya mengekori Bertran dan melihatnya bertemu dengan orang-orang mencurigakan di perusahaannya sendiri. Salah satu mobil yang masuk ke perusahaan itu memiliki simbol tidak asing."
"Simbol apa yang kau maksud, Justin? Dan aksimu bukankah sangat beresiko?! Kau sudah gila ya? Kau bisa saja terdeteksi mata intel!"
Justin menelan saliva. "Maafkan saya, Tuan Axton. Saya tidak bisa hanya berdiam diri. Anda terlalu berfokus pada Nona Ameera, sementara nama organisasi kita semakin memburuk. Saya berinisiatif untuk segera mencari tahu tanpa memikirkan resiko yang akan datang. Tapi, beruntungnya saya selamat. Tuan ... tolong kembalikan fokus Anda untuk organisasi kita."
Axton menatap Justin dengan tajam. Permintaan Justin cukup menohok, rasanya seperti merobek hati. Tujuan awalnya datang ke Indonesia alias tanah airnya sendiri tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menekan Bertran Purnama dan membersihkan nama Sayap Hitam alias Black Wings. Namun, ia mendadak lupa hanya karena Ameera.
***