"Bi, tolong buatkan aku sop iga sapi. Lalu, segelas jus lecy," ucap Ameera pada Surti yang hendak keluar dari kamarnya setelah menanyakan keinginan Ameera perihal makan siang.
Surti mengangguk mantap, lalu menjawab, "Baik, Nona! Akan Bibi sajikan dengan kenikmatan tiada tara!" Senyum semringah menghiasi bibirnya yang sudah terhias keriput tipis.
Ameera hanya membalas dengan senyuman yang sama. Detik berikutnya, Surti bergegas keluar dari kamarnya, hendak menyajikan hidangan makan siang yang ia inginkan.
Namun, tidak seperti itu sebenarnya. Ameera tidak butuh makan. Ia sudah kenyang. Makanan yang ia santap tadi pagi sudah terlalu lezat untuk menjadi hidangan terakhir. Rasanya sudah tidak ada penyesalan lagi. Setelah ini ia akan merealisasikan rencananya. Ia akan menenggak obat tidur dalam jumlah banyak lalu terbang ke angkasa untuk bertemu sang paman.
Awalnya Ameera ingin melakukan keputusannya untuk bunuh diri di malam yang sepi. Namun, ia ingat Axton jarang ada di mansion ketika hari telah menggelap. Sebaliknya, Axton sering tampak ketika siang benderang di dalam bangunan mewah tersebut. Ameera berharap ia dapat melihat wajah Axton sebelum napasnya benar-benar terhenti. Ia juga menginginkan penyesalan terdalam yang akan Axton rasakan ketika melihatnya sedang sekarat.
"Cinta itu indah. Tapi, cinta juga merupakan kelemahan seseorang," gumam Ameera sembari menatap butiran pil di dalam botol kecil yang telah ia keluarkan dari laci nakas. "Kau akan menjadi sangat lemah karena cintamu itu, Axton. Dan kau akan sangat menyesal ketika melihat wanita yang kau cintai sekarat di depan matamu. Akan aku pastikan kau menderita, sangat menderita sampai rasanya mau gila. Jika kau benar-benar mencintaiku, maka kepergianku akan membuatmu hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada orang yang mampu mengatasi traumatik menatap seseorang mati di depan mata mereka sendiri. Dan kau akan menjadi salah satu dari orang-orang itu, Axton!"
Demikianlah rencana Ameera. Sebelum pergi dan menghilang dari dunia ini, ia ingin menuntut balas atas keegoisan Axton padanya. Pria itu harus menderita secara mental, mengalami penyesalan yang tidak akan bisa ditemukan obat mujarabnya.
"Paman, Ameera sudah siap," ucap Ameera sembari menitikkan air mata.
Meskipun sangat takut dan gemetaran, Ameera sudah tidak berniat untuk mundur. Ia yakin belasan pil tidur yang ia tenggak akan membuatnya tak selamat. Ia yakin setelah ini ia akan benar-benar terbebas dari sang mafia yang sudah merenggut nyaris seluruh hidupnya.
***
"Aaaakkkhhh!"
Surti tidak dapat menahan keterkejutannya. Tubuhnya terduduk lemas, tetapi napasnya tersenggal tidak beraturan. Makan siang yang ia bawakan untuk Ameera terjatuh, sampai gelas dan piring yang terbuat dari keramik menjadi pecah berkeping-keping.
Bagaimana tidak terkejut, pasalnya majian alias nonanya tampak sekarat dengan mulut mengeluarkan buih putih. Entah apa yang terjadi, Surti tidak memahami kondisi Ameera. Namun, seingatnya kambing yang pernah ia pelihara sempat mengeluarkan busa karena memakan tanaman beracun.
"Ada apa? Ada apa?" Seorang pria berbaju hitam dan bertubuh kekar lantas masuk ke dalam kamar Ameera. "Ada apa, heh?!"
"I-itu ... No-nona." Demi Tuhan, Surti tidak sangguh berkata-kata. Lidahnya kelu, suaranya bak tercekat oleh tulang di tenggorokannya. Matanya berair dan masih dalam keadaan membelalak besar.
Pria berbaju hitam itu menatap Ameera. Matanya juga turut melebar. Ia tidak pernah kaget atau syok melihat orang sedang sekarat. Namun tidak dengan kali ini. Pasalnya, Ameera merupakan istri dari bos terbesar di organisasi yang ia ikuti. Malapetaka akan terjadi jika Ameera mati!
Dengan gerakan cepat, pria berbaju hitam itu berlari. Ia keluar dari kamar dan memberi tahu semua rekan yang ia temui. Ia sendiri segera berjalan menuju ruangan pribadi Axton, berharap agar tuannya itu belum keluar dari mansion. Bisa fatal jadinya jika Axton mengetahui kondisi Ameera, setelah wanita itu tiada.
"Tuan!" seru sang pria berbaju hitam sembari membuka pintu ruangan pribadi Axton tanpa memberikan ketukan maupun salam.
"Apa kau sudah bosan hidup?! Di mana rasa hormatmu, Cecunguk?!" Justin yang juga berada di dalam ruangan Axton memberikan teguran keras.
"A-anu, maaf. Tapi, ini darurat! Ameera, mm, Nona Ameera ... No—" Sang pria berbaju hitam gelagapan.
"Ada apa?! Katakan secara jelas!" Axton ikut naik pitam. Apalagi ketika salah satu bawahannya tersebut membawa-bawa nama Ameera. Mungkin wanita itu menghilang lagi, begitu pikirnya.
"No-nona Ameera se-sekarat! Sekarat! A-ada busa di mulutnya, Tuan!"
"Apa?!"
Axton tercengang. Ia jauh lebih terkejut daripada bawahannya tersebut. Justin pun sama. Mereka lantas berlari keluar dari ruangan pribadi. Laju kaki Axton semakin cepat dan kali ini diiringi gemetar yang mendadak menyerang tubuhnya. Tak dapat dipungkiri bahwa kehilangan Ameera saat ini merupakan ketakutan terbesar dalam hidupnya. Wanita itu sudah ia gapai setelah sekian bulan hanya memendam keinginan.
Mana mungkin Axton bisa kehilangan Ameera begitu saja? Terlebih ketika kematian menjadi pilihan Ameera untuk lari darinya. Sungguh, Axton bersumpah ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu buruk terjadi pada sang istri. Mungkin ia tidak akan mengenal wanita atau bahkan dunia.
"Ameera, Ameera. Dengar aku, jaga kesadaranmu, Sayang. Ameera." Axton berceracau. Tangannya mengguncang tubuh Ameera setibanya di kamar istrinya itu. Tak ia pedulikan Surti yang masih terkulai tak berdaya di atas lantai.
"Siapkan mobil, Justin. Cepat!" titah Axton. "Herman! Herman! Carikan rumah sakit terdekat, cepat!"
Setelah bertitah pada kedua bawahan terpenting yang sudah ada di kamar tersebut, Axton lantas menggendong tubuh Ameera. Ia berlari lagi dengan sekuat tenaganya untuk membawa sang istri pergi ke rumah sakit. Ia tidak boleh kehilangan Ameera. Ameera harus selamat, apa pun yang terjadi! Bahkan, ia akan membunuh dokter yang menangani jika Ameera pada akhirnya tidak bisa diselamatkan.
Mungkin pemikiran Axton terdengar ekstrim, egois, dan tidak manusiawi. Namun, itulah dirinya selama ini. Ia sudah hidup di bawah tekanan dan kekerasan selama bertahun-tahun. Ia tidak tahu bagaimana caranya hidup sebagai orang biasa. Ia memang monster yang lahir di bumi Indonesia, tetapi dipercaya sebagai penerus Sayap Hitam alias Black Wings dari Amerika.
Karena Axton memang kejam, cerdas, serta penuh keberanian. Dan yang paling penting, ia sangat segan dan hormat pada ayah angkatnya. Ia adalah sebenar-benarnya seorang mafia yang tidak gentar untuk menghunuskan pedang pada siapa pun yang ia inginkan.
"Tetaplah hidup jika tidak ingin aku menggila dan membunuh orang lain, Ameera. Sebab hanya kau yang bisa menghentikan monster seperti itu," ucap Axton berbisik di telinga Ameera sembari memeluk Ameera dengan erat di dalam mobil yang sudah ia tumpangi. Herman dan Justin juga mendampingnya, dengan Herman yang mengambil posisi sebagai pengemudi.
Dalam tundukan yang penuh ketakutan itu, Axton menitikkan air matanya. Tangannya masih terus bergetar. Biasanya ia akan mengamuk dalam kondisi serapuh itu. Sayang, kondisi saat ini mengharuskan dirinya tenang.
***