Ameera terus melaju kakinya, melewati trotoar lalu menyelinap ke gang-gang yang ia temui di sekitar jalan raya itu. Ia sangat berharap seseorang bisa membantunya sekarang. Namun, kalimat yang dikatakan oleh Axton sebelum menurunkan di pom bensin membuatnya langsung mengurungkan niat untuk meminta pertolongan.
"Aku tahu kau hanya ingin melarikan diri, dengan membuat alasan ingin membuang air kecil, Ameera. Silakan saja, aku tidak akan melarang. Jika kau berhasil kabur dariku, tentu saja aku tidak akan mengganggumu lagi. Tapi, jika kau gagal, maka kau benar-benar harus menyerah dan mulai menerima kenyataan. Satu hal yang perlu kau ingat, siapa pun yang kau mintai pertolongan, aku akan membunuh orang itu tanpa pikir panjang." Demikianlah perkataan Axton yang terngiang di telinga Ameera, sampai membuat Ameera tersugesti untuk menutup mulutnya.
Padahal banyak warga yang berada di gang-gang yang Ameera masuki. Namun, sayang, ucapan Axton terlalu kuat dalam memberikan pengaruh pada mental Ameera. Apalagi pria itu pernah menghajar habis-habisan salah satu bawahan saat Ameera membuat hatinya kesal. Hal itu tentu saja membuat Ameera sangat ketakutan.
Bulir keringat bercucuran di dahi, wajah, hingga leher Ameera. Napasnya tersenggal dan kakinya mulai pegal-pegal. Kecepatan berlarinya sudah menurun. Dan ia memutuskan untuk berhenti sejenak. Matanya bergerak menatap sebuah warung yang menyajikan lemari pendingin berisikan banyak minuman segar.
Sayang, Ameera tidak memiliki uang sepeser pun. Selama ini ia makan dan minum dari persediaan yang Axton berikan. Ia tidak diberikan jatah bulanan sebagai seorang istri, karena mungkin Axton khawatir ia kabur. Lagi pula mansion yang Ameera tempati selama ini sudah terlalu komplit, baik fasilitas maupun makanan yang setiap hari memiliki stok banyak.
"Sial! Seandainya aku membawa tasku. Setidaknya masih ada recehan di dalamnya," gumam Ameera menyesal. Kemudian, matanya terpejam. Ia atur hela napasnya se-demikian rupa agar lebih normal. "Aku harus kembali melajukan kaki!"
Ya, Ameera tidak punya pilihan. Jika Axton mengejarnya, pria itu bisa langsung mendapatkannya lagi. Kesempatan semacam ini akan jarang terjadi dan Ameera tidak ingin kehilangan jalan keluar. Tak peduli seberapa besar rasa lelah yang mendera, peluh sekian banyaknya yang keluar dari setiap pori-pori kulitnya, dan pandangan kabur yang menyerang matanya karena kepalanya mendadak pusing gara-gara teriknya sang surya.
Ameera hanya perlu lari dan lari! Setidaknya hal itulah yang bisa ia perjuangkan saat ini.
"Aaaakkkhhh!" Namun nyatanya, Ameera tetaplah memiliki batas penggunaan tenaga dan energi. Karena fokusnya buyar, kakinya tidak sengaja tersandung sebuah batu.
"Mbak tidak apa-apa?" Seorang warga ditemani dua warga yang lain datang dan bertanya pada Ameera yang terkapar.
Ameera menatap kedua bapak-bapak dan seorang ibu-ibu, dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Tampaknya stok air matanya sudah tersedia. Hati ingin berkata segalanya, mengenai keinginannya untuk kabur dari sang suami, tetapi lagi-lagi perkataan suaminya itu masih menjadi momok paling menakutkan. Tidak mungkin Ameera mengorbankan ketiga orang yang tidak bersalah hanya demi mendapatkan kebebasan.
"Tidak apa-apa kok, Ibu dan Bapak-bapak," ucap Ameera sembari tersenyum, lalu berusaha bangkit dengan bantuan salah satu dari warga yang seorang ibu-ibu paruh baya. "Terima kasih."
"Jangan lari-lari, Mbak. Di sini juga rawan kecelakaan lho," ucap ibu-ibu itu sembari membantu membersihkan kotoran di pakaian Ameera. "Mari mampir dulu, biar lukanya saya obati."
"Ti-tidak perlu, Ibu. Sa-saya sedang terburu-buru," tukas Ameera bersamaan dengan meluruhnya sebutir air mata di pipinya.
"Itu sepertinya sakit sekali, Mbak. Ikut Ibu Arum saja biar diobati," tampak salah seorang bapak-bapak. "Nanti kalau dibiarkan bisa infeksi lho. Malah bahaya."
"Biar saya saja, Pak. Nona ini adalah istri saya. Mobil kami mogok, dan ibu kami sedang sakit keras. Katanya daerah ini memiliki jalan tikus menuju daerah ibu kami, jadi istri saya yang khawatir ingin bergerak lebih cepat." Tiba-tiba suara Axton terdengar menyahut suara seorang warga.
Para warga lantas menatap Axton dengan tertegun. Pria gagah dengan topi berwarna hitam muncul dan mengaku sebagai suami dari wanita yang sempat jatuh. Awalnya bingung, tetapi alasan yang dikatakan oleh Axton terdengar masuk akal. Apalagi setelah itu, seorang warga yang belum ambil bicara langsung mempertanyakan ke manakah tujuan Axton dan Ameera.
Sebagai seseorang yang pernah besar di lingkungan tersebut, Axton bisa menjawab pertanyaan warga itu dengan baik. Bahkan, ia berlagak ingin tahu jalan alternatif tercepat. Sementara Ameera menjadi membisu dalam kegamangan yang sulit untuk dijabarkan. Bagaimana mungkin Axton bisa mengejar dan bahkan mengetahu keberadaannya? Bukankah ia sudah berlari sangat jauh, bahkan sudah memasuki gang-gang penuh liku jalan?
Sayangnya, pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban apa pun, sebelum Axton memberikan penjelasan. Lalu, Ameera hanya bisa pasrah pada keadaan sekarang. Tak menampik seberapa perih rasa hatinya, hancurnya harapan terakhirnya, dan kekecewaan mendalam pada takdir yang seolah tidak pernah memihaknya. Rasanya, sejauh apa pun berlari, ia tetap akan jatuh pada pelukan sang mafia. Ameera menjadi ingin mati lagi kalau begini caranya.
"Kalau begitu, kami permisi terlebih dahulu, Bapak-bapak, dan Ibu. Terima kasih sudah membantu istri saya," pamit Axton dengan lagak manis dan sopan. Ia benar-benar iblis bertopeng manusia yang penuh akan kemunafikan.
Ameera menelan saliva. Matanya bergetar. Namun, meski sangat ketakutan serta sangat kecewa, ia tetap harus terlihat baik-baik saja. Ia merundukkan badan di hadapan ketiga warga lalu berkata, "Terima kasih."
Lantas, Axton menggenggam jemari Ameera dengan kuat. Membawa istrinya itu untuk kembali menuju keberadaan mobil yang terparkir tidak jauh dari sana.
"Ameera, aku sudah mengatakan padamu bahwa aku berasal dari negara ini, bukan? Negara Indonesia sebelum aku menjadi warga Amerika. Tapi, aku belum mengatakan bahwa tak jauh dari ini adalah tempatku tumbuh hingga usia tujuh tahun. Tentunya aku sangat paham lika-liku setiap gang. Apalagi aku sering bertandang ke tempat ini belakangan ini," ungkap Axton yang cukup mengobati rasa penasaran yang menyerang hati Ameera.
Sayangnya, tidak ada kelegaan yang Ameera terima, selain hanya bulir air maya yang mengucur kiab deras dan membasahi kedua pipinya. Bibirnya pun kian memucat. Kepalanya semakin pusing dan pandangannya bertambah buram.
Hingga akhirnya, Ameera tumbang tepat satu meter dari keberadaan mobil Axton. Ameera jatuh pingsan, tak sadarkan diri karena sudah tidak mampu menahan kondisi fisik dan mentalnya sendiri.
"Ameera? Kau baik-baik saja? Ameera! Ameera!" Axton menangkap tubuh Ameera, lalu menepuk pelan pipi Ameera. "Hei! Uh ...!"
Axton sadar bahwa Ameera tidak sedang bersandiwara. Terik matahari tampaknya sudah membuat Ameera kehilangan energi. Lebih baik, ia membawa istrinya itu untuk menuju ke tempat yang lebih nyaman dan teduh. Bukan mansion, melainkan rumah bekas tempat tinggal mendiang kedua orang tuanya sendiri.
***